"Emas dan perak adalah kekuatan tidak tertandingi."
"Gunung dan lautan adalah rumah beta."
Lohgawe tersenyum. Ia menyadari bahwa Ken Arok telah mendiktekan padanya semboyan -- semboyan kerajaan dari seluruh nusantara.
"Lucu bukan, brahmana? Tidak peduli kerajaan itu besar atau kecil, kuat atau lemah, miskin atau kaya, mereka memiliki semboyan. Mereka memiliki harga diri. Namun semboyan kerajaan ini adalah yang terburuk: Kediri menang, Kediri jaya."
"Kau terbalik lagi. Kediri jaya, Kediri menang."
"Apapun itu. Dengarlah, siapa yang takut dengan semboyan seperti itu. Semboyan Sriwijaya berupa ancaman. Semboyan Kerajaan Bali menandakan pertahanan tangguh. Semboyan rakyat Ternate melambangkan harga diri. Semboyan Kerajaan Makkasar menunjukkan kekayaan. Akankah musuh takut dengan semboyan Kediri? Sebaliknya, mereka memperolok -- olok kita."
Lohgawe tersenyum, "Mengapa tidak kau ganti saja?"
Ken Arok menatap Lohgawe, seakan bertanya, "Maksudmu?"
"Ganti saja semboyannya. Jika kau menjadi raja kelak."
Ken Arok mengambil posisi duduk di samping Lohgawe. Ia pun menatap bintang -- bintang. Tidak seperti biasanya. Seringkali manusia bernama Ken Arok langsung menghardik jika kusindir.
"Aku ini hanya seorang jagal pasar, brahmana. Kau kemarin menyadarkanku untuk tidak berani bermimpi terlalu tinggi."