Luar biasa Lohgawe, kau memang pandai berkata -- kata. Teruskanlah, agar nyawamu tersambung. Seorang peramal memang harus meyakinkan. Musang kecil pun menyetujui.
Ken Arok manggut -- manggut. Terlihat jelas bahwa ucapan Lohgawe meyakinkan dirinya. Ia menatap Lohgawe dengan penuh hormat.
"Ada satu lagi yang menjadi masalah bagiku, Hyang Lohgawe."
"Mengenai pertarungan empat hari lagi kau tidak usah khawatir, Ken Arok. Bukankah engkau sudah mempersiapkan segalanya; persenjataan, kuda, dan persediaan makan? Kita serahkan nasib kepada dewa dan berharap yang terbaik akan hadir bagi kita. Bahkan bukan keputusan yang salah jika kita memikirkan ulang untuk pergi ke tengah Pulau Jawa."
Bagus. Sifat pengecut muncul kembali.
Ken Arok menggeleng, "Bukan itu yang menjadi keraguanku, brahmana. Aku yakin seyakin -- yakinnya untuk menerima tawaran Anggabaya."
Kini Lohgawe terperangah, "Lalu apa, wahai pemimpin?"
"Kau ingat dengan wanita bagaikan dewi di pendopo Tumapel dulu? Ketika kita mendengarkan Tunggul Ametung menerima aduan dari rakyat kecil?"
Ingatan Lohgawe menyeruak. Ia yang dahulu menyuruh Ken Arok untuk memperhatikan sang gadis, kini ia sendiri melupakannya.
"Tentu, Ken Arok. Aku tidak akan melupakannya." Lohgawe berbohong.
"Di seluruh hidupku, di seluruh perjalananku menjelajahi tanah timur Pulau Jawa ini, wanita terindah yang pernah kusaksikan ternyata hidup di pinggir Kabupaten Tumapel. Aku tidak menyadarinya. Sejak pertemuan di pendopo itu, aku berniat untuk bertemu dengannya dan bertukar sepasang dua pasang kata. Namun akibat kasus dengan saudagar kaya itu, kini kediamannya dijaga oleh penjaga sepanjang waktu. Aku bahkan harus diam -- diam memerhatikan Dedes dari jauh."