Kami berdua lalu keluar dari ruang pos penjagaan menuju udara segar. Orang -- orang masih berkerumun di belakang garis kuning polisi. Di kejauhan, kami melihat alat derek dipersiapkan. Di tengah kerumunan, aku mencari seseorang. Ah, di situ rupanya ia berada. Aku berjongkok agar berhadapan muka dengannya.
"Selamat pagi, adik manis, senang berjumpa denganmu. Namamu adalah?"
"Suteja, pak." ujar sang bocah menjawab girang.
"Dan Pak Wawan di samping ini adalah ayahmu?"
"Betul, pak polisi."
Wawan Walianda menampilkan raut wajah kurang nyaman di samping, namun aku tidak peduli dan terus bertanya.
"Tadi malam, dek Suteja apakah berada di dalam kapal itu?"
Ia mengangguk. "Kapalnya pecah ketika saya sedang tidur, kata bapak. Tapi tadi malam, saya dan bapak ada di sana. Saya main -- main ke ruangan bawah. Ada kak Yudi..."
"Ah, anak ini suka sembarangan saja, tuan polisi. Aku sudah melarang anak ini untuk main -- main ke ruangan bawah, tapi tetap saja..."
"Tidak apa -- apa, kok ayah, kak Yudi memang biasanya kasar seperti itu, tapi Eja sudah tidak apa -- apa. Ngomong -- ngomong, kak Yudi di mana? Mengapa ia tidak terlihat dari dalam kapal?"
Aku berusaha menanggapi, "Kak Yudi sedang sibuk membereskan mata kail pancing di dalam kabinnya, karena tersangkut bambu. Ngomong -- ngomong, dek Suteja, apakah adik mengingat ada berapa orang yang berada di dalam kapal itu malam tadi?"