Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kasus Kapal Karam [Detektif Kilesa]

28 Oktober 2021   13:36 Diperbarui: 28 Oktober 2021   14:32 408
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

KASUS KAPAL KARAM

Pk. 07.45.

Jarang sekali aku mendapatkan hal ini. Pemandangan biru, angin dingin bertiup, sangat menyegarkan. Aroma khas laut pun tercium dengan jelas. Itulah yang kudapatkan jika aku menoleh ke sebelah kiri. Sebaliknya, pemandangan nestapa kudapatkan pada arah kanan. Di sebelah kanan, di samping dermaga kayu, sebuah kapal pesiar kecil terbelah menjadi dua di atas batu -- batu karang. Sekali lagi aku mendesah. Entah mengapa kasus -- kasus aneh selalu mengikutiku.

Mahmud keluar dari dek dan menyatakan keadaan oke bagi kami untuk memasuki badan kapal yang sudah terbelah itu. Dengan hati -- hati aku dan Charles melangkah menuju kapal. Badan kapal yang terbelah menjadi dua membuat banyak serpihan dan belahan kayu berserakan di mana -- mana. Jika kami tidak hati -- hati dalam melangkah, maka mungkin kamilah yang akan menjadi korban berikutnya, karena tertusuk kayu tajam.

"Jangan ceroboh, Kilesa, kau tahu Donny masih butuh ayah di rumah."

"Lebih baik kau urusi Agnesia kekasihmu itu, Charles."

Mahmud menuntun kami turun ke dalam dek menuju sebuah kabin mungil yang sebenarnya jika tidak patah akan menjadi sebuah tempat yang artistik. Air laut merangsek masuk dari bawah, membuat warna kayu bambu menjadi gelap. Namun itu sama sekali tidak menarik perhatian kami. Seorang pemuda menggantung di dinding bambu, dengan sebuah tombak pancing menembus matanya, membuatnya tewas dengan cara yang mengenaskan. Mulut yang ternganga dan mata lainnya yang terbelalak memberitahukan bahwa kematiannya bukanlah kematian yang menyenangkan.

Charles menutup muka dan mulai muntah -- muntah di belakangku, sementara aku hanya bisa memalingkan wajah dan mengambil napas. Pembunuhan ini kejam, dan tidak pernah terjadi selama aku mengurusi kasus -- kasus kriminal. Lagi -- lagi kasus unik. Aku harus bisa mengenyahkan perasaanku dan mengedepankan logika dalam menangani kasus ini.

"Anak ini tewas tadi malam sekitar tengah malam, kematiannya mendadak, dan tanpa perlawanan. Hal ini terlihat dari otot -- ototnya yang tidak menegang dan mengeras."

"Langsung saja, Mahmud. Kita tidak perlu bertele -- tele. Ini sudah jelas pembunuhan. Siapa yang berada di atas kapal ini tadi malam?" ujar Charles.

"Aku ini tim forensik bukan tim penyidik. Bukankah itu tugasmu, gendut? Tapi aku sudah merangkum keterangan kapal ini, jika kalian membutuhkannya. Orang ini bernama Yudi Susabda, anak pemilik kapal pesiar ini, Junius Susabda, seorang konglomerat dan pebisnis yang aku yakin kalian pernah mendengar namanya. Tadi malam ia berlayar bersama teman -- temannya, seorang wanita dan dua orang lelaki. Mereka sedang berada di posko penjagaan pantai sekarang. Mereka sedang shock berat."

Charles segera menarik tanganku. "Ada apa?"

"Tunggu apa lagi, Kilesa? Bukankah sudah jelas siapa pelaku dari kejahatan ini? Siapa lagi yang bisa melempar tombak dan sampai menggantung di atas dinding seperti ini? Tentu saja teman laki -- lakinya!"

Aku menghirup napas. Aku paham sepertinya Charles ingin segera keluar dari kabin ini karena pemandangan tubuh Yudi tidak menyenangkan sama sekali, namun bagiku ada beberapa yang harus dijelaskan terlebih dahulu. Yudi mengenakan kimono berwarna merah tua, dan sepertinya aku mencium bau anggur yang menyengat dari tangannya, menandakan bahwa ia sebenarnya tidak dalam kondisi tertekan. Mahmud benar. Kematiannya mendadak.

Dan sebuah kematian yang tidak diharapkan tentu tidak terjadi di lingkungan pertemanan sendiri. Aku bertanya pada Mahmud.

"Ada siapa lagi? Apa hanya empat orang ini saja? Adakah yang mengemudikan kapal pesiar ini?"

"Tentu saja ada. Ia juga berada di posko penjagaan. Sebenarnya dua orang, bapak yang mengemudikan private boat ini, dan anaknya yang masih berusia sepuluh tahun. Anak itu bantu -- bantu ayahnya dalam merawat dan mengoperasikan kapal ini."

Kini aku yang menggamit lengan Charles untuk keluar dari dalam kapal pesiar.

"Apa?" ujarnya.

"Ayo, bukankah kau ingin meringkus pelaku pembunuhan Yudi Susabda?"

***

Kami berjalan menyusuri dermaga dan menyaksikan orang -- orang sekitar semakin ramai berkumpul dan menyaksikan kapal karam. Garis kuning polisi sudah terpasang di sekeliling tkp, dan awak kepolisian sudah berjaga -- jaga untuk antisipasi yang tidak diinginkan. Ada banyak pertanyaan di benakku, namun yang paling utama adalah bagaimana kapal itu bisa terbelah menjadi dua bagian. Tidak ada angin ribut atau badai tadi malam, tidak ada hujan, cuaca cerah, dan keadaan pantai pun cukup terang. Aku bertanya kepada seorang teknisi kepolisian mengenai malfungsi mesin, dan ia berkata semuanya baik -- baik saja. Berarti hanya ada satu penyebab dari kecelakaan ini, yaitu sebuah human error.

Itulah yang akan kutanyakan pertama kali kepada Wawan Walianda, sang juru mudi kapal. Di sebuah ruangan kecil di dalam posko penjagaan, ia masuk dengan perasaan bersalah dan langkah gontai.

"Selamat pagi, Pak Wawan. Nama saya adalah Kilesa, seorang detektif yang bertugas dalam mengurusi kasus ini. Saya tidak ingin berlama -- lama. Mengapa lambung kapal bisa terbelah menjadi dua bagian?"

Wawan mendesah, "Murni kesalahan saya, pak. Saya tidak melihat lampu penerangan di pinggir pantai karena tiba -- tiba ada angin ribut dalam sekejap, hal itu mengganggu pandangan saya, hingga kapal pun menjadi oleng."

"Bisa dikatakan bahwa kapal yang terbelah menjadi dua adalah kesalahan bapak?"

"Betul, pak. Saya siap bertanggung jawab, saya siap dipecat dan dipenjara atas kesalahan saya."

"Apa bapak juga siap dipenjara atas kasus pembunuhan Yudi Susabda?" ujar Charles, menambahkan dengan cara menyebalkan yang tidak kusukai.

Tiba -- tiba raut wajah Wawan berubah, "Tidak, pak, tidak. Untuk itu, saya sama sekali tidak bersalah!"

"Lalu siapa yang melempar tombak pancing itu ke kepala Yudi?"

"Untuk itu..."

Wawan terlihat menyembunyikan sesuatu. Aku harus mendesaknya dengan pasal undang -- undang pidana agar ia bisa menyatakan yang sebenarnya. Untungnya ia mau membuka mulut.

"Tadi malam, empat orang teman -- teman Yudi bermain -- main dengan tombak pancing di dalam kabin. Saya sudah mengatakan hal itu berbahaya, tapi mereka tidak menggubris saya. Akhirnya terjadi kecelakaan itu..."

Tunggu dulu. Ada banyak keanehan. Charles mewakili pikiranku, "Kecelakaan? Maksudnya bagaimana, pak?"

"Mbak Winda dan Mas Tommy sedang bermain lempar -- lemparan tombak ketika angin ribut itu datang, sehingga ketika kapal karam, tombak itu tidak sengaja..."

Wawan tidak meneruskan kalimat itu, namun kami paham maksudnya. Ketika kapal ini menerjang batu karang, tombak itu tidak sengaja berada di udara dan menembus mata Yudi. Tapi, apakah ini masuk akal? Orang gila macam mana yang bermain -- main tombak pancing tajam di atas kapal pesiar?

"Hal ini tidak mungkin terjadi, Pak Wawan. Bermain -- main tombak pancing? Segila -- gilanya dan seeksentrik -- eksentriknya seorang konglomerat, hal itu tidak mungkin terjadi. Sulit dipercaya." ujar Mahmud mewakili perasaanku.

Kembali berubah nada bicara Wawan, kali ini dengan lebih menekan. "Bapak boleh tanyakan kepada Mbak Winda, Mas Tommy, Mas Francis, dan Mbak Ovy tentang apa yang terjadi tadi malam. Mereka akan mengatakan hal yang sama. Mereka memang suka melakukan hal -- hal aneh dan tak masuk akal."

Pertanyaan kedua, "Empat orang? Bukankah hanya ada tiga orang teman dari Yudi Susabda tadi malam di atas kapal?"

Aku menoleh pada Mahmud dan ia mengonfirmasi kebenarannya. Ketika kami kembali tertuju pada Wawan, ia berkata, "Mbak Ovy ketakutan dengan apa yang terjadi pada Yudi sehingga ia melarikan diri dari tempat kejadian, pak polisi. Mungkin jika bapak berusaha, kepolisian bisa menemukan anak itu."

Aku menghela napas dan bersender. Ada banyak kejanggalan dalam kasus ini, dan semuanya tidak menyenangkan. Lebih baik mendengarkan keterangan lainnya terlebih dahulu agar semuanya menjadi lebih jelas. Kini, seorang pemuda bernama Tommy memasuki ruangan. Badannya tegap, dadanya bidang, sesuai dengan gambaran pelaku yang diinginkan oleh Charles.

"Selamat pagi, mas Tommy. Saya dengar Anda adalah teman dari Yudi Susabda, apakah benar?"

"Benar, pak polisi." Dari matanya yang sembab kami tahu bahwa ia berusaha keluar dari keadaan sedih.

"Dan kau berada di atas kapal malam tadi?" Ia mengangguk, sehingga kami melanjutkan, "Apa yang terjadi tadi malam? Terutama pada keadaan Yudi Susabda."

Tommy mendesah dan suaranya diikuti oleh serak tangis. "Kami tahu tindakan kami ini salah, pak polisi. Kami bermain -- main mata kail pancing di dalam ruangan. Yang menimpa Yudi adalah tidak sengaja, pak polisi."

Aku ikutan mendesah, "Orang bodoh mana yang bermain -- main mata pancing di dalam kabin? Apakah kalian gila?"

"Sekali lagi, pak polisi, kami tahu kami ini bersalah. Sebenarnya, jika boleh membela diri, Winda, salah satu teman kami, adalah atlet dart nasional. Tindakan kami semalam adalah menggodanya. Kami bermain -- main dengan mata kail pancing. Bahkan Yudi mengaitkannya dengan batang tombak. Hingga suatu ketika, sebuah goncangan besar menimpa kapal... dan saat itulah nasib Yudi..."

"Jadi kematiannya adalah sebuah kecelakaan?"

"Betul, pak polisi."

"Di tangan siapa mata kail itu berada terakhir sebelum menembus mata Yudi? Ia bisa dikenakan pidana dan pasal kriminal."

Pertanyaanku membuat seluruh orang di ruangan itu terkejut. Namun kedua kolegaku lekas mengerti, bahwa itu sebenarnya adalah sebuah pertayaan pancingan. Alhasil, Yudi sedikit kalang kabut.

"Di tangan... di tangan... tunggu sebentar, pak polisi. Sepertinya di tangan Ovy."

"Dan sekarang ia yang melarikan diri? Sungguh sebuah kebetulan." pancingku lagi. Namun Tommy berusaha tegar.

"Kebenarannya adalah seperti itu, pak polisi. Aku tidak tahu di mana anak itu sekarang. Jujur, ketika kapal menabrak karang kemarin malam, kami sangat terkejut, semuanya terpelanting ke berbagai arah. Kami semakin terkejut, ketika melihat Yudi sudah tidak bernyawa di atas dinding. Semuanya ketakutan. Francis menenangkan kami semua, dan ia berkata lebih baik melapor pada pos penjagaan. Tapi tidak dengan Ovy. Ia ketakutan, karena tombak itu berada di tangannya sebelum terlempar pada Yudi. Akhirnya, ia memutuskan untuk melarikan diri."

Kami para anggota kepolisian saling berpandangan. Sebenarnya keterangannya masuk akal. Akhirnya kami memutuskan tidak ada lagi yang perlu ditanyakan kepada Tommy. Sebagai gantinya, seorang wanita cantik berambut panjang memasuki ruangan. Ia adalah Winda.

Berkebalikan dari Tommy, Winda adalah seorang wanita yang tegar. Tidak sekali pun kulihat ada titik air mata di wajahnya. Namun aku tahu wanita kadang -- kadang adalah aktris ulung.

"Selamat pagi, nona Winda. Kalau boleh saya tahu, berapa umur Anda?"

Winda terlihat kebingungan dengan pertanyaanku, namun ia tetap menjawab, "23 tahun, pak polisi."

"Ah, masih cukup muda untuk menjadi seorang atlet nasional. Masa depanmu masih panjang. Sadarkah kau bahwa tindakanmu dan teman -- temanmu di sini akan menjadi batu sandungan bagi karirmu di depan kelak?"

Winda mulai panik, "Jika yang bapak maksud adalah uang pelicin agar kasus ini diam dan pers tidak berisik di media, maka saya siap berapa pun yang bapak minta!"

Aku tidak menjawab tantangan Winda, melainkan melempar pandang kepada Charles dan Mahmud. Jika seseorang memperjuangkan karirnya dengan sekuat tenaga, kemungkinan besar perkataan berikutnya adalah kejujuran.

"Maka adalah benar bahwa Yudi Susabda tewas karena mata kail pancing? Dibunuh, atau kecelakaan?"

Winda terdiam mendengar tiga kata terakhir yang kuucapkan perlahan. Pelan -- pelan, ia berkata, "Kecelakaan."

"Jika ini kecelakaan, secara logika tidak akan berdampak pada karirmu. Sebaliknya, jika ini adalah pembunuhan..."

Winda menggebrak meja di hadapan kami. "Dibunuh atau kecelakaan, di mata media itu semua sama saja! Terlebih aku adalah seorang anak pebisnis udang nomor satu di pulau ini. Kasus ini berarti akhir dari masa depanku di olahraga."

Aku mengangguk, "Baiklah. Kami berjanji akan mengurus masalah publikasi. Tenang saja. Satu pertanyaan lagi. Di tangan siapa tombak itu berada sebelum menghujam mata Yudi?"

Sekali lagi kami melihat seseorang sedikit kelimpungan. "Ovy...ovy...saya yakin. Tombak itu ada di tangan Ovy sebelum menembus kepala Yudi. Makanya ia kabur."

"Menurutmu ke mana ia pergi?"

"Aku tidak tahu. Mungkin bersembunyi di keluarganya. Atau mungkin, ia sudah berada di bandara untuk pergi ke luar negeri."

Perkataan Winda yang terakhir sedikit membuatku tercekat. Dengan bisik -- bisik aku memberi instruksi kepada Charles untuk memeriksa semua jalur transportasi saat ini, baik kereta, bandara, dan kapal laut. Ovy tidak boleh lolos. Sang polisi gendut pun lekas keluar ruangan.

"Apakah kau terguncang dengan kepergian Yudi?"

Winda menggeleng dengan hati -- hati. Sebagai seorang polisi kuakui ini cukup mengagetkan. "Anak itu memang tidak akan ditakdirkan berumur panjang. Kelakuannya liar, dan suka semena -- mena. Aku menjadi temannya untuk menjaga hubungan baik antara ayah kami. Begitu pula dengan Tommy dan Francis. Hanya Ovylah yang benar -- benar sayang kepadanya. Ironisnya ia pula yang menghabisi nyawanya. Dan kini ia kabur dan ketakutan."

Wawancara dengan Winda kucukupkan sampai di sini. Gantinya adalah seorang pemuda bertubuh kecil, kurus, dan berkacamata. Sebagai seorang anak konglomerat, tipenya seharusnya tidak termasuk pada golongan Yudi. Namun, penyihir pun kadang memakai jas.

"Selamat pagi, Francis. Kami langsung saja. Apakah kematian Yudi merupakan pembunuhan atau kecelakaan?"

"Teman -- temanku pasti sudah mengatakan kepada bapak. Ini kecelakaan."

"Siapa orang terakhir yang memegang mata kail pancing sebelum terjadinya kecelakaan?"

Dengan tenang Francis berkata, "Ovy, makanya ia kabur sekarang."

"Bagaimana menurutmu kematian Yudi? Apakah kau bersedih sebagai temannya?"

Ini adalah pertanyaan konyol, namun lagi -- lagi Francis berkata dengan tenang, "Sebenarnya tidak. Mungkin bapak sudah mendengar dari Winda atau Tommy. Kami berteman dengannya karena mitra bisnis saja. Kini ia sudah tiada, dan bisnis keluarganya akan jatuh kepada adiknya. Kami harus menjalin hubungan dengan Benny, adik Yudi."

Orang ini tenang dan penuh perhitungan. Baiklah, aku akan coba memancingnya.

"Menurut Pak Wawan, driver dari private boat ini, kapal karam karena ada angin ribut sekilas sehingga ia kehilangan konsentrasi dan menabrak karang di pinggir pantai. Menurutku ini alasan yang dibuat -- buat. Bagaimana menurutmu? Apakah kecelakaan ini masuk akal?"

Francis terdiam dan terlihat berpikir sebelum berkata. Akhirnya ia membuka mulut.

"Kami berada di dalam kabin ketika kejadian itu terjadi sehingga kami tidak tahu apa yang terjadi di luar. Namun bapak bisa simpulkan dari perkataanku ini. Malam kemarin tidak ada hujan, tidak ada awan, tidak ada badai, langit terlihat cerah. Namun aku tidak bisa mengatakan bahwa tidak ada angin ribut sekilas."

Ia menyunggingkan senyum tipis di akhir kalimatnya. Perkataan -- perkataan terakhirnya membuatku menepuk tangan. Menurutku kini kasus ini semakin jelas. Francis pun kusuruh untuk keluar ruangan. Mahmud yang bersandar di dinding menghampiriku.

"Jika kau sudah terlihat seperti ini maka kasus ini sudah berhasil dipecahkan. Bukankah begitu, tuan cemerlang?"

Aku menggeleng, "Belum, belum, Mahmud. Masih ada satu saksi yang harus kupastikan sebelum menutup kasus ini."

"Satu saksi? Bukankah sudah semuanya kauperiksa?"

"Belum, masih ada satu...tolong panggilkan...ah, lebih baik kita saja yang menghampirinya."

Kami berdua lalu keluar dari ruang pos penjagaan menuju udara segar. Orang -- orang masih berkerumun di belakang garis kuning polisi. Di kejauhan, kami melihat alat derek dipersiapkan. Di tengah kerumunan, aku mencari seseorang. Ah, di situ rupanya ia berada. Aku berjongkok agar berhadapan muka dengannya.

"Selamat pagi, adik manis, senang berjumpa denganmu. Namamu adalah?"

"Suteja, pak." ujar sang bocah menjawab girang.

"Dan Pak Wawan di samping ini adalah ayahmu?"

"Betul, pak polisi."

Wawan Walianda menampilkan raut wajah kurang nyaman di samping, namun aku tidak peduli dan terus bertanya.

"Tadi malam, dek Suteja apakah berada di dalam kapal itu?"

Ia mengangguk. "Kapalnya pecah ketika saya sedang tidur, kata bapak. Tapi tadi malam, saya dan bapak ada di sana. Saya main -- main ke ruangan bawah. Ada kak Yudi..."

"Ah, anak ini suka sembarangan saja, tuan polisi. Aku sudah melarang anak ini untuk main -- main ke ruangan bawah, tapi tetap saja..."

"Tidak apa -- apa, kok ayah, kak Yudi memang biasanya kasar seperti itu, tapi Eja sudah tidak apa -- apa. Ngomong -- ngomong, kak Yudi di mana? Mengapa ia tidak terlihat dari dalam kapal?"

Aku berusaha menanggapi, "Kak Yudi sedang sibuk membereskan mata kail pancing di dalam kabinnya, karena tersangkut bambu. Ngomong -- ngomong, dek Suteja, apakah adik mengingat ada berapa orang yang berada di dalam kapal itu malam tadi?"

Dengan polosnya ia menampilkan dua kepalan tangan, lalu perlahan -- lahan memajukan jari demi jari. Ada enam jari terlihat sebelum ayahnya mengangkat anak itu dengan senyum yang dipaksakan.

"Sepertinya Suteja belum sarapan. Kami permisi dulu, pak polisi."

Keduanya bergegas mengundurkan diri dan menghilang dari pandangan. Mahmud tersenyum di sampingku.

"Kau benar, Kilesa. Saksi terakhir itu menjadi sangat penting. Terlebih, jika ini luput dari penglihatanmu, tangan anak itu..."

Aku menggeleng, "Tidak, Mahmud, tidak. Sama sekali tidak terluput. Semuanya kini serba jelas. Nah, datang satu lagi rekan kita. Ia pun akan memperjelas praduga kita."

Charles datang dengan tergopoh -- gopoh sambil memegangi topinya. Ia menggeleng dengan cepat.

"Tidak ada, Kilesa, tidak ada. Tidak ada data Ovy di semua penerbangan, kereta, dan jalur laut. Untuk jalur darat, tentu sulit untuk melacaknya. Kita harus cepat, Kilesa, kalau tidak, jejak anak ini akan hilang."

"Tidak perlu, Charles. Perkataanmu justru menutup kasus ini."

Charles terlihat gemas, berbanding terbalik denganku yang dipenuhi senyum kemenangan. "Jangan bilang aku melewatkan sesuatu yang penting, Kilesa. Kau selalu seperti ini. Lalu siapa yang membunuh Yudi Susabda?"

Aku hanya berkata pelan, "Keadilan."

Kasus lain dapat dilihat di sini.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun