Mohon tunggu...
Theodorus BM
Theodorus BM Mohon Tunggu... Administrasi - Writer

Seorang pemuda yang senang menyusun cerita dan sejarah IG: @theobenhard email: theo_marbun@yahoo.com wattpad: @theobenhard

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Lohgawe

10 Maret 2020   17:49 Diperbarui: 10 Maret 2020   18:05 474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ribuan bintang.

Lohgawe menatap langit malam di kaki Gunung Bromo, Tumapel dari tempat duduknya. Tidak seperti biasanya, kini ribuan bintang menghiasi langit. Sesuai kepercayaan masyarakat sekitar, hadirnya bintang -- bintang tersebut menandakan sesuatu yang besar akan segera terjadi. Hawa dingin menambah suasana pemandangan semarak di malam itu.

Tentu saja sesuatu yang besar akan terjadi. Hanya saja itu tidak diharapkan orang banyak. Siapa yang menginginkan lautan darah?

Orang di belakangnya menghampiri Lohgawe. Sang brahmana memalingkan muka dan menyadari sang pemimpin ada di sampingnya.

"Kemanakah lawan akan melangkah, jika pulau sudah terkepung?" Kata -- kata pertama yang diserukan oleh Ken Arok membuat Lohgawe tersenyum. Namun ia tidak berhenti.

"Kediri menang, Kediri jaya."

Lohgawe menanggapi, "Terbalik, Ken Arok. Kediri jaya, Kediri menang."

Ken Arok tidak memperdulikan perkataan Lohgawe, "Untuk semua kebaikan, aku bersyukur."

"Berbeda -- beda namun tetap satu jua."

"Tidak ada seorang pun yang berani mengganggu tanah para dewa."

"Berwibawa, berjaya, dan makmur."

"Emas dan perak adalah kekuatan tidak tertandingi."

"Gunung dan lautan adalah rumah beta."

Lohgawe tersenyum. Ia menyadari bahwa Ken Arok telah mendiktekan padanya semboyan -- semboyan kerajaan dari seluruh nusantara.

"Lucu bukan, brahmana? Tidak peduli kerajaan itu besar atau kecil, kuat atau lemah, miskin atau kaya, mereka memiliki semboyan. Mereka memiliki harga diri. Namun semboyan kerajaan ini adalah yang terburuk: Kediri menang, Kediri jaya."

"Kau terbalik lagi. Kediri jaya, Kediri menang."

"Apapun itu. Dengarlah, siapa yang takut dengan semboyan seperti itu. Semboyan Sriwijaya berupa ancaman. Semboyan Kerajaan Bali menandakan pertahanan tangguh. Semboyan rakyat Ternate melambangkan harga diri. Semboyan Kerajaan Makkasar menunjukkan kekayaan. Akankah musuh takut dengan semboyan Kediri? Sebaliknya, mereka memperolok -- olok kita."

Lohgawe tersenyum, "Mengapa tidak kau ganti saja?"

Ken Arok menatap Lohgawe, seakan bertanya, "Maksudmu?"

"Ganti saja semboyannya. Jika kau menjadi raja kelak."

Ken Arok mengambil posisi duduk di samping Lohgawe. Ia pun menatap bintang -- bintang. Tidak seperti biasanya. Seringkali manusia bernama Ken Arok langsung menghardik jika kusindir.

"Aku ini hanya seorang jagal pasar, brahmana. Kau kemarin menyadarkanku untuk tidak berani bermimpi terlalu tinggi."

"Kapan aku mematikan mimpi -- mimpimu, wahai pemimpin?"

Ken Arok menatap Lohgawe.

"Katakanlah apa yang menjadi kelebihanku, brahmana. Pembicaraan dengan Regiastara kemarin menjadi asal muasal keraguan dalam diriku. Dari sisi otot aku masih kalah oleh Bolgun. Otakku tidaklah pintar. Berbakti kepada orang tua dan Dewa Siwa pun aku tidak pandai. Aku bahkan meragukan visimu di Pasar Remuk dahulu akan jadi kenyataan. Jadi bagaimana aku akan menjadi orang terutama di negeri ini?"

Lohgawe berpikir sejenak, lalu menjawab, "Dengan sebuah kata bernama kesempatan. Kau tahu, bagaimana Airlangga menyatukan kerajaan -- kerajaan kecil di timur Pulau Jawa ini?"

Ken Arok mengangguk. Cerita Airlangga mempersatukan kerajaan -- kerajaan kecil merupakan cerita umum yang bahkan anak -- anak di pasar pun mengetahuinya.

"Tapi sekali lagi, Hyang Lohgawe, Airlangga memang memiliki hak untuk naik takhta karena ia berasal dari keturunan Raja Udayana dan Mahendradatta."

"Kerajaan Kediri tidak akan terbentuk jika Mpu Narotama tidak berhasil membujuk Airlangga untuk turun gunung dan menaklukkan raja -- raja kecil di hulu Sungai Solo. Untuk mengambil simpati rakyat dia menamakan kerajaannya Kerajaan Kahuripan terlebih dahulu."

Ken Arok tertawa kecil, "Engkau tidak sama dengan Mpu Narotama, kawan. Ia adalah cendekiawan besar. Lihat saja, begitu ia mangkat kerajaan terpecah menjadi dua."

"Aku memang bukan seorang cendekiawan, Ken Arok. Kau sudah bersama -- sama denganku selama beberapa waktu. Perhatikan, adakah keputusanku yang salah?"

Ken Arok menimang -- nimang. Lohgawe memang berjasa baginya, terlebih ketika menemukan kepalsuan dalam diri musang kecil.

"Kau sendirilah yang memintaku menjadi penasihatmu. Perhatikan ribuan bintang di langit ini. Aku bisa katakan bahwa kesempatanmu untuk menjadi orang nomor satu di negeri ini sama dengan banyaknya bintang di atas sana. Sangat kecil. Namun dengan petunjuk yang benar rakyat bisa mengartikan posisi bintang -- bintang dan membuatnya menjadi suatu makna. Seperti itulah diriku. Aku yakin suatu saat nanti akan muncul suatu kesempatan untukmu bisa memasuki posisi penting di kerajaan."

Luar biasa Lohgawe, kau memang pandai berkata -- kata. Teruskanlah, agar nyawamu tersambung. Seorang peramal memang harus meyakinkan. Musang kecil pun menyetujui.

Ken Arok manggut -- manggut. Terlihat jelas bahwa ucapan Lohgawe meyakinkan dirinya. Ia menatap Lohgawe dengan penuh hormat.

"Ada satu lagi yang menjadi masalah bagiku, Hyang Lohgawe."

"Mengenai pertarungan empat hari lagi kau tidak usah khawatir, Ken Arok. Bukankah engkau sudah mempersiapkan segalanya; persenjataan, kuda, dan persediaan makan? Kita serahkan nasib kepada dewa dan berharap yang terbaik akan hadir bagi kita. Bahkan bukan keputusan yang salah jika kita memikirkan ulang untuk pergi ke tengah Pulau Jawa."

Bagus. Sifat pengecut muncul kembali.

Ken Arok menggeleng, "Bukan itu yang menjadi keraguanku, brahmana. Aku yakin seyakin -- yakinnya untuk menerima tawaran Anggabaya."

Kini Lohgawe terperangah, "Lalu apa, wahai pemimpin?"

"Kau ingat dengan wanita bagaikan dewi di pendopo Tumapel dulu? Ketika kita mendengarkan Tunggul Ametung menerima aduan dari rakyat kecil?"

Ingatan Lohgawe menyeruak. Ia yang dahulu menyuruh Ken Arok untuk memperhatikan sang gadis, kini ia sendiri melupakannya.

"Tentu, Ken Arok. Aku tidak akan melupakannya." Lohgawe berbohong.

"Di seluruh hidupku, di seluruh perjalananku menjelajahi tanah timur Pulau Jawa ini, wanita terindah yang pernah kusaksikan ternyata hidup di pinggir Kabupaten Tumapel. Aku tidak menyadarinya. Sejak pertemuan di pendopo itu, aku berniat untuk bertemu dengannya dan bertukar sepasang dua pasang kata. Namun akibat kasus dengan saudagar kaya itu, kini kediamannya dijaga oleh penjaga sepanjang waktu. Aku bahkan harus diam -- diam memerhatikan Dedes dari jauh."

Lohgawe berhati -- hati. Masalah hati adalah masalah paling pelik di muka bumi ini. Salah langkah, lihatlah, kerajaan terpecah belah.

"Kau menginginkan perempuan ini, Ken Arok?"

Sang pemimpin menatap balik Lohgawe, "Demi dewa, tentu saja, Hyang Lohgawe. Siapa yang tidak tertarik dengan wanita seperti itu."

"Kau ini ajudan Tunggul Ametung. Mengapa kau tidak meminta untuk menjadi pengawal di kediaman Dedes?"

Ken Arok menggeleng, "Sudah belasan kali aku memintanya, wahai brahmana. Namun ia tidak mengijinkan. Entah apa yang ada di pikirannya. Ia juga kini sering pergi tanpa sepengetahuanku, entah kemana."

Lohgawe menyadari sesuatu. Ini berbahaya sekali, Lohgawe. Berbahaya sekali. Lebih baik alihkan pembicaraan.

"Sudahlah, kawan. Tidak pantas hati bersedih karena masalah wanita. Dengar, nasib adalah dewa juga yang menentukan. Jika wanita itu akan menjadi milikmu kelak, maka terjadilah seperti itu. Kini fokuskan dirimu kepada pertarungan kelak."

Ken Arok mengangguk.

"Jika aku mati nanti, aku tidak akan menyesal. Di dunia ini hanya ada satu orang yang pernah berbagi perasaan denganku. Umang, seorang anak kandung dari pengasuhku terdahulu, Bango Samparan. Aku masih mengasihinya, walaupun ayah angkatku tidak setuju ketika aku memutuskan menjadi pengawal Tumapel."

Lohgawe mendengarkan dengan seksama. Ken Arok kini mulai membuka dirinya.

"Umang dan aku pun terpaksa berpisah. Namun aku masih berharap suatu saat nanti kita akan kembali bersama. Setidaknya aku menunggu sang bangau mangkat terlebih dahulu."

"Adalah tidak baik, Ken Arok, untuk menunggu kematian orang yang dituakan. Dewa tidak menyukainya."

"Aku membenci orang itu, brahmana. Bango Samparan. Memakaiku hanya sebagai jimat keberuntungan saja. Matanya hijau hanya karena duit hasil judi. Selain Umang, tidak ada yang baik di rumah orang ini, begitu pula istri muda dan anak -- anaknya. Hanya kepada Nyai Samparan, istri tua Bango Samparan, aku menaruh hormat."

Lohgawe tertawa keras dalam hatinya. Ironi. Aku adalah seorang penjudi ulung.

"Sudahlah, kawan. Jangan menyimpan dendam. Kau lihat dimana kau berdiri sekarang. Ia telah berhasil mendidikmu menjadi seorang yang kuat dan berpendirian teguh. Aku yakin jika kau bertemu dengannya sekarang, pandanganmu akan berubah."

Ken Arok terdiam dan merenung.

"Baik, Ken Arok, malam sudah larut. Lebih baik kita beristirahat sekarang. Besok akan menjadi hari yang cukup panjang, bukan? Kita akan menempuh perjalanan jauh."

Ken Arok mengangguk dan melangkah bersama Lohgawe menuju gubuk peristirahatan.

***

Ken Arok berdiri di atas sebuah batu. Di hadapannya berdiri puluhan penjahat -- penjahat pasar berpenampilan sangar. Golok, celurit, pedang, dan belati menjadi pemandangan pelengkap bagi para bandit. Satu hal yang mengganggu Lohgawe yang berada di samping Ken Arok adalah tawa menyeringai para penjahat: penuh dengan gigi -- gigi bolong dan bau busuk menyengat. Semua menujukan perhatian kepada sang pemimpin.

"Selamat pagi, teman -- temanku sekalian. Aku tidak ingin berucap lama -- lama. Hari ini kita akan membantu Kerajaan Medang melawan Kerajaan Sriwijaya. Jika kita menang maka kita akan memperoleh uang. Jika kalah maka kita tidak akan kembali ke tempat ini. Jika ada yang menyayangi nyawa kalian, aku mempersilakan kalian pergi dari tempat ini sekarang juga."

Semua bandit bergeming.

"Baik. Hari ini kita menuju arah utara, melewati Kahuripan, menyusuri Sungai Solo, dan kemudian menuju pantai utara Jawa. Aku berharap kita tiba dua hari lagi, tepat ketika Sriwijaya menyerang Medang. Teman -- teman yang lain akan menyatukan kekuatan dengan kita di Kahuripan. Sungguh disayangkan, justru Norman Caraka tidak mengikuti pertarungan ini. Baiklah, kawan, mari kita berangkat!"

Sebuah seruan seperti auman menggema di lereng Gunung Bromo. Para bandit kemudian bersiap -- siap, ada yang mengasah lembing, menyarungkang pedang, menyiapkan kudanya. Lohgawe menghampiri Ken Arok yang baru saja turun.

"Aku teringat sesuatu, pemimpin. Apakah kau sudah meminta ijin kepada sang bupati?"

"Sudah, brahmana. Aku meminta ijin ketika ia menyantap makan siangnya dua hari yang lalu. Ia bahkan tidak terlihat peduli. Mungkin karena ia masih memiliki penjaga yang lainnya."

Ken Arok adalah ajudan terbaik Tunggul Ametung. Dan kini ia tidak peduli? Mencurigakan.

"Mari kita berangkat, brahmana. Kudamu sudah disiapkan."

"Baik, Ken Arok."

Perjalanan yang ditempuh oleh rombongan Ken Arok bukanlah perjalanan sulit. Mereka menyusuri lereng gunung yang lama kelamaan semakin melandai. Perjalanan menuju ke arah utara menyebabkan rombongan harus menyusuri Pantai Pasuruhan. Bau laut menusuk hidung dan deburan ombak menyambut Lohgawe dan kawan -- kawan. Seakan memiliki banyak waktu, Lohgawe berlambat -- lambat menikmati pemandangan biru nan indah itu. Adalah peringatan dari Ken Arok yang mendesak Lohgawe untuk memacu kudanya lebih cepat lagi.

Suatu saat aku akan kembali ke tempat ini. Sendiri dan menikmati angin laut.

Matahari telah condong di puncak langit ketika rombongan Ken Arok memasuki Kahuripan. Di kejauhan Lohgawe sudah melihat bahwa tempat ini berbeda dari tempat -- tempat yang sudah ia kunjungi terlebih dahulu. Tembok batu setinggi manusia mengelilingi perumahan padat yang tertata dengan rapi. 

Seluruh rumah terbuat dari batu bata, berbentuk mirip satu dengan lainnya, dan memiliki berbagai ukiran di temboknya. Patung Dewa Wisnu yang sedang mengendarai garuda menyambut Lohgawe dan kawan -- kawan di gapura masuk. Tidak ada bau busuk menyengat yang menyerang Lohgawe. Hal ini adalah baru baginya, karena ia sudah terbiasa dengan bau sengit di pasar, dan di setiap desa atau kota, keberadaan pasar dapat tercium dengan mudah. Selain itu jalan setapak sangat bersih, tidak ada debu dan kotoran, menandakan masyarakat yang disiplin menghargai kebersihan.

 Kedatangan rombongan Ken Arok membuat beberapa orang memberikan tatapan sinis kepada mereka. Wajar saja, kami ini perompak. Lohgawe menghampiri Ken Arok. Nampaknya sang pemimpin pun terlihat kebingungan.

"Ken Arok, dimana yang lain?

"Aku pun sedang mencari mereka, brahmana. Kami sudah berjanji untuk berkumpul di samping kuil tengah kota. Namun tidak ada orang." Ken Arok menunjuk sebuah kuil tinggi menjulang yang dibatasi oleh pagar kayu. Sebuah tanah lapang luas berada di samping kuil tersebut. Beberapa orang memang berada di tanah lapang tersebut, namun tidak ada yang berpenampilan seperti perampas.

Sebuah suitan panjang terdengar dari pintu gerbang arah timur. Ken Arok mengerti. Ia lalu menghimpun anak buahnya untuk mengikutinya menuju arah timur. Sebuah gapura lebih kecil dari gerbang selatan hadir di pintu gerbang timur. Kini tidak ada Wisnu yang mengendarai sang garuda, hanya sebuah patung wanita yang membawa tempayan berada di puncaknya. 

Tanah berumput melandai naik menandai perjalanan Lohgawe. Sampai di puncak bukit ia dapat melihat perkumpulan bandit telah berkumpul di lembah hadapannya. Jumlahnya sangat banyak sehingga ia tidak dapat menghitung. Ia memperkirakan perkumpulan mencapai seribu orang. Di kejauhan ia dapat melihat laut biru membentang. Sebuah pemandangan yang indah.

Ken Arok memberikan tanda untuk turun dan bergabung bersama para bandit lainnya. Lohgawe hendak mengikuti, namun sebuah genggaman hadir pada tangannya.

"Tunggulah dulu, brahmana, kulihat kau sedang menikmati pemandangan Laut Jawa. Nikmatilah beberapa saat lagi."

Lohgawe menoleh ke samping. Norman Caraka.

"Ah, tuan Norman Caraka. Kau mengagetkanku saja. Selamat siang, tuan. Dewa memberkatimu."

Norman Caraka tersenyum. Rambut putihnya berkibar -- kibar terkena tiupan angin.  "Dewa menyertaimu juga, kawan."

"Sudahkah kau melihat patung Dewa Wisnu mengendarai garuda di dalam kota?"

"Sudah, di pintu masuk. Maaf tuan, tapi aku kurang terkesan dengan pahatan itu."

"Bukan, maksudku di alun -- alun. Kau belum melihatnya?"

Lohgawe menggelengkan kepalanya. Ada lagi?

"Sudahlah, kau bisa melihatnya nanti. Itu adalah persembahan para seniman Kahuripan bagi Jayabaya pada saat kunjungannya ke tempat ini dahulu. Sekarang di arah sana. Kuyakin kau memperhatikan tempat itu, bukan? Pelabuhan itu memang menarik." Norman Caraka menunjuk lautan lepas.

Mata Lohgawe pada awalnya terpaku pada biru laut. Namun beberapa kapal besar yang tertambat pada sebuah pelabuhan menyadarkannya. Ia sedang memperhatikan pelabuhan terkenal yang diciptakan oleh pendiri kerajaan, Pelabuhan Hujang Galuh.

"Tempat itu tidak pernah tertidur, kawan. Terlebih, karena sekarang musim penghujan, penghasilan garam dari pulau seberang sedang meningkat. Lihatlah, banyak sekali perahu disana, bukan?"

Lohgawe mengangguk tanda setuju. Jenis perahu yang hadir di tempat itu bermacam - macam, dari perahu cadik hingga perahu layar. Bentuk Pelabuhan Hujang Galuh sendiri menarik perhatiannya. Berpetakan seperti pohon, dengan dedaunan seumpama perahu, cabang adalah aliran air, dan Kali Brantas sebagai batang pohon. Hebat.

"Kau masih ingin menikmati pemandangan ini? Aku ingin bergabung bersama kawan -- kawan di bawah." Norman Caraka bersiap dengan tali kekang kudanya.

"Tidak, tuan. Mari kita turun bersama."

Sambil memacu kudanya beriringan, Lohgawe teringat sesuatu.

"Bukankah tuan tidak ingin ikut ekspedisi ini?"

Norman Caraka menggeleng. "Aku tidak ingin ikut pada awalnya. Namun aku bosan, brahmana. Tawaran kerjaan pun sedang sepi -- sepinya. Tenang saja, aku tidak akan ikut bertempur, aku hanya memerhatikan dari jauh. Aku akan ikut ke arah barat, Lohgawe."

"Ini berbahaya, tuan Norman Caraka. Ini medan perang. Kau bisa terbunuh oleh kecelakaan."

Norman Caraka menatap Lohgawe dan tersenyum, "Kau yang bukan penjahat menasihati aku seorang kriminal?"

Aku juga penjahat, tuan. Hanya tidak terlihat dan terperhatikan saja.

"Tenang saja, aku membawa pedang untuk jaga -- jaga, brahmana."

"Dan kau sendirian saja, tidak ada anggota kelompokmu yang ikut?"

Norman Caraka mengangguk.

"Tenanglah, brahmana, aku lebih berpengalaman darimu. Oh lihat, nampaknya kita sudah memilih pemimpin untuk memimpin ekspedisi ini."

Lohgawe menatap ke depan. Di atas kayu yang ditumpuk, Ken Arok mengangkat goloknya tinggi -- tinggi. Di sampingnya hadir berturut -- turut Candradimuka, Panji Lodeh, dan musang kecil. Ketiganya memegang senjata masing -- masing.

Tunggu. Mana si bocah pintar Regiastara? Bukankah ia menyatakan ingin ikut dulu?

"Selamat siang, wahai para perampok dan perompak. Dewa menyertai kita semua."

Gema sorak sorai menyambut salam Ken Arok.

"Sekarang telah tiba saatnya kita akan menuju arah barat dan membantu Kerajaan Medang menghadapi Kerajaan Sriwijaya. Jika kita menang, kita akan mendapat uang, sebaliknya jika kita kalah kita tidak akan kembali ke tempat ini. Nyawa adalah taruhannya, jika ada yang takut silakan pergi dari tempat ini sekarang juga."

Kata -- kata yang sama diulangi oleh Ken Arok kepada kumpulan yang berbeda. Hasil yang sama didapatkan olehnya. Tidak ada bandit yang meninggalkan lembah.

"Kita akan menyusuri Sungai Solo sebelum menuju ke pantai utara. Perjalanan akan memakan waktu dua hari, tepat ketika Sriwijaya melangkah ke atas tanah Jawa. Kita akan menuju Kalingga, dimana pasukan Sriwijaya akan berlabuh. Kita hanya beristirahat sebentar -- sebentar saja, jadi urus perbekalan dan lainnya dengan kelompok masing -- masing. Kuharap penjelasan ini dimengerti oleh kalian. Satu lagi, Regiastara akan bergabung dengan kita di hulu Sungai Solo. Baiklah, mari kita berangkat. Serbu!"

Para bandit menyatukan suara dan mengangkat senjatanya tinggi -- tinggi di lembah samping Kota Kahuripan. Pemandangan yang sama terjadi selanjutnya. Para bandit mempersiapkan senjata, kuda, dan perbekalannya, hanya kali ini dalam jumlah yang lebih besar. Mata Ken Arok bertemu dengan Lohgawe. Sang brahmana mengangguk.

***

Lohgawe menyantap ikan bakar di hadapannya. Beberapa jarak di sampingnya Sungai Solo mengalir dengan deras. Walaupun gelap, Lohgawe mengetahui bahwa kecepatan sungai itu masih sama ketika ia menjumpainya pertama kali di sore tadi. Berkumpul bersama teman -- teman rombongannya, ia menjaga langkahnya untuk tidak terjatuh ke atas aliran Sungai Solo.

Jayapati berseloroh, "Brahmana, kau tidak membawa pedang atau golok?"

Lohgawe membalas, "Tidak, kawan. Aku tidak berencana bertempur di medan pertarungan. Aku hanya akan memerhatikan dari jauh."

Bolgun tertawa terbahak -- bahak. Seseorang bernama Lidisaka menimpali tawa Bolgun.

"Kau mungkin tidak akan bertempur, brahmana. Tapi lehermu mungkin akan tertebas tidak sengaja oleh teman sendiri."

Jayapati menggeleng -- geleng, "Aku membawa satu belati sebagai cadangan. Pakailah, brahmana. Lidisaka benar, kau mungkin tidak akan bertempur, tapi kau harus mempertahankan diri."

Percuma, Jayapati, aku tidak punya ilmu memegang belati. Lagipula, kau meremehkanku dalam keahlian menyembunyikan diri.

"Baiklah, Jayapati. Akan kusimpan belati ini. Semoga engkau senang. Akan kukembalikan seusai perang."

Jayapati tersenyum.

"Kau berencana kembali dengan selamat, brahmana?"

"Tentu saja, Jayapati."

Bolgun menanggapi, "Kita semua akan mati di medan perang, brahmana. Kita semua disini tahu akan hal itu."

Sial. Aku bahkan tidak terpikirkan untuk mati hingga saat ini. Kabur sajakah? Masih ada waktu.

Jayapati berkata, "Brahmana, apakah kau takut dengan kematian? Kau adalah brahmana, jika kau mati apakah kau mencapai moksa atau samsara?"

Aku tidak tahu, Jayapati. Aku adalah seorang penipu. Penipu!

"Aku dapat mencapai moksa dengan bimbingan orang berilmu lebih tinggi dariku. Walaupun aku brahmana, ilmuku tidak cukup tinggi untuk menjalankan moksa samnyasa yoga, tingkatan tertinggi untuk mencapai atman. Mengenai samsara, jika aku dilahirkan kembali, aku tidak tahu, aku bergaul dengan kalian di akhir hidupku."

Jayapati tersenyum, "Tenanglah, Hyang Lohgawe, kami bukanlah orang -- orang yang jahat. Hanya penegak keadilan dengan memakai otot saja."

Bolgun menanggapi, "Aku tidak peduli dengan surga dan neraka, kahyangan, atau apapun itu. Jika aku dilahirkan kembali, aku berharap menjadi seorang anak raja dengan segala kemewahannya. Tidak menjadi kasta sudra seperti ini."

"Kau hendak menjadi anak raja, namun kelakuanmu seperti penjahat sekarang ini, bermimpilah, Bolgun, dewa tidak akan mendengarkan permintaanmu."

"Jika aku selamat dari perang ini, aku berjanji untuk mengubah kelakuanku."

Lidisaka berujar, "Kita tidak akan selamat dari perang ini, Bolgun. Kau sendiri yang mengatakan hal itu tadi."

"Aku berubah pikiran. Jika aku selamat aku akan mengikuti Hyang Lohgawe dan menjadi pertapa."

Sebuah sosok muncul dari belakang.

"Aku mendengarkan kalian. Tidak ada yang akan mati lusa. Kita akan memenangkan perang ini."

"Ah, pemimpin."

Ken Arok mengambil posisi duduk di samping Lohgawe.

"Percaya diri adalah kunci. Kalian adalah anak didikku. Tidak ada seorang pun yang berani menentang kelompok Ken Arok di pasar Tumapel. Tunggul Ametung tidak pernah mengeluh, aku adalah prajurit kesayangannya. Hentikan omong mengenai moksa dan samsara ini. Peran kalian saat ini belum selesai."

"Baik, Ken Arok."

"Beristirahatlah kalian. Waktu kita tidak panjang. Subuh kita akan kembali berada di atas kuda."

Satu demi persatu anak buah Ken Arok beranjak meninggalkan perapian, menyisakan Lohgawe dan Ken Arok. Lohgawe baru akan berdiri ketika Ken Arok menanyakan sesuatu kepadanya.

"Jadi menurutmu brahmana, dapatkah aku mencapai moksa atau harus melalui samsara?"

***

Lohgawe melaju bersama kudanya di atas tebing terjal. Di sebelah kanannya ia dapat melihat ombak menerpa karang -- karang tajam. Angin sangat kencang, ia harus memegang tutup kepalanya dengan erat.

Pada siang inilah. Pada siang ini kami akan sampai di Pelabuhan Kalingga. Dan menghadapi pasukan Sriwijaya. Kabur sekarang saja?

Matahari hampir berada di puncak langit pada saat itu. Akankah ia menjadi saksi satu kerajaan terhapus dari permukaan bumi ini?

Sebuah suara menyambutnya dari belakang.

"Selamat siang, brahmana. Nampaknya kau masih setengah tertidur. Aku belum merasakan semangatmu."

"Selamat siang, tuan Norman Caraka. Dewa menyertaimu."

"Dewa menyertaimu juga, kawan."

Bagaimana aku dapat kabur? Di kananku ada terbing terjal. Di kiriku ada sang sesepuh. Hmmm.

"Kulihat kau sekarang membawa belati di pinggangmu, sudah siap bertempur, kawan?"

"Sama sekali tidak, tuan. Aku tidak berniat bertempur. Belati ini dipinjamkan oleh teman rombonganku sebagai alat membela diri."

"Temanmu betul, brahmana. Kau akan bertempur. Bersiap sajalah."

"Bukankah kau sendiri tidak ingin bertarung, tuan Norman Caraka?"

Norman Caraka mendengus.

"Kuberitahu kau sesuatu, Lohgawe. Menjadi setua ini membuat diriku telah kenyang dengan asam garam kehidupan. Juga pertarungan. Aku tidak asing lagi dengan bau ini. Apakah kau tidak menciumnya? Bau ini mengingatkanku dengan masa muda. Darahku bergetar meminta pertarungan."

Lohgawe menggeleng. Ia melihat ke kanan, kiri, belakang, dan depan, namun ia tidak menemukan sesuatu yang dimaksud oleh Norman Caraka.

"Kau masih baru. Kubilang bukan melihat, kawan, tapi mencium."

Terompet berbunyi. Norman Caraka memacu kudanya dengan lebih cepat.

"Ini bau darah dan api! Kutunggu kau di medan pertarungan!"

Norman Caraka bersama kudanya meninggalkan Lohgawe menuju barisan terdepan. Beberapa bandit di belakang Lohgawe menyusulnya dan memacu kudanya. Rasa penasaran membuat Lohgawe ikut -- ikutan melaju bersama kudanya.

Ini belumlah Kalingga. Ada pertempuran disini?

Tanah melandai naik menandai perjalanan Lohgawe. Kini ia bisa melihat di kejauhan. Beberapa kapal layar terbakar. Tiang -- tiang kapal patah. Beberapa lambung kapal bolong akibat tabrakan kapal lainnya, sehingga menunggu tenggelam. Ratusan mayat bergelimpangan di atas lautan.

Lohgawe memerhatikan lebih seksama lagi. Hampir seluruh kapal rusak memiliki layar putih. Dan kini ia menyadari sesuatu. Barisan kapal layar tiga berwarna kuning memenuhi perbatasan tebing dan Laut Jawa. Tali -- tali pengait hadir di kapal- kapal itu menuju ke atas tebing.

Gila.

Kini bebunyian semakin nyaring di telinga Lohgawe. Ia memang belum melihatnya, namun bunyi teriakan dan dentingan logam menusuk di telinganya. Tidak ingin ketinggalan, Lohgawe memacu kudanya dengan cepat ke atas bukit. Pemandangan mencengangkan muncul di hadapan Lohgawe.

Sebuah suara hadir di belakangnya.

"Brahmana, ternyata mereka tidak menyerang di Kalingga. Mereka menyerang di sini!"

Lohgawe bergeming dan tidak menjawab seruan Ken Arok.

"Lohgawe!"

Lepas dari keterkejutannya, Lohgawe menatap Ken Arok.

"Ini bukan pasukan Medang, Ken Arok. Ini hanya rakyat biasa. Kasihan sekali mereka!"

Ken Arok menggeleng. "Lawan mereka memakai baju kuning. Lawan kita jelas siapa. SERBUUU!"

Ken Arok mengangkat pedangnya tinggi -- tinggi dan memacu kudanya menuruni bukit. Sebuah auman dari para bandit menandai keikutsertaan para bandit dari tanah timur pada perang Medang melawan Sriwijaya. Lohgawe hanya bisa terdiam melihat ratusan kuda melaju di kiri dan kanannya, menuruni bukit dengan pengendara -- pengendara yang mengacungkan senjatanya tinggi -- tinggi.

Kejam sekali pertempuran ini, wahai dewa.

Cerita lengkap dapat dibaca di sini.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun