Chapter 5: Mata Yang Melihat Segalanya
Dengan dipandu oleh Sang Jaka, Maheswara dan Dyah Asih berhasil sampai di gerbang Kerajaan Tirtapura.
"Nyai. Aku sarankan kau untuk menahan kekuatan siluman mu. Mungkin itu bisa menjadi masalah nanti." bisik Maheswara.
"Aku tidak sebodoh yang kau kira. Aku sudah menahannya sejak kita meninggalkan gubuk Ki Arya." jawab Dyah Asih.
"Hebat juga Nyai."
Maheswara tiba di depan gerbang kerajaan dan langsung disambut oleh dua orang penjaga. "Izinkan saya masuk, saya Sang Jaka datang karena undangan dari Baginda Raja. Dua orang ini adalah karyawan ku." ujar Sang Jaka.
"Izin diterima. Tapi anda harus tetap kami periksa terlebih dahulu sebelum memasuki kerajaan. Banyak hal yang terjadi belakangan ini, sehingga pengamanan lebih diperketat." ujar salah satu penjaga.
"Hmm.. Mau bagaimana lagi." balas Sang Jaka.
Akhirnya kedua penjaga itu memeriksa Maheswara dan Dyah Asih sementara Jaka yang sudah terlebih dahulu diperiksa menonton dari jauh.
"Baik. Tidak ada yang mencurigakan." setelah pemeriksaan yang begitu lama akhirnya mereka bisa memasuki kerajaan Tirtapura.
"Selamat datang di Kerajaan Tirtapura!" sambut Sang Jaka bersamaan dengan terbukanya gerbang.
"Waah!" alangkah terkejutnya Maheswara tatkala kakinya melangkah masuk. Kerajaan yang begitu hijau walaupun diluar gerbang adalah gurun pasir. Benar-benar seperti oasis di tengah gurun. Ketika gerbang dibuka, mereka langsung disambut dengan pasar yang ramai, nampak istana yang megah dari kejauhan.
"Ini belum seberapa. Tunggu sampai kau memasuki taman istana. Oiya ayo kita cari penginapan terlebih dahulu, kalian pasti lelah bukan?" ujar Sang Jaka.
Singkat cerita Maheswara dan kawan-kawan menyewa kamar di sebuah penginapan, beristirahat untuk esok hari menemui Baginda Raja. Maheswara berbagi kamar dengan Sang Jaka sementara Dyah Asih di kamar yang berbeda. Dyah Asih langsung tertidur ketika memasuki kamar sehingga dia takkan bangun sampai esok pagi.
"Dia sepertinya sangat kelelahan ya." ujar Maheswara sambil mengintip.
"Hei Paman bukankah tidak sopan mengintip seorang wanita yang sedang tertidur?"
"Yah aku hanya memastikan dia aman. Tidak ada maksud lain." jawab Maheswara.
"Sebaiknya kita juga cepat tidur. Besok kau temani aku menghadap Raja."
"Aku juga ikut? Hmm lagipula aku juga tidak keperluan lain sih. Aku ingin secepatnya mengisi perbekalan dan pergi melanjutkan perjalanan sebenarnya." ujar Maheswara sembari berjalan ke kamar.
"Sudahlah tidak usah terburu-buru. Pertemuan kita mungkin bukanlah sebuah kebetulan. Aku punya firasat besok akan ada sesuatu yang besar akan terjadi." ujar Sang Jaka mengikuti langkah Maheswara dari belakang.
"Firasat? Sesuatu yang besar? Kau mencurigakan juga ya haha. Aku rasa kau bukanlah pedagang biasa." tawa Maheswara.
Akhirnya mereka berdua memasuki kamar dan tidur dengan lelap untuk bersiap esok hari. "Semoga besok berjalan dengan lancar." Maheswara pun memejamkan matanya dan tertidur.
***
"Hoi Maheswara cepatlah! Kenapa sangat lama?!" panggil Dyah Asih dari luar kamar.
"Paman tolong dipercepat rapi-rapi nya." ujar Sang Jaka.
"Oi oi sebentar, aku pastikan kalian akan terkejut melihat penampilan ku!" teriak Maheswara dari dalam kamar dengan yakin.
"Hadeh apalagi yang orang itu perbuat." keluh Dyah Asih.
"Sudah sudah Nyai." Sang Jaka menenangkan Dyah Asih.
"Persiapkan diri kalian ya! Satu, dua, tiga! Hyaah!" Maheswara membuka pintu kamarnya dengan antusias, memperlihatkan dirinya dalam balutan... Badut?
"Apa kau? Badut? Bruakakakak!" Dyah Asih tertawa sampai terpingkal-pingkal melihat pakaian yang dipakai Maheswara.
"Paman, kita mau menghadap Raja bukan pergi ke pekan raya. Apa Paman tidak ada pakaian lain?" tanya Sang Jaka.
"Heeh... Padahal aku menyiapkan ini untuk saat-saat penting seperti ini. Lihatlah. Bagus bukan? Warnanya yang sangat beragam pasti akan menarik perhatian, semua orang pasti akan suka bukan?" tanya Maheswara dengan antusias.
"Hei Maheswara, kau ini memang payah ya? Orang bodoh mana yang memakai pakaian seperti itu pfft hahaha." Dyah Asih lanjut tertawa.
"Paman bagaimana jika aku mengambilkan pakaian yang lebih baik di tas dagang ku dan paman bisa memakainya, ya?" tanya Sang Jaka.
"Tapi--"
"Paman. Tolong jaga harga diriku didepan Baginda Raja," selak Sang Jaka. "Baiklah tunggu disini ya." Sang Jaka berjalan meninggalkan Maheswara dan Dyah Asih yang masih tertawa terbahak-bahak.
Maheswara hanya bisa murung sementara Dyah Asih terus menertawai nya, tak lama kemudian Jaka datang dengan satu set pakaian, "Ini Paman pakailah." Jaka memberikan pakaian ditangannya kepada Maheswara.
"Hmm baiklah aku ganti baju dulu." dengan murung Maheswara masuk ke dalam kamar.
"Bagaimana Paman?" tanya Jaka.
Maheswara membuka pintu dan menunjukkan dirinya yang sudah ganti baju. "Hmhm cocok sekali." ujar Jaka bahagia.
"Lah sudah ganti baju. Ayo kita berangkat." Dyah Asih terlihat kecewa, meninggalkan Jaka dan Maheswara.
***
Maheswara dan kawan-kawan akhirnya sampai di gerbang istana, "Mohon maaf, tapi dengan siapa saya berbicara?" tanya penjaga gerbang istana.
"Aku Sang Jaka. Ini undangan dari Baginda Raja. Dan dua orang ini adalah karyawan ku." Jaka memperlihatkan surat undangan dari kerajaan.
"Silahkan masuk. Anda sudah ditunggu Baginda Raja." ujar penjaga gerbang.
Selangkah demi selangkah Maheswara menginjakkan kakinya masuk ke dalam istana kerajaan Tirtapura. Lantai yang terbuat dari marmer, dinding dinding istana yang berisi ukiran-ukiran indah. Tanaman-tanaman hijau yang menghiasi setiap sudut istana.
Dua air mancur yang mengapit jalan menuju pintu masuk istana bagaimana gerbang kesegaran yang menyambut setiap tamu yang akan menemui Raja, menghilangkan kekhawatiran dan gelisah. "Ayo kita masuk." Jaka memimpin di depan, dengan pasti dia membuka pintu masuk istana.
Ketika pintu dibuka, disambut lah mereka dengan sebuah ruangan yang megah, sebuah ruang singgasana, mereka berjalan menjajaki karpet yang indah menuju hadapan sang Baginda Raja Tirtapura, Astrasoca, seorang Raja yang bijaksana. Astrasoca bukanlah orang sembarangan, dia memiliki sesuatu yang spesial, matanya yang indah adalah perwujudan dari karunia Dewa. Matanya dapat melihat jauh kedalam diri seseorang, dapat melihat kebohongan dan kejujuran, dan juga dapat melihat aliran energi, maka dari itu orang ini sangat berbahaya bagi Dyah Asih yang sedang menyamar.
Sampailah mereka di hadapan Sang Raja, maka bersimpuh lah Maheswara dan kawan-kawannya. "Angkat kepala kalian." ujar sang Raja dengan lembut. "Aku menerima kalian di Kerajaan ku." lanjutnya.
"Hamba Sang Jaka, datang memenuhi undangan Raja. Salam." Jaka memberikan salam penghormatan kepada Raja.
"Akhirnya engkau datang Sang Jaka. Aku sudah menunggu mu." balas Raja Astrasoca.
"Sebuah kehormatan Baginda, izinkan hamba memperkenalkan dua orang rekan hamba. Dia adalah--"
"Tidak perlu Sang Jaka. Aku sudah tahu." potong Raja Astrasoca.
Raja Astrasoca mengalihkan perhatiannya kepada Maheswara dan Dyah Asih. Melihat mereka dari atas kepala sampai kaki, tatapannya bagai menjelajahi seisi jiwa Maheswara dan Dyah Asih. Tidak ada kebohongan yang dapat disembunyikan.
"Dirimu pasti Maheswara, murid Ki Arya dari Kertasura. Dan kau, Kanjeng Ratu Dyah Asih Malapetaka, Ratu Siluman Agrasura." terang Raja Astrasoca.
"Bagaimana- tidak, maafkan hamba karena lancang Baginda Raja." Maheswara membatalkan pertanyaan dan meminta maaf sementara Dyah Asih terkejut karena dia sudah menahan kekuatannya hingga tak terdeteksi.
"Aku sudah menunggu kedatangan kalian juga. Semuanya sudah aku perkirakan. Maka dari itu langsung saja kita membahas masalahnya, karena kita tidak memiliki banyak waktu." jawab Raja Astrasoca sembari memberikan isyarat kepada orang disampingnya yang ternyata adalah perdana menteri Tirtapura.
Sang Perdana Menteri melangkah maju, berdehem membersihkan tenggorokan nya sebelum berbicara, "Izinkan saya membahas masalah ini. Belakangan ini Kerajaan Tirtapura sering dilanda badai pasir, beruntung kami memiliki dinding pemecah badai. Tapi tentu saja badai ini sangat merugikan karena menghambat proses perdagangan kami. Setelah kami selidiki, penyebab dari badai ini adalah seekor siluman ular derik, Varthasur. Dia dapat menciptakan badai pasir hanya dengan menggerakkan ekornya dan--" kata-kata sang perdana menteri terpotong oleh suara pintu yang terbuka.
"Dia sudah datang." ujar Raja Astrasoca.
"Izin melaporkan Baginda Raja, terlihat sebuah badai pasir yang besar dan dibelakang nya ada seekor ular raksasa." lapor penjaga gerbang luar kerajaan.
"Apa?! Semuanya bersiaga!" perintah perdana menteri.
Seketika ruang singgasana menjadi kacau, ditengah kekacauan itu Raja Astrasoca turun dari singgasananya menghampiri Maheswara, "Dirimu, Maheswara, sudah ditakdirkan untuk menghadapi Varthasur disini. Semoga berhasil." ujar Raja Astrasoca sembari pergi meninggalkan ruang singgasana.
"Paman kita juga harus bergegas!" seru Sang Jaka.
"Padahal aku berharap hari ini tidak akan terjadi sesuatu yang buruk..." gumam Maheswara.
"Cih bagaimana Raja itu bisa tahu. Pokoknya sekarang kita habisi siluman ular derik itu dan pergi dari sini." Dyah Asih segera berlari keluar istana dan melompat terbang ke arah badai.
"Nyai bisa terbang?!" Maheswara terkejut karena kejadian barusan. "Cih seharusnya bilang dari awal, tunggu aku Nyai!!" Maheswara berlari menyusul Dyah Asih yang sudah jauh.
"Sebaiknya aku memanggil Ki Wiryo untuk berjaga-jaga. Hmph hyah." Sang Jaka menggerakkan tangannya, mengumpulkan aliran energi nya untuk memanggil Ki Wiryo yang ternyata adalah sebuah Keris. "Ki Wiryo, pergilah bersama Paman Maheswara. Mungkin dia akan membutuhkan dirimu." Ki Wiryo yang dalam bentuk keris segera melesat pergi.
***
Dyah Asih kini sudah diluar gerbang luar kerajaan, menghancurkan badai pasir dengan kibasan tangannya dan melesat semakin cepat ke arah Varthasur.
"Ular ini pasti utusan dari Ajisana keparat itu!" aliran energi Dyah Asih semakin menguat seiring menipisnya jarak dengan Varthasur.
Dengan kecepatan tinggi kini jarak mereka hanya sepanjang tombak, Dyah Asih mengerahkan kekuatannya, mengumpulkan nya dalam satu pukulan. "Terima ini!!" Dyah Asih berhasil mendaratkan satu pukulan dahsyat di tubuh Varthasur, membuat ular raksasa itu menggeliat kesakitan.
"Cih ternyata kekuatan ku belum sepenuhnya pulih, ap-- aah!" sebelum Dyah Asih sadari dia sudah terpental karena serangan ekor Varthasur.
Varthasur bangkit dan mengerang kencang, berjalan kembali kearah Kerajaan Tirtapura, semakin dekat. "Sshhh grrraahh." Varthasur mendesis.
'krrrik krrrik'
Varthasur menggerakkan ekor nya dan membuat badai pasir yang besar siap menerjang Kerajaan Tirtapura. Sementara itu pasukan pemanah Kerajaan Tirtapura sudah bersiap di gerbang luar kerajaan untuk menyambut Varthasur.
"Aku harap Nyai baik baik saja. Itu dia gerbangnya!" Maheswara terus berlari hingga sampailah dia di depan gerbang kerajaan.
"Anda mau kemana?! Diluar berbahaya!" ujar penjaga gerbang.
"Biarkan aku keluar. Aku harus menghabisi siluman ular itu." terang Maheswara.
"Tidak bisa. Diluar berbahaya--"
'aaaahhh tolong!!'
Terlihat pasukan pemanah Kerajaan Tirtapura tak mampu menahan Varthasur yang kini sudah berada tepat di depan gerbang kerajaan.
"A-Apa itu..." penjaga gerbang terkejut.
"Sial sudah sampai sini. Hop!" Maheswara melompat ke arah Varthasur. "Pergilah dari sini. Hyah!" Maheswara mendaratkan tendangan keras yang berhasil membuat Varthasur terpental cukup jauh.
"Pokoknya izinkan aku keluar." ucap Maheswara setelah mendarat.
"Ba-Baik." sang penjaga gerbang membuka gerbang agar Maheswara bisa keluar dan melawan Varthasur.
"Terimakasih." gerbang perlahan menutup dan Maheswara sudah diluar, bersiap melawan Varthasur.
***
Sementara itu di Istana, Sang Jaka mencari Raja Astrasoca yang ternyata sedang berada di balkon istana. "Raja? Syukurlah Raja tidak apa-apa." ucap Sang Jaka sembari bersimpuh.
"Maheswara, perjalanan yang dia sedang jalani, takkan semudah yang dia pikirkan. Ada banyak orang yang mengincar nyawanya dan rekan-rekannya, akan selalu ada rintangan di jalannya." ujar Raja Astrasoca sembari melihat pertarungan Maheswara melawan Varthasur.
"Dan Ratu Siluman Dyah Asih, semoga saja dendam nya tidak membutakan hatinya." Raja Astrasoca menatap langit, merapatkan tangannya dan berdoa pada Dewa. "Semoga kau selalu dilindungi Dewa."
***
"Aku datang Varthasur!!" dengan cepat Maheswara melesat memberikan serangan pukulan pada Varthasur.
"Khaaaakhh!" Varthasur mengerang kesakitan.
"Hop hyah, mari selesaikan ini." Maheswara berhasil mendarat dengan selamat. "Golok Naga datanglah!" Maheswara memanggil Golok Naga beriringan dengan itu juga petir menyambar dan sambaran itu mengenai Varthasur.
"Hyaah!" Maheswara menebas Varthasur namun tebasannya tidak cukup dalam, "Cih, hah?!" alangkah terkejutnya Maheswara melihat luka tebasan di tubuh Varthasur menghilang.
"Dia punya kekuatan regenerasi kah?! Ini akan menjadi menyulitkan. Hyah." Maheswara menghindari serangan-serangan Varthasur, namun Varthasur belum sepenuhnya mengeluarkan kekuatannya.
"Sshhh khhk shaahh!" Varthasur menembakkan bisa dari mulutnya.
"Ap- sial. Hiih." Maheswara berusaha menghindari serangan bisa itu, serangan berbahaya yang dapat melelehkan apapun yang dikenai nya. "Oi oi itu bahaya bukan? Pokoknya jangan sampai terkena bisa itu. Hop! Sekarang giliran ku!"
Maheswara melompat dan mendarat di kepala Varthasur. "Terima ini!" Maheswara menancapkan Golok Naga di kepala Varthasur dan memanggil petir yang menyambar, membuat Varthasur terbakar akibat petir Golok Naga.
Maheswara yang melihat Varthasur terbakar merasa bahwa pertarungannya belum selesai. "Ini belum selesai, pasti ular ini memiliki kekuatan lain. Bagaimana kalau aku tebas dia sampai menjadi dua. Ah ya ayo lakukan itu." sementara Maheswara merencanakan strategi, Varthasur yang terbakar sudah sepenuhnya pulih kembali.
"Sshhh grrr aaahh!" Varthasur kembali menembakkan bisa nya yang beracun ke segala arah.
"Cih aku tidak suka serangan ini. Ayo kita coba itu. Hmm..." Maheswara menguatkan kuda-kuda nya, berkonsentrasi mengumpulkan aliran energi ke dalam serangan kali ini. "Tebasan Naga!" Maheswara melompat melesat ke arah Varthasur, mendaratkan Tebasan Naga yang berhasil memotong tubuh Varthasur menjadi dua. "Hmm berhasil kah?"
"Tidak, belum. Varthasur tidak akan kalah semudah itu." gumam Raja Astrasoca yang menonton dari balkon istana.
"Lantas bagaimana caranya mengalahkannya Baginda?" tanya Sang Jaka.
"Mahasanga Asura. Kalau Maheswara ingin menghabisi Varthasur, dia harus memakai itu. Tapi dia tidak boleh bergantung terus pada Mahasanga Asura. Senjata itu berbahaya." terang Raja Astrasoca.
"Mahasanga Asura? Berbahaya?" tanya Sang Jaka.
"Mahasanga Asura, semakin sering senjata itu digunakan. Maka umur pengguna nya akan semakin berkurang. Sejatinya senjata itu adalah senjata terkutuk." jawab Raja Astrasoca.
"Terkutuk. Mengerikan sekali, tapi aku sudah menyuruh Ki Wiryo untuk membantu Paman Maheswara. Aku harap itu membantu." ujar Sang Jaka.
"Hmm aku harap begitu."
Maheswara yang masih berada di dekat mayat Varthasur terus memperhatikan nya, firasat nya tidak enak. "Ini belum berakhir kan? Hmm? Ada sesuatu yang tumbuh dari mayatnya." Maheswara mengambil langkah mundur.
Tubuh Varthasur yang terbagi menjadi dua perlahan tumbuh kembali, dari bagian perut sampai ekornya tumbuh tubuh baru lalu kepala. Tetapi bukan hanya satu kepala, tapi dua kepala.
"Oi yang benar saja." Maheswara dihadapkan dengan siluman ular derik raksasa, Varthasur yang abadi.
"Sshhh khhk shaahh!!" Varthasur mengerang kencang sambil menggerakkan ekornya, membuat badai pasir yang menyerang Maheswara.
"Khhkh." Maheswara menahan badai pasir yang menyerangnya, mengoyak pakaiannya dan menyayat tubuhnya.
"Ughh sakit... Siluman ular sialan. Jangan kira kau sudah mengalahkan ku..." Dyah Asih perlahan bangkit dari tidurnya. "Aku akan... Aku akan menghabisi mu!!" amarah Dyah Asih meluap, kekuatannya bertambah dahsyat.
"Jawablah panggilan ku. Warugeni." bersamaan dengan itu awan hitam tiba-tiba mengelilingi Dyah Asih. Sebuah pedang dengan kekuatan hitam turun dari langit yang diselimuti awan hitam. Pedang itulah Warugeni, pedang yang penuh dengan kekuatan hitam. Ketika Warugeni sampai di genggaman Dyah Asih, segera dia melesat dan mendaratkan serang dahsyat. Dengan sekali tebasan berhasil membelah tubuh Varthasur dan membakarnya sampai habis.
Serangan itu begitu cepat membuat Maheswara masih terdiam, terkejut, otaknya terlalu kecil untuk mencerna apa yang baru saja terjadi. Yang ia tahu, sekarang Dyah Asih sedang memegang sebuah pedang dengan kekuatan yang begitu gelap.
"Nyai... Kau tidak apa-apa?" Maheswara mendekati Dyah Asih perlahan, namun Dyah Asih hanya diam tak menjawab. "Nyai.."
"Hhh hyahh!" Dyah Asih tiba-tiba menyerang Maheswara, beruntung Maheswara masih bisa menahan serangan itu.
"Nyai! Apa yang kau-- Nyai! Tidak mungkin... Nyai sadarlah!" Maheswara berusaha menyadarkan Dyah Asih yang kini dirasuki kekuatan hitam Warugeni, membuatnya tak sadarkan diri dimakan amarah.
"Apa pedang ini? Warugeni? Bagaimana bisa? Bukankah pedang ini disegel? Yang lebih penting sekarang adalah menyadarkan Nyai." gumam Maheswara.
"Grrr aaakhhh!!" serangan Dyah Asih semakin kuat.
"Sadarlah Nyai!! Aaaahhh!!"
Bersambung...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H