"Dewa menyertaimu juga, kawan."
Bagaimana aku dapat kabur? Di kananku ada terbing terjal. Di kiriku ada sang sesepuh. Hmmm.
"Kulihat kau sekarang membawa belati di pinggangmu, sudah siap bertempur, kawan?"
"Sama sekali tidak, tuan. Aku tidak berniat bertempur. Belati ini dipinjamkan oleh teman rombonganku sebagai alat membela diri."
"Temanmu betul, brahmana. Kau akan bertempur. Bersiap sajalah."
"Bukankah kau sendiri tidak ingin bertarung, tuan Norman Caraka?"
Norman Caraka mendengus.
"Kuberitahu kau sesuatu, Lohgawe. Menjadi setua ini membuat diriku telah kenyang dengan asam garam kehidupan. Juga pertarungan. Aku tidak asing lagi dengan bau ini. Apakah kau tidak menciumnya? Bau ini mengingatkanku dengan masa muda. Darahku bergetar meminta pertarungan."
Lohgawe menggeleng. Ia melihat ke kanan, kiri, belakang, dan depan, namun ia tidak menemukan sesuatu yang dimaksud oleh Norman Caraka.
"Kau masih baru. Kubilang bukan melihat, kawan, tapi mencium."
Terompet berbunyi. Norman Caraka memacu kudanya dengan lebih cepat.