Dengan polosnya ia menampilkan dua kepalan tangan, lalu perlahan -- lahan memajukan jari demi jari. Ada enam jari terlihat sebelum ayahnya mengangkat anak itu dengan senyum yang dipaksakan.
"Sepertinya Suteja belum sarapan. Kami permisi dulu, pak polisi."
Keduanya bergegas mengundurkan diri dan menghilang dari pandangan. Mahmud tersenyum di sampingku.
"Kau benar, Kilesa. Saksi terakhir itu menjadi sangat penting. Terlebih, jika ini luput dari penglihatanmu, tangan anak itu..."
Aku menggeleng, "Tidak, Mahmud, tidak. Sama sekali tidak terluput. Semuanya kini serba jelas. Nah, datang satu lagi rekan kita. Ia pun akan memperjelas praduga kita."
Charles datang dengan tergopoh -- gopoh sambil memegangi topinya. Ia menggeleng dengan cepat.
"Tidak ada, Kilesa, tidak ada. Tidak ada data Ovy di semua penerbangan, kereta, dan jalur laut. Untuk jalur darat, tentu sulit untuk melacaknya. Kita harus cepat, Kilesa, kalau tidak, jejak anak ini akan hilang."
"Tidak perlu, Charles. Perkataanmu justru menutup kasus ini."
Charles terlihat gemas, berbanding terbalik denganku yang dipenuhi senyum kemenangan. "Jangan bilang aku melewatkan sesuatu yang penting, Kilesa. Kau selalu seperti ini. Lalu siapa yang membunuh Yudi Susabda?"
Aku hanya berkata pelan, "Keadilan."
Kasus lain dapat dilihat di sini.