"Sudah, di pintu masuk. Maaf tuan, tapi aku kurang terkesan dengan pahatan itu."
"Bukan, maksudku di alun -- alun. Kau belum melihatnya?"
Lohgawe menggelengkan kepalanya. Ada lagi?
"Sudahlah, kau bisa melihatnya nanti. Itu adalah persembahan para seniman Kahuripan bagi Jayabaya pada saat kunjungannya ke tempat ini dahulu. Sekarang di arah sana. Kuyakin kau memperhatikan tempat itu, bukan? Pelabuhan itu memang menarik." Norman Caraka menunjuk lautan lepas.
Mata Lohgawe pada awalnya terpaku pada biru laut. Namun beberapa kapal besar yang tertambat pada sebuah pelabuhan menyadarkannya. Ia sedang memperhatikan pelabuhan terkenal yang diciptakan oleh pendiri kerajaan, Pelabuhan Hujang Galuh.
"Tempat itu tidak pernah tertidur, kawan. Terlebih, karena sekarang musim penghujan, penghasilan garam dari pulau seberang sedang meningkat. Lihatlah, banyak sekali perahu disana, bukan?"
Lohgawe mengangguk tanda setuju. Jenis perahu yang hadir di tempat itu bermacam - macam, dari perahu cadik hingga perahu layar. Bentuk Pelabuhan Hujang Galuh sendiri menarik perhatiannya. Berpetakan seperti pohon, dengan dedaunan seumpama perahu, cabang adalah aliran air, dan Kali Brantas sebagai batang pohon. Hebat.
"Kau masih ingin menikmati pemandangan ini? Aku ingin bergabung bersama kawan -- kawan di bawah." Norman Caraka bersiap dengan tali kekang kudanya.
"Tidak, tuan. Mari kita turun bersama."
Sambil memacu kudanya beriringan, Lohgawe teringat sesuatu.
"Bukankah tuan tidak ingin ikut ekspedisi ini?"