Review 4 Film Planet of the Apes Rilisan TerbaruÂ
Sudah 4 (empat) film genre fiksi sains yang dirilis ulang berdasar novel karya Pierre Boulle berjudul "Planet of the Apes". 4 (empat) film tersebut yaitu, Rise of the Planet of the Apes (2011), Dawn of the Planet of the Apes (2014), War for the Planet of the Apes (2017), dan Kingdom of the Planet of the Apes (2024).Â
Dalam Rise of the Planet of the Apes (2011), film diawali fokus pada perusahaan bioteknologi Gen-Sys, yang sedang mengembangkan obat alzheimer berbasis virus yang diberi nama Alz-112 oleh penciptanya, Will Rodman (James Franco).Â
Jenis obat dengan mekanisme terapi gen, yang memungkinkan otak menciptakan selnya sendiri untuk menyembuhkan diri. Dalam biologi hal itu disebut sebagai neurogenesis, sebuah pengobatan dengan menggunakan sel punca yang memiliki kemampuan regenerasi.Â
Menariknya sekuel film Planet of the Apes adalah, kecenderungannya untuk menggambarkan jejak evolusi spesies hewan primata yang dianggap sebagai nenek moyang manusia berdasarkan teori evolusi Darwin.
Tetapi bukannya memberikan tontonan terkait proses evolusi, film ini justru dapat mematahkan atau membatalkan evolusi. Bagaimana bisa sebuah film fiksi sains disebut dapat membatalkan teori evolusi Darwin?Â
Sebab alih-alih menyaksikan proses evolusi yang secara bertahap menunjukkan perubahan (perkembangan dan pertumbuhan), yang berangsur-angsur dan perlahan melalui proses seleksi alam, pergeseran genetik (genetic drift), aliran gen (gene flow), mutasi dan perkawinan tidak acak, evolusi spesies hewan primata yang dipertontonkan pada film ini merupakan hasil eksperimen jenis obat alzheimer yang sedang diujikan pada primata simpanse. Â
Hasil uji coba obat Alz-112 pada salah seekor simpanse, yang diberi nama simpanse 9 atau 'mata cerah' telah menunjukkan kemajuan yang signifikan. Mata cerah terbukti mampu menyelesaikan tugas menyusun tumpukan lingkaran berlubang (menara lukas) dan memindahkan ke tiga pasak berbeda dalam waktu cepat dan beraturan.Â
Tetapi sebuah tragedi menghancurkan impian keberhasilan itu, sebab mata cerah menjadi lebih gusar dan agresif ketika ternyata diketahui telah melahirkan bayi simpanse, dan dalam tragedi itu membuat mata cerah alias simpanse 9 terbunuh. Bayi simpanse kemudian dibesarkan oleh Will Rodman secara mandiri di luar pengawasan Gen-Sys.
Oleh Will, bayi simpanse diberi nama Caesar, dan kecerdasan Caesar tampak telah menurun dari ibunya yang telah menerima dosis Alz-112. Saat Caesar menginjak dewasa, emosionalnya pun terbentuk sampai ia terkena kasus penganiayaan terhadap manusia karena emosi melihat ayah Will Rodman, yang berarti kakek asuhnya, dipojokkan oleh tetangganya lantaran penyakit alzheimer yang diderita kakek asuhnya menimbulkan kerusakan mobil yang sedang diparkir.Â
Kejadian tersebut membuat Caesar dikarantina dan dirisak oleh petugas karantina hingga pada akhirnya menolak untuk kembali ke rumah ketika Will coba menebusnya dengan jaminan.
Dari sanalah semua dimulai. Kecerdasan Caesar berangsur-angsur berevolusi, dia mampu mengendalikan berbagai jenis spesies primata yang dikarantina bersamanya, dan berhasil pemimpin pelarian dari tempat itu. Di sini ada adegan mengejutkan yang ditunjukkan oleh Caesar, dia bisa berbicara layaknya manusia.
Pada film Dawn of the Planet of the Apes (2014), Caesar dan sejumlah spesies primata sudah membentuk koloni dan peradaban di hutan Redwood. Catatan penting di sekuel kedua ini, simpanse atau kera yang dapat berbicara layaknya manusia hanya Caesar dan Koba.Â
Namun spesies primata lainnya meskipun tidak dapat bicara tetapi bisa menangkap dan mengerti bahasa manusia serta dapat merespon dengan bahasa isyarat atau gerakan tangan dan tubuh. Koba merupakan spesies primata yang sama seperti simpanse 9, simpanse atau kera yang menerima uji coba obat alzheimer.Â
Konflik antara manusia dan spesies primata mulai terjadi di sekuel ini saat Koba tidak sejalan dengan Caesar. Koba sepenuhnya membenci manusia. Sementara Caesar masih mempunyai sisa kepercayaan terhadap manusia lantaran keberadaan manusia baik. Koba berhianat dan mengambil alih keputusan untuk memusnahkan manusia dengan coba membunuh Caesar. Â
Sisi jahat dan sisi baik spesies primata cerdas di sini menunjukkan bahwa mereka tidak hanya mempunyai keidentikkan bentuk dan susunan tubuh, volume otak dan kecerdasan, melainkan juga karakter dan perilaku. Tetapi sampai di titik ini tidak disebutkan spesies primata seperti Caesar dan Koba tergolong primata homo sapiens jenis yang mana.Â
Karena meskipun bentuk, susunan tubuh dan kecedasan otak yang identik, antara spesies primata cerdas dan manusia memiliki perbedaan mencolok pada tampilan keseluruhan tubuh, kaki, tangan, wajah dan permukaan kulitnya. Â Â
Di sekuel fim ketiga War for the Planet of the Apes (2017), akibat penghianatan Koba dan penyerangannya kepada manusia meskipun Caesar sudah menghabisi Koba agar tak ada lagi spesies primata dalam koloninya yang bisa dipengaruhi, rupanya masih banyak pengikut Koba yang mempunyai jalan yang sama, memilih menjadi pembelot dan mendukung manusia. Di sini manusia melakukan perburuan pada spesies primata pimpinan Caesar.Â
Pada awal-awal film, salah satu anak Caesar dan istrinya dibunuh prajurit pemburu spesies primata. Dengan emosional Caesar dan beberapa kawanannya bergerak mencari prajurit pemburu dan meninggalkan koloni.
Malangnya, sepeninggal Caesar, koloninya justru diserang, ditawan dan dijadikan budak di kamp pertahanan prajurit manusia. Bukannya berhasil membalaskan dendam, Caesar ikut ditawan.Â
Di sekuel War for the Planet of the Apes, koloni manusia jauh berkurang, banyak manusia mati dan terpapar pandemi Flu Simian yang pada masanya mewabah akibat kegagalan perusahaan bioteknologi Gen-Sys dalam mengembangkan obat alzheimer.Â
Di sini mulai timbul manusia yang kehilangan kecerdasan hingga kemampuan bicara akibat virus Flu Simian. Sementara pada sejumlah spesies primata simpanse atau kera mulai tampak bermunculan yang bisa berbicara layaknya manusia.Â
Di akhir film, Caesar berhasil memimpin koloninya terbebas dari tawanan prajurit manusia dan keluar dari ancaman prajurit manusia lainnya serta bencana longsoran salju.
Dalam Kingdom of the Planet of the Apes (2024), Caesar tidak lagi menjadi karakter utama, tetapi Caesar masih menjadi salah satu pemimpin spesies primata legenda, yang paling berpengaruh sampai nama dan integritas serta kredibilitas kepemimpinannya dikambing abu-abukan oleh pimpinan klan gorila, Proximus Caesar.Â
Sekuel Kingdom of the Planet of the Apes berlatar 300 tahun atau ratusan tahun setelah peristiwa di War for the Planet of the Apes. Di sini tak diceritakan keberadaan keturunan langsung dari Caesar. Karakter tokoh utama berasal dari spesies klan elang. Rupanya di film kali ini spesies primata mulai tersebar ke berbagai koloni masing-masing spesies.Â
Akibat kesalahan karakter tokoh utama, Noa, desa tempat tinggal spesies primata simpanse klan elang dibumi hanguskan oleh spesies klan gorila, sebagian koloni termasuk ayah Noa dibunuh, sebagian lagi dijadikan tawanan. Noa, satu-satunya spesies simpanse primata dari klan elang yang ternyata masih hidup dan tak ditawan, memulai pencarian jejak koloninya.Â
Noa keluar dari desanya yang sudah hancur, menembus lorong lembah terlarang yang selama ini tak pernah berani  dijamah oleh spesies simpanse primata klan elang. Dalam perjalanannya Noa bertemu dengan Raka, satu-satunya spesies orang utan primata yang masih hidup. Spesies terakhir yang menggagumi dan percaya pada Caesar. Lalu keduanya bertemu manusia, yang lalu mereka panggil Nova.Â
Sejumlah manusia lainnya pun ditemukan dengan kawanan yang semakin sedikit. Manusia di sini digambarkan telah kehilangan kecerdasannya sampai tak lagi bisa bicara. Kondisinya menjadi terbalik. Peradaban bumi di tengah kondisi yang terbalik itu pun tampak mengalami kemunduran. Baik manusia maupun spesies primata berbagai klan cenderung hidup primitif atau konvensional.Â
Bangunan, gedung-gedung tinggi, rumah-rumah dan berbagai infrastruktur digambarkan tak berfungsi, semua dipenuhi tumbuhan rambat, semak belukar, lumut dan lapuk. Tak ada pembangunan baru. Padahal dengan kecerdasan yang identik dengan manusia dan beratus-ratus tahun sesudah kemajuan manusia di sekuel Rise of the Planet of the Apes, peradaban seharusnya lebih maju.
Dalam upaya menemukan klan elangnya, pada suatu kesempatan terjadi lagi adegan mengejutkan, manusia yang digambarkan telah kehilangan kecerdasan dan kemampuan bicara, tiba-tiba Nova mampu bicara.Â
Rupanya Nova, yang kemudian memperkenalkan diri dengan nama Mae adalah satu-satunya manusia yang tersisa dari desanya setelah dibantai oleh invansi klan gorila di bawah pimpinan Proximus Caesar. Â Â
Di ujung film, kerja sama Mae, Noa dan klan elang berhasil mengalahkan Proximus Caesar dan klan gorilanya. Lalu saat adegan beralih ke klan elang yang sedang bahu-membahu membangun kembali rumah-rumah nya, Mae datang untuk berpamitan pada Noa. Di sini dimunculkan perbincangan epik sekaligus adegan plot twist. Â
Noa berkata, "Jika Raka ada di sini, dia akan bilang kalau Caesar punya banyak pendapat soal ini. Apa dia benar? Bisakah kera dan manusia hidup bersama? Mae menjawab "Aku tidak tahu".Â
Sementara beberapa detik fokus kamera mengarah ke belakang tubuh Mae di saat perbincangan. Kamera fokus pada salah satu tangan Mae yang tengah menggengam pistol dan tampak ingin menembak Noa. Â
Bermula dari Salah Satu Konten Kanal YouTube @forbidden.questions dengan Tagline, Tuhan Ada di Mana?
Suatu ketika muncul sebuah konten di beranda YouTube, yang membuat siapa pun yang meyakini iman, agama dan keberadaan Tuhan terusik.Â
Konten itu datang dari kanal YouTube @forbidden.questions. Sesudah pertama kali menyaksikan dan selanjutnya menonton konten-konten lainnya dengan topik agama dan Tuhan, narasumber sekaligus pemilik kanal YouTube mulai dikenal sebagai wanita cerdas.Â
Mengutip sebuah artikel tulisan Dahlah Iskan di disway.id berjudul "Daging Babi", ia menulis, "Saya penasaran dengan wanita satu ini: pintar, cerdas, lima i, dan begitu berani melawan arus. Namanya: Kumaila Hakimah" di baris kalimat pertamanya.Â
Selanjutnya, Dahlan Iskan memuji dan menulis tentang latar belakangnya. "Kumaila sendiri --duh, cantik sekali wanita ini-- tidak pakai jilbab. Lebih tepatnya tidak lagi pakai jilbab. Awalnya terus berjilbab. Sejak remaja. Lalu tidak berjilbab total sejak 2019. Saat itu usianyi 27 tahun. Kumaila bukan wanita sembarangan. Dia hafal Alquran. Sejak masih umur 12 tahun".
Kemudian Dahlan menghubungi Kumaila, dan menulis, "Ia tinggal di  Jakarta. Dia hidup dalam keluarga yang sangat religius. Sejak sebelum TK sudah belajar membaca Quran.
Lalu Kumaila dimasukkan ke madrasah di Sukabumi, Jabar. Yakni Pesantren As-Syafi'iyah. Kumaila tumbuh remaja di Sukabumi. Sejak SD sampai SMA. Semua dijalani di As-Syafi'iyah.Â
Ketika tamat SMP Kumaila sempat tidak mau langsung masuk SMA. Kumaila menghabiskan waktu satu tahun mengaji informal di Masarratul Muhtajin, di Banten. Lalu pindah ngaji ke Nihayatul Amal di Karawang. Lalu balik ke Sukabumi untuk menamatkan SMA di As-Syafi'iyah.
Berikutnya, "Penguasaan ilmu agama Kumaila lebih dalam lagi di perguruan tinggi. Kumaila memilih kuliah di Institut Ilmu Al Quran, Jakarta. Jurusan tafsir Alquran. Saat kuliah itulah sikap kritis Kumaila atas ajaran agama mulai mendapatkan tempat..."Â
Dahlan Iskan kembali menghubungi Kumaila, dan didapat informasi bahwa ternyata dia putri Prof Dr Achmad Mubarok. Kumaila enam bersaudara, dia sendiri yang wanita. Sang ayah alumni Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mulai S-1 sampai S-3. Luar biasa.Â
Berdasarkan artikel Dahlan Iskan, latar belakang pendidikan, ilmu dan keluarga wanita cerdas ini jelas bukan kaleng-kaleng.Â
Tetapi apakah dengan keseluruhan latar belakangnya yang luar biasa, sebagian besar orang yang merasa iman, agama dan keyakinannya akan keberadaan Tuhan, yang juga dari sebagiannya telah lama dibangun sejak kecil dalam pergulatan batin dan nalar, yang kemudian menjadi terusik oleh kehadiran konten-konten kanal Youtube @forbidden.questions, hanya cukup diam dan tidak boleh membantah?
Suatu waktu muncul lagi sebuah konten dari @forbidden.questions di beranda jendela YouTube, yang tagline kontennya terbaca "Tuhan ada di mana?". Konten tersebut bertajuk "Di Hati atau di langit? Seri Tuhan-Tuhan Manusia Eps.2| Forbidden Questions. Dari sekian banyak komentar di kolom komentar konten tersebut ada sebuah komentar menulis:
"Teteh ini pernah bilang, aku ada karena ibu dan bapakku begituan. Lalu siapa manusia pertama misal diyakini nabi Adam, siapa yang begituan hingga melahirkan Adam? Jika masih bertanya Tuhan di mana setelah berabad-abad manusia tidak mampu menjawab secara rasional"
Dan beruntung komentar itu dibalas oleh kanal @forbidden.questions dengan balasan, "Kalau jejak adanya manusia kan masih bisa diteliti, evolusi bisa menjawab itu. Kalau Tuhan, segala yang berkaitan dengan Tuhan itu terlalu abstrak dan ga ada jejak keberadaan yang bisa diamati". Jawaban yang menarik dan cerdas. Tetapi apakah jejak teori evolusi (merujuk Darwin) bisa membuktikan bahwa keberadaan manusia bukan ciptaan Tuhan?
Teori Evolusi Darwin, Jejak yang Bisa Ditelusuri dan Jejak Evolusi yang Hilang
Menelusuri jejak evolusi tentu tidak sesederhana membuat suatu premis untuk meminta pembuktian seperti, "Aku (manusia) ada karena kera jantan dan kera betina begituan".Â
Begitu pun keberadaan Tuhan ketika dipertanyakan, "Tuhan ada di mana?", jawabnya tidak sesederhana "Dihati setiap orang beriman", "Di langit", atau "Tuhan ada di singgasana-Nya".Â
Entitasnya sama-sama tak bisa dihadirkan dalam hitungan detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, tahun bahkan abad.
Evolusi merupakan perkembangan secara berangsur-angsur. Perkembangan atau perubahan yang terjadi secara bertahap dengan rentang waktu yang sangat panjang.Â
Evolusi menurut kajian biologi berarti perubahan pada sifat-sifat terwariskan suatu populasi organisme dari satu generasi ke generasi berikutnya. Perubahan-perubahan yang antara lain disebabkan oleh kombinasi tiga proses utama: variasi, reproduksi, dan seleksi.Â
Darwin adalah ilmuwan pertama yang mencetuskan teori evolusi. Perkembangan teori evolusi sendiri bisa ditelusuri melalui teori-teori perkembangan atau perubahan bertahap yang sebelumnya disampaikan oleh para ahli.Â
Seperti oleh Aristoteles (teori statis), Carlus Linnaeus (penggagas taksonomi), James Hutton (teori gradualisme), Thomas Maltus (pertumbuhan populasi versus persediaan makanan), Jean Baptiste de Lamarck (teori dinamis), Charles Darwin (teori evolusi, seleksi alam), Alfred Russel Wallace (teori evolusi, seleksi alam) hingga Gregor Johann Mendel (teori genetika). Â Setelahnya, ada perkembangan Evolusi Modern (Neo-Darwinisme).Â
Dari sekian panjang jejak evolusi yang ditinggalkan dalam kurun waktu ribuan tahun hingga jutaan tahun, dalam berbagai teori dari para ahli, jejak awal mula kehidupan terutama manusia masih belum bisa terbukti secara ajeg bahwa keberadaan manusia berasal dari hasil evolusi, bukan hasil kreasionisme (penciptaan).Â
Teori-teori para ahli tentang perkembangan atau perubahan adalah pendapat yang memang benar adanya, didasarkan oleh penelitian dan penemuan, didukung oleh data dan argumentasi, yang selalu cenderung menyasar pada perubahan bentuk fisik, tampilan, perilaku, kondisi dan kemampuan adaptasi di masing-masing tingkat klasifikasi mahluk hidup dengan segala hasil variasi, reproduksi dan seleksinya.Â
Namun hasil penelitian, penemuan, yang didukung oleh data dan argumentasi para ahli sepanjang jejak evolusi yang ada, belum menunjukkan bukti langsung atau sampai pada kesimpulan pasti bahwa proses evolusi kera yang masuk ke dalam spesies primata secara bertahap berdasarkan kaidah evolusi, tiba di tahap homo sapiens dalam bentuk fisik, tampilan, perilaku, kondisi dan kemampuan adaptasi dengan kemampuan bahasa (menulis dan bicara), membangun peradaban dan budaya, mempunyai emosional, moral, norma, nilai dan agama sampai menemukan teknologi layaknya manusia sekarang, dalam konteks kreasionisme.
Melalui sintesis evolusi modern, yang mengacu pada satu set gagasan dari beberapa spesialis biologi yang bersama-sama membentuk suatu teori evolusi komprehensif yang diterima oleh mayoritas ahli biologi. Sintesis evolusi modern dibentuk sekitar tahun 1936-1947 dengan mengembangkan genetika populasi yang merupakan integrasi antara seleksi alam Darwin dengan genetika Mendel.Â
Sintesis modern, yang menguraikan evolusi sebagai suatu perubahan di dalam frekuensi alel dalam suatu populasi dari satu generasi ke generasi berikutnya, pun belum tiba pada kesimpulan yang sama. Masih ada jejak evolusi yang hilang dalam tahapan evolusi dari spesies simpanse atau kera ke homo sapiens hingga tiba dikesimpulan bahwa manusia adalah hasil dari evolusi spesies simpanse atau kera. Â Â
Tidak seperti teori Darwin, menurut sintesis modern, evolusi terjadi tidak hanya karena seleksi alam tetapi juga disebabkan oleh hanyutan/pergeseran genetik (genetic drift) atau penyimpangan genetik, aliran gen (gene flow) atau pertukaran genetik akibat migrasi individu yang subur atau perpindahan gamet antar populasi, dan mutasi genetik atau perubahan yang terjadi pada bahan genetik. Di mana mutasi pada gen dapat mengarah pada munculnya alel baru dan menjadi dasar bagi kalangan pendukung evolusi mengenai munculnya variasi-variasi baru pada spesies.
Frekuensi alel sendiri, adalah proporsi ataupun perbandingan keseluruhan kopi gen yang terdiri dari suatu varian gen tertentu (alel). Dengan kata lain, ia merupakan jumlah kopi suatu alel tertentu dibagi dengan jumlah kopi keseluruhan alel pada suatu lokus dalam suatu populasi. Ia dapat diekspresikan dalam bentuk persentase. Dalam genetika populasi, frekuensi alel digunakan untuk menggambarkan tingkat keanekaragaman genetik pada suatu individu, populasi, dan spesies.Â
Tetapi lagi-lagi, masih ada jejak evolusi yang hilang dari hasil seleksi, reproduksi atau variasi atas seleksi alam, genetic drift, glen flow, mutasi gen dan perkawinan acak yang menghasilkan keanekaragaman genetik  pada munculnya variasi-variasi baru pada spesies primata dalam proses perubahan simpanse atau kera ke homo sapiens menjadi manusia utuh, yang berbudaya dan membangun peradaban.Â
Ketika jejak mati dalam kerangka-kerangka manusia purba, homonid atau homo sapiens yang telah ditemukan dan jejak hidup pada manusia yang sekarang ada, tidak ditemukan jejak hidup proses evolusinya di bumi, di mana simpanse atau kera dan manusia masih bisa hidup bersama, di mana jejak hidup variasi lain spesies primata yang menjadi cerdas di antara simpanse atau kera dan manusia sekarang?Â
Itulah yang dipertanyakan Noa pada Mae di akhir film Kingdom of the Planet of the Apes, yang dijawab oleh Mae "Aku tidak tahu".Â
Namun faktanya, di bumi yang didiami oleh manusia sekarang, spesies primata simpanse atau kera dan lainnya yang tidak memiliki kecerdasan seperti manusia, bisa hidup bersama manusia. Lantas di mana jejak spesies primarta sejenis simpanse atau kera, gorila, orang utan yang tersisa seperti Caesar, Koba, Raka, Proximus Caesar yang bisa bicara dan membangun peradabannya sendiri layaknya manusia jika evolusi simpanse atau kera ke manusia benar-benar terjadi?Â
Persoalan Hereditas, Sejenak Kembali ke Evolusi Seleksi Alam dan Frekuensi Harapan
Berdasarkan pewarisan sifat sifat fisik, perilaku dan biokimia dari suatu mahkluk hidup kepada keturunannya, jejak evolusi dapat dibaca melalui pengaruh fenotif dan genotif dari orang tua atau generasi di atasnya.
Fenotif artinya sifat-sifat fisik yang dapat diamati pada manusia atau mahluk hidup. Sedangkan genotif adalah sifat yang tidak tampak, yang ditentukan oleh pasangan gen atau susunan gen dalam individu yang menentukan sifat yang tampak.
Pada prinsipnya, hereditas atau pewarisan sifat fisik, perilaku dan biokimia yang dipengaruhi oleh fenotif dan genotif identik dengan peluang atau probabilitas dalam rumusan matematika. Hasilnya sama-sama berasal dari kemungkinan yang ada.Â
Sebab perbandingan genetik dan fenotif akan memunculkan hasil yang secara signifikan tidak akan keluar dari sifat-sifat dasar yang dibawa oleh perbandingan genetik dan fenotif induknya.Â
Contoh sederhana dapat dilihat dari probabilitas perbandingan jenis kelamin bayi antara laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin bayi ditentukan oleh tipe kromosom dari sperma pria yang membuahi sel telur.Â
Hampir tiap pasangan memiliki peluang sama, yaitu 50 persen kemungkinan memiliki anak laki-laki dan juga 50 persen kemungkinan mendapatkan anak perempuan.
Kalau kita analisis perbandingan antara anak Laki-laki (XY) dan perempuan (XX), maka kita akan mendapatkan bahwa perbandingannya 1:1 alias 50 persen laki-laki, 50 persen perempuan.
Tetapi bukan berarti kalau punya dua anak, pasti 1 laki-laki dan 1 perempuan. Bukan berarti juga jika punya 4 anak, berarti anaknya 2 perempuan dan 2 laki-laki. Untuk kasus jenis kelamin manusia yang diturunkan sesuai tipe kromosomnya, akan lebih tepat bila dibaca begini:
- Peluang untuk menghasilkan anak perempuan adalah
- Peluang untuk menghasilkan anak laki-laki adalah
Probabilitas jenis kelamin perempuan dan laki-laki identik dengan peluang atau probabilitas rumusan matematika pada lemparan kepingan koin dalam frekuensi harapan.Â
Untuk satu kali lemparan koin peluangnya sama, 50 persen angka dan 50 persen gambar atau memunculkan angka dan memunculkan gambar. Pertanyaan yang kemudian muncul, ketika ternyata pada satu kasus dari sekian banyak kelahiran menghasilkan anak dengan jenis kelamin ganda atau sering disebut interseks atau hermafrodit, kondisi apa yang identik pada lemparan koin?Â
Kondisi dari lemparan koin yang identik pada sekian banyak hasil lemparan koin adalah posisi koin berdiri. Interseks dan posisi koin berdiri, keduanya hanya mungkin bisa terjadi 1 dari 1000 bahkan lebih bayi di seluruh dunia yang lahir dan 1 dari 1000 bahkan lebih koin  yang dilempar.Â
Keidentikkan tersebut tentu memiliki perbedaan ketika cara yang dilakukan untuk menghasilkan interseks atau koin berdiri ditempuh antara cara alami atau buatan. Lantas apa hubungan hereditas, evolusi seleksi alam dan frekuensi harapan?Â
Seleksi alam adalah prinsip dalam teori evolusi yang menyatakan bahwa makhluk hidup yang terus dapat bertahan hidup (beradaptasi) akan tetap hidup sedangkan makhluk hidup yang tidak dapat bertahan hidup akan mati. Â
Jauh sebelum prinsip seleksi alam muncul lewat buku 'On the Origin of Species' yang terbit di sekira tahun 1859, delapan tahun sebelumnya pada tahun 1851 buku berjudul, 'Social Statics' karya Herbert Spencer, yang berisi penerapan teori evolusi pada fenomena sosial sudah lebih dulu dikemukakan.
Pada 1864, lewat buku berjudul 'Principles of Biology', Spencer memperkenalkan istilah 'Survival of the Fittest' siapa yang paling kuat dan cepat melakukan adaptasi, dia yang mampu bertahan hidup. Herbert Spencer yang hidup pada kurun 1820-1903 merupakan sosiolog dan filsuf Inggris, dan bukan satu-satunya pembuka jalan teori evolusi.Â
Sekira 1000 tahun sebelum Charles Darwin, seorang filsuf Muslim yang hidup di Irak, Abu Usman Amr Bahr Alkanani al-Bisri atau dikenal dengan nama al-Jahiz, telah menulis buku tentang proses evolusi binatang. Al-Jahiz menyebut proses itu sebagai sebuah proses natural. Ketenaran al-Jahiz terus hidup dalam bukunya yang berpengaruh, Kitab al-Hayawan (Buku tentang Binatang).Â
Melalui buku tentang binatang, al-Jahiz mengajukan gagasan yang prinsipnya mirip dengan teori evolusi milik Darwin. Bahwa Binatang bergelut untuk tetap bertahan hidup, menghindari pemangsa, dan untuk berkembang biak. Faktor alam mempengaruhi organisme mengembangkan karakteristik baru untuk bertahan hidup. Lalu mengubah mereka menjadi spesies baru.
Menurut al-Jahiz, setiap mahkluk hidup di dunia berada dalam pergulatan terus-menerus untuk bertahan hidup. Selama itu pula, selalu ada spesies yang lebih kuat dibandingkan yang lain. Demi bertahan hidup, binatang harus memiliki jiwa kompetitif untuk mendapatkan makanan, mencegah dirinya dimangsa, dan aktif bereproduksi. Â Dasar-dasar pengetahuan ini tak ubahnya seperti seleksi alam dalam teori evolusi Darwin. Â
Sebuah teori, yang secara matematis menghasilkan keluaran, nilai atau entitas dari asal yang sama, yakni dari probabilitas atau frekuensi harapan atas sifat-sifat, perilaku, bentuk dan varietas induknya, pewarisnya, orang tuanya atau generasi di atasnya. Pertanyaan besarnya, dari probabilitas atau frekuensi harapan yang mana spesies primata simpanse atau kera berevolusi ke homo sapiens lalu ke manusia utuh, sementara spesies sejenis simpanse atau kera masih hidup berdampingan dengan manusia sampai detik ini? Siapa survival of the fittest-nya jika manusia dan simpanse atau kera ternyata masih hidup berdampingan sementara jejak proses-(evolusi)nya hanya tinggal berupa fosil? Â Â
Probabilitas Lemparan Koin dalam Premis dan Analogi Nonkonlog Koin Berdiri Serta Kondisi Ekstrem Evolusi
Jejak evolusi yang harus ditelusuri untuk membuktikan simpanse atau kera berevolusi ke manusia jaraknya terlalu jauh. Ilmu pengetahuan atau sains dengan hitungan angka ribuan hingga jutaan tahun tentu mempunyai kecenderungan bias ekstrem hingga kesalahan fatal.Â
Para arkeolog dan palaentologi bahkan tidak dapat memastikan secara pasti usia fosil. Teknologi juga tidak bisa sepenuhnya diyakini dapat memberikan hasil yang valid. Human error atau manipulasi sangat mungkin terjadi demi validasi untuk pengakuan diri atas sebuah penemuan terkait ilmu pengetahuan atau sains.Â
Charles Darwin pencetus teori evolusi saja tidak mengatakan secara pasti bahwa evolusi yang dimaksud adalah simpanse atau kera sebagai nenek moyang manusia. Dari rentang waktu tiap jenis manusia purba yang ditemukan pun tidak didapat kesamaan usia antara pernyataan ilmuwan satu dan lainnya. Â Â Â
Sedangkan kausalitas evolusinya, antara simpanse atau kera dan manusia sampai hari ini masih hidup berdampingan dengan segala kesamaan dan perbedaannya yang mencolok. Lantas bagaimana hubungan kausalitas itu sekarang masing-masing berdiri sendiri dan hidup dalam wujud mahluk yang berbeda? Mengapa simpanse atau kera masih hidup berdampingan saat manusia telah jauh lebih cerdas dan lebih maju?Â
Maka hal yang paling mungkin tentang keberadaan manusia purba adalah bahwa mereka juga pernah hidup berdampingan dengan simpanse atau kera dan mengalami evolusi alami melalui proses variasi, reproduksi dan seleksi alam, yang bahkan dengan kondisi ekstrem evolusi sekalipun tidak akan melahirkan ciri-ciri, anatomi, wujud hingga perilaku sesempurna Nabi Adam, yang dalam konteks kreasionisme adalah manusia pertama.Â
Dalam frekuensi harapan, seleksi alam dan hereditas mendel, hasil keturunan dari proses variasi, reproduksi dan seleksi alam tidak akan melahirkan keturunan di luar dari ciri-ciri, anatomi, wujud dan perilaku induknya. Serupa dalam premis dan analogi nonkonlog hasil lemparan koin berdiri, kondisi ekstrem evolusi sekalipun akan seidentik dengan posisi koin berdiri dengan ciri-ciri, anatomi dan wujud yang tidak akan berubah, yang tampak masih akan sama yaitu gambar dan angka, hanya posisinya yang berbeda.Â
Karena itulah sekuel Film Planet of the Apes yang tidak mampu menghadirkan eksistensi Caesar, Koba, Raka, Proximus Caesar dan primata sejenis lainnya, yang bisa bicara dan membangun peradabannya sendiri layaknya manusia di dunia nyata sekarang, menjadi petunjuk dan rujukan untuk membatalkan teori evolusi Darwin dalam probabilitas lemparan koin.
Dan apabila teori evolusi yang dimaksud Kumaila Hakimah lewat @forbidden.questions-nya mengarahkan bahwa keberadaan manusia berasal dari simpanse atau kera bahkan ikan atau mahluk tunggal bersel satu. Ini merupakan sesat pikir dalam fanatik logika yang luar biasa melalui kecerdasan pikir yang dimilikinya. Apa anda sepakat dengan Kumalia dan bersedia dikatakan keturunan simpanse atau kera? Â
Referensi
https://brainly.co.id/tugas/40970436
https://disway.id/read/798306/daging-babi
https://id.wikipedia.org/wiki/Frekuensi_alel
https://www.bbc.com/indonesia/majalah-47411824
https://www.zenius.net/blog/peluang-hereditas-genetika
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H