Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Karena Jasa Heri

19 Februari 2017   07:05 Diperbarui: 19 Februari 2017   10:18 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Minggu Pagi 23

HARI masih pagi. Namun matahari sudah muncul dan bersinar seperti biasanya. Heriyanto yang sedang berlibur ke rumah neneknya, malas-malasan. Ia belum mengerti harus ke mana. Walaupun ia sudah akrab dengan Gimin, Ahmad dan Tohari. Mereka adalah teman-teman baru, meski dulu pernah berkenalan. Sewaktu berlibur setahun lalu.

“Besok main ke kali. Kita mandi-mandi lagi, Her,” kata Gimin sebelum berpisah, sore kemarin.

Heri mengiyakan. Tapi pagi ini, ia masih malas-malasan. Mungkin karena udaranya yang kelewat sejuk. Ia agak kedinginan.

Saat itulah Gimin melintas di depan rumah Nenek. Heri mendengar namanya dipanggil-panggil Gimin yang menyenangkan. Walau kulitnya tidak terlalu gelap, anak itu bersih. Mungkin karena sering mandi di air jernih, pikir Hari yang berasal dari Semarang yang panas.

Sebenarnya Heri betah tinggal dan liburan di rumah Nenek Surti. Terutama ia bisa menikmati udara sekitar Baturaden yang sejuk. Desa yang berada di Kaki Gunung Slamet sisi selatan itu, cukup ramai orang berlibur. Ya, terutama dengan mandi di loka wisata yang terkenal itu. Di mana ada mata air yang terkenal berair jernih. Juga pemandangan yang indah. Bukit, jalan melingkar dan pohon-pohon hijau. Termasuk pohon pinus.

“Sudah dua malam di sini, aku terus kedinginan, Min.”

Gimin tertawa.

“Padahal, aku mengenakan dua sarung sekaligus. Biar hangat, maksudku.”

“Iya, iya. Ah, apalagi kamu dari Semarang. Sedangkan aku saja, anak sini, masih saja kedinginan,” ungkap Gimin. Ia yang ditemani Ahmad, segera melanjutkan. “Tanya saja tuh Ahmad. Mad, kamu kedinginan juga, kan?”

“Hehehe …iya,” sahut anak itu.

Heri yang duduk di kelas enam itu, mangut-manggut. Lalu bergumam kecil, meski itu ditujukan kepada dua sahabatnya itu.

“Kenapa ya udara di sini dingin? Ya, udara di daerah pegunungan sini dingin?”

Ahmad dan Gimin tertawa.

“Boleh jadi, karena pegunungan ini kan letaknya lebih tinggi daripada di daerah yang rendah seperti Semarang,” tebak Gimin.

“Kalau begitu, bukannya lebih panas?”

“Kok?” Tanya Ahmad dan Gimin.

“Ya, kan di gunung tempatnya lebih tinggi.”

Sekali lagi, Gimin dan Ahmad saling pandang. Tidak menduga kalau Heri yang tampak pintar itu, berkata seperti itu.

“Bukannya lebih panas, Her?” kata Ahmad.

Ndak tau, sih.”

“Ya, kupikir, karena jadi lebih dekat dengan matahari, kan? Bukankah itu menjadikan di sini lebih panas?”

Mereka kahirnya tertawa bersama. Seperti membenarkan ucapan Ahmad. Namun sekaligus, aneh. Karena selama ini, udara di pegunungan selalu lebih dingin daripada di daerah pantai. Tempat yang lebih rendah.

Namun itulah yang membuat Heri semakin senang dengan teman-temannya itu. Mereka anak-anak yang menyenangkan. Anak-anak yang mudah bersahabat, walaupun tinggal di pegunungan. Tidak merasa rendah diri dengan Heri yang anak kota.

“Sayang, kita tidak sering ketemuan, ya?” kata Heri. “Ya, paling tidak setahun sekali. Seperti sekarang ini.”

Perbincangan di teras rumah Nenek Heri, makin akrab saja. Ya, walauapun tidak ada Tohari yang lebih bisa melucu. Tohari, pandai bercerita lucu. “Tapi itu sebenarnya kudapatkan dari buku cerita yang kubaca,” elak Tohari saat dipuji Heri.

“Tapi apa pun, kau bisa menceritakan dengan baik. Juga bisa membuat yang mendengar tertawa.”

“Aaaaah ….”

Heri pun menanyakan, di mana Tohari. Kenapa tidak ikut bermain?

“Dia kalau siang libur sekolah seperti ini, biasanya membantu mengembalakan kambing Pak Kastubi,” ungkap Gimin.

“O.”

"Kambing-kambing itu, kalau menjelang lebaran Haji, dijual ke kota. Sudah ada yang memesannya.”

Heri manggut-manggut.

Saat itu, terdengar suara nenek memanggil Heri. Anak itu pun langsung menyahut. Dan ia  meminta pamit untuk masuk ke dalam dulu. “Mungkin ada sesuatu,” katanya pamit kepada Gimin dan Ahmad,

Belum sampai di dalam, suara Nenek terdengar.

“Heri, tolong Nenek belikan gula pasir.”

Heri yang kemudian berhadapan dengan neneknya, memandang neneknya dengan agak ragu. “Membeli gula, di mana, Nek?” tanyanya.

“Itu, di warung tak jauh dari balai desa. Itu warung paling dekat dari sini. Selain komplet jualannya,” tutur Nenek.

Heri manggut-manggut. Meski ia belum pernah. Ah, bukankah itu bisa minta antar Gimin dan Ahmad? Apa sulitnya. Sedangkan mereka bermain ke rumah pun, menandakan sedang tidak ada kesibukan apa-apa. Tidak seperti Tohari yang mesti mengembalakan ternak kambing.

“Ini uangnya,” Nenek menyorongkan dua lembar uang kertas.

Heri pun segera menerima uang yang cukup untuk membeli gula. Gula pasir putih yang menjadi teman minum the hangat, seperti kebiasaan orang sekitar Batu Raden.

“Ayo, kamu ikut menemaniku ke warung dekat balai desa, kan?” kata Heri, tanpa basa-basi lagi kepada dua sahabatnya itu.

“Ayo!” sambut mereka dengan senang hati.

Mereka pun berjalan di jalan yang naik-turun. Meski tidak terlalu rusak jalan berbatu dan berpasir di gang tempat tinggal Nenek Kunti.

“Di sini, memang warung Bu Sari paling komplet, Her,” kata Gimin.

 “Oya?”

“He-eh. Selain harganya tidak mahal. Sama seperti warung yang lebih jauh dari sini, warung Bu Sriti.” Imbuh Ahmad.

Mereka pun berjalan menuju warung Bu Sari. Warung yang saat itu sedang tidak ada pembeli. Sehingga Heri dengan leluasa menyebutkan pesan Neneknya.

Saat itu, muncul anak lelaki sebaya Heri. Ternyata Goni, yang baru pulang dari kota. Ia pun dikenalkan Gimin dengan Heri.

“Aku mau beli susu,” kata Goni.

“Wah, mentang-mentang habis dari kota. Minumnya susu nih sekarang,” Ahmad menyeletuk.

“Bukan utnukku. Tapi untuk bapak,” terang Goni.

“O!”

Bu Sari pun melayani pembeli di warungnya. Gula pasir yang ditempatkan di kantong plastic untuk Heri, dan sebuah kaleng susu untuk Goni. Pada kaleng susu yang berdebu itu, Bu Sari sempat meniupkan dengan mulutnya. Sebelum diberikan kepada Goni.

“Lebih baik, lihat tulisan di bawah kaleng, Gon,” kata Heri, mengingatkan sahabat barunya itu.

Goni mengernytikan kening.

“Ah, susu di sini ndak palus, kok. Kita mengenal Bu Sari tidak pernah menjual susu palsu,” jawab Goni, agak kurang senang dengan ucapan Heri.

“Bukan soal paslusnya ….”

“Terus?”

“Coba saja lihat di pantatnya.”

Goni sebenarnya penasaran. Namun ia menurut. Dan ia mendapatkan sebuah teks: September 2012.

"Ada tulisan September 2012 ….”

“Nah, sebaiknya, jangan kau beli saja, Goni.”

Goni menatap kea rah Heri. Tatapannya masih mengandung ketidaksenangan.

“Apa maksudmu sih?” tanyanya penuh selidik.

Ahmad dan Gimin pun diam saja. Ikut bertanya-tanya dalam hati. Ia sedikit membenarkan Goni. Paling tidak, ia lebih mengenal Goni daripada Heri. Goni anak yang baik. Juga anak tidak terlalu bodoh.

“Sekarang kan sudah lewat September 2012?” kata Heri kemudian.        

“Ya. Lalu?”

“Nah, batas pemakaian atau penggunaan susu itu sudah lewat. Ya, lewat penulisan yang kau baca itu. Susu itu hanya boleh diminum sebelum bulan dan tahunnya habis.”

Goni manggut-manggut.

"Terus bagaimana, Her?” kali ini Gimin yang bertanya.

“Ya, minta ditukar saja. Dan sebenarnya, susu itu ndak bisa dijual. Kadaluarsa.”

Goni mulai mengendurkan sikap kakunya kepada Heri. Ia membenarkan apa yang disebutkan Heri. Lalu ia pun berkata kepada Bu Sari. Minta agar susu itu diganti dengan susu lain yang masih diperbolehkan untuk diminum ayahnya.

“Tukar saja, Bu Sari. Daripada ada apa-apa dengan ayahku.”

Bu Sari tersinggung. Apalagi ia ingat kata-kata susu itu tak layak untuk dijual.

“Kau ini siapa, sih?” katanya mendelik, kepada Heri.

“Say ….”

“Dia cucu Nenek Kusti, Bu Sari,” Ahmad menjelaskan.

“Iya. Dia sedang berlibur di sini, Bu Sari,” tambah gimin, merasa tidak enak. Meski ia setuju dengan temannya dari Semarang itu.

“Ndak bisa!” sungut Bu Sari. “Kecil-kecil kok sudah pintar memfinah.”

“Ndak begitu maksudku, Bu ….”

“Aaaah, sudah! Kamu ndak jadi gula juga ndak apa-apa.”

Heri jadi bingung. Jadi serba salah, namun ia hendak member penjeleasan yang yang benar.

“Begini, Bu. Menurut yang say abaca di Koran, kalau ada makanan dan minuman yang sudah lewat batas pemakaiannya. Seperti juga susu yang akan dibeli Goni itu, Bu. Karena bulan dan tahunnya sudah lewat.”

Bu Sari diam.

“Sebaiknya, susu itu jangan dijual.”

“Rugilah, saya.”

Heri garuk-gark kepala. Ahmad, Gimin dan Goni ikut bingung.

“Lebih baik rugi sedikit, tak mengapa, Bu Sari.”

Enak saja!” sungut wanita itu dari dalam warung.

“Lha, daripada kalau diminum ayah Goni dan beliaru sakit, bagaimana? Bu Sari bisa diminta untuk mengobatinya, lho.”

“Eh!” desis wanita itu. Kali ini ia berpikir. Ada benarny juga kata-kata Heri.

“Pasahal susu itu terutup. Jadi, tidak mungkin penyakit masuk ke dalam, kan?” katanya setengah putus asa.

Heri yang tidak menyangka mendapat pertanyaan itu, kembali bingung. Ia tidak mengerti persis soal susu yang kelewat batas penggunaannya.

“Ada apa nih? Kok rebut-ribut!” sela sebuah suara. Muncul laki-laki di antara anak-anak itu. Ia bermaksud untuk membeli sesuatu di warung itu.

“Oh, Pak Mantri Jero,” kata  Bu Sari. “Kbetulan. Ini. Anak baru, eh, cucu Bu Kunti.”

“Kenapa dengannya, Bu?”

“Ya, bagaimana sih. Anak ini menyebut. Kalau susu saya tidak boleh dijual karena kalau dinimum dapat mengakikatkan sakit.” Jeas Bu Sari, sebeisanya.

Pak Amntri Jero mangut-manggut. Lalu ia meminta susu itu. “Boleh saya lihat, Bu?”

Lalu lelaki itu memperhatikan kaleng susu. Pak Mantri Jero dikenal sebagai petugas kesehatan di Puskesmas yang baik. Ia hanya sepintas membaca dan kemudian menaggut-manggut.

“Apa yang dikatakan anak itu, tidak salah, Bu Sari. Dengan kata lain, benar.”

“Eh, kok Pak MAntri membelanya?” Bu Sari kecewa.

“Bukan membelanya, Bu Sari. Susu ini tidak boleh dijual, apalagi diminum.”

Anak-anak itu saling pandang. Senyumnya mengembang.

“Kenapa? Kalau din=minum, bisa jadi akan membuat yang meminumnya sakit. Karena batas pemakaiannya sudah lewat,” jelas Pak MAntri Jero. “Mmm … apa Bu Sari punya persediaan susu yang lain?”

“Yah, hanya tinggal satu, Pak Mantri Jero.”

Pak MAntri kembali manggut-manggut. Kali ini ada senyum di bibirnya.

“Lebih baik rugi satu kaleng daripada rugi dan mendatangkan mala petaka.”

Keadaan menjadi mencair.

“Untung ada Heri, ya Pak Mantri Jero. Kalau tidak, entah bagaimana dengan nasib ayah saya yang ingin minum susu karena sedang sakit,” kata Goni.

“O, ayahmu sakit? Kenapa tak diantar perika ke Puskesmas?” Tanya Pak MAntri.

Goni tersipu-sipu.

“Nunggu saya yang dari kota. Minum susu, satu di antara keinginannya saja, Pak MAntri,” kata Goni.

Keadaan menjadi lebih cerah. Apalagi, Bu Sari tidak lagi bersikukuh menjual susu yang tinggal satu-satunya.

"Terima kasih, ya Heri. Heri sudah berusaha menyelamatkan warga desa ini,” kata lelaki itu sambil mengacak-acak rambut Heri.

Heri hanya senyum-senyum. Ia pun meminta pamit. Lalu diikuti Gimin dan Ahmad. Kembali ke rumah nenek Kunti. Membawa gula yang dibeli lewat cucunya yang teliti itu.

***

Terilhami karya sahabat saya Noerochman, Pemalang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun