Prof. Dr. Azyumardi Azra dikenal luas sebagai seorang cendekiawan Muslim, sejarawan, dan akademisi yang memiliki pengaruh besar dalam pemikiran Islam modern di Indonesia. Namun, salah satu kontribusi pentingnya yang sering kali terlupakan adalah perannya dalam dunia jurnalistik, terutama dalam mengembangkan jurnalisme Islam yang progresif dan inklusif. Sebagai seorang yang memulai karirnya di dunia pers dan terus berperan aktif dalam jurnalistik hingga akhir hayatnya, Prof. Azyumardi Azra pantas dijuluki sebagai "Bapak Jurnalisme Islam" di Indonesia.
Panji Masyarakat: Peran Awal di Dunia Jurnalisme
Peran awal Prof. Azyumardi Azra di majalah Panji Masyarakat memiliki signifikansi penting dalam membentuk pandangan dan keterlibatannya di dunia jurnalisme. Panji Masyarakat merupakan salah satu media yang berpengaruh pada masa Orde Baru, khususnya di kalangan Muslim intelektual Indonesia. Didirikan oleh Buya Hamka pada tahun 1959, majalah ini menjadi sarana penting bagi pemikiran Islam progresif dan wacana intelektual Muslim di Indonesia. Di sinilah Azra muda mulai mengasah keterampilan jurnalistiknya dan terlibat dalam diskusi-diskusi penting tentang peran media dan agama dalam kehidupan sosial.
Ada beberapa aspek kunci dari peran awal Prof. Azyumardi Azra di Panji Masyarakat dalam dunia jurnalisme, yaitu:
1. Media sebagai Wadah Pemikiran Islam Progresif
Panji Masyarakat berdiri sebagai salah satu corong pemikiran Islam yang berusaha menjawab tantangan modernisasi dan perkembangan sosial-politik di Indonesia. Azra, yang saat itu masih berusia muda, terlibat dalam dinamika intelektual ini dengan menulis dan meliput isu-isu yang berkaitan dengan Islam dan peranannya di masyarakat.
Di majalah ini, Azra belajar tentang pentingnya media dalam menyampaikan gagasan-gagasan yang dapat mendorong perubahan sosial. Melalui jurnalisme di Panji Masyarakat, ia membantu mengartikulasikan bagaimana Islam dapat bersinergi dengan modernitas tanpa kehilangan identitas. Majalah ini berusaha menjembatani Islam tradisional dengan modernitas yang tengah berkembang di Indonesia.
2. Pembentukan Kesadaran Sosial dan Politis
Pengalaman di Panji Masyarakat memperkenalkan Azra pada isu-isu sosial dan politik yang melibatkan umat Islam di Indonesia. Ia menyaksikan bagaimana media dapat menjadi alat penting untuk memengaruhi opini publik dan mendorong diskusi tentang hak-hak politik, sosial, dan agama. Pengalaman ini memperkuat pemahaman Azra bahwa jurnalisme bukan hanya soal melaporkan peristiwa, tetapi juga menjadi sarana untuk mendorong keadilan dan perubahan.
Di era Orde Baru, Panji Masyarakat beroperasi dalam lingkungan yang penuh dengan tantangan, termasuk pembatasan terhadap kebebasan pers dan sensor pemerintah. Dalam konteks ini, Azra menyaksikan langsung bagaimana media harus berhadapan dengan kekuasaan sambil tetap berusaha mempertahankan integritasnya. Pengalaman ini memperkaya perspektif kritisnya tentang hubungan antara media, kekuasaan, dan masyarakat.
3. Pelatihan Keterampilan Jurnalistik
Sebagai jurnalis muda di Panji Masyarakat, Azra mengembangkan keterampilan jurnalistik dasar, mulai dari menulis berita hingga melakukan investigasi dan analisis. Kemampuan ini kelak menjadi fondasi yang penting dalam perjalanan karier akademiknya. Di bawah bimbingan Buya Hamka dan para intelektual Muslim lainnya, Azra belajar tentang pentingnya integritas, akurasi, dan keseimbangan dalam penyampaian berita.
Pengalaman ini juga menanamkan padanya nilai-nilai jurnalisme yang selalu berpihak pada kebenaran dan etika profesional. Ia belajar bahwa jurnalis memiliki tanggung jawab moral yang besar dalam menjaga objektivitas dan memastikan informasi yang disampaikan berdasar pada fakta yang dapat dipercaya. Keterampilan ini menjadi bagian integral dari pendekatan intelektualnya ketika ia beralih ke dunia akademik.
4. Jurnalisme sebagai Alat Dakwah
Di Panji Masyarakat, jurnalisme juga dilihat sebagai salah satu bentuk dakwah. Azra memahami bahwa tulisan-tulisan di media dapat menjadi sarana untuk menyebarkan nilai-nilai Islam yang moderat dan progresif. Melalui jurnalisme, ia belajar bagaimana cara menyampaikan pesan-pesan Islam yang relevan dengan tantangan sosial dan politik kontemporer.
Dalam hal ini, Panji Masyarakat menjadi media yang tidak hanya menyajikan berita, tetapi juga menggagas ide-ide besar tentang bagaimana Islam dapat berperan aktif dalam masyarakat modern. Azra menjadi bagian dari misi ini, memperluas pandangannya tentang bagaimana agama dan media dapat bekerja bersama untuk membangun masyarakat yang lebih inklusif dan adil.
5. Pengalaman yang Membentuk Karier Akademik
Meskipun kemudian beralih ke dunia akademik, pengalaman Azra di Panji Masyarakat memberikan dasar yang kuat bagi karier intelektualnya. Ia membawa keterampilan dan pengalaman jurnalistiknya ke dalam penelitian dan tulisan akademiknya, menggabungkan pendekatan jurnalistik yang tajam dengan analisis sejarah yang mendalam.
Sebagai seorang sejarawan, ia menggunakan pendekatan investigatif yang mirip dengan jurnalisme untuk mengeksplorasi dan mendokumentasikan sejarah intelektual dan sosial Islam di Indonesia. Pengalaman jurnalistiknya juga memperkuat kemampuannya untuk menyampaikan ide-ide kompleks kepada audiens yang lebih luas, tidak terbatas pada kalangan akademis saja.
Dengan demikian, peran awal Prof. Azyumardi Azra di majalah Panji Masyarakat menjadi fase penting dalam perjalanan intelektual dan kariernya. Melalui pengalaman ini, ia memperoleh pemahaman mendalam tentang peran media dalam membentuk opini publik, memperjuangkan keadilan sosial, serta menjadi sarana dakwah yang kuat. Keterlibatannya di Panji Masyarakat tidak hanya membentuk keterampilan jurnalistiknya, tetapi juga membangun fondasi nilai-nilai yang kemudian terus ia bawa dalam karier akademik dan kepemimpinannya di berbagai institusi, termasuk Dewan Pers.
Pengalaman tersebut menjadikan Prof. Azyumardi Azra tidak hanya sebagai cendekiawan yang memahami dunia akademik, tetapi juga sebagai intelektual yang paham betul bagaimana media bekerja dan bagaimana peran pers yang bertanggung jawab dalam menjaga integritas dan kebebasan informasi di Indonesia.
Jurnalisme Islam yang Progresif
Jurnalisme Islam yang progresif, menurut pandangan Prof. Azyumardi Azra, berperan penting dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif, adil, dan beradab. Pandangan ini dibentuk melalui pemahamannya yang mendalam terhadap Islam, sejarah, dan media, serta pengalamannya di dunia jurnalistik sejak muda.
Penjelasan lebih jauh tentang konsep jurnalisme Islam yang progresif menurut Azyumardi Azra adalah:
1. Keseimbangan antara Nilai Islam dan Profesionalisme Jurnalistik
Bagi Azra, jurnalisme Islam yang progresif tidak hanya berfokus pada penyampaian berita yang relevan dengan umat Islam, tetapi juga mematuhi nilai-nilai dasar Islam yang universal, seperti keadilan, kebenaran, dan kemanusiaan. Ia menekankan bahwa jurnalisme yang baik harus mampu menjaga objektivitas dan tidak boleh menjadi alat propaganda untuk kelompok tertentu. Sebaliknya, jurnalisme Islam harus mampu menyuarakan kebenaran dengan tetap berpijak pada prinsip-prinsip moral Islam.
Azra percaya bahwa Islam mendukung keterbukaan, kebebasan berekspresi, dan pertanggungjawaban sosial---nilai-nilai yang juga dijunjung tinggi dalam jurnalisme profesional. Dalam hal ini, jurnalisme Islam progresif menurutnya tidak boleh terjebak dalam fanatisme atau dogma sempit, melainkan harus mencerminkan wawasan keislaman yang luas dan kritis.
2. Jurnalisme sebagai Alat untuk Menyebarkan Islam Moderat
Azra adalah pendukung kuat Islam moderat, yang selalu menolak radikalisme dan ekstremisme. Dalam pandangannya, jurnalisme Islam yang progresif harus mampu menyebarkan nilai-nilai moderasi dan toleransi dalam beragama. Media berperan penting dalam membangun narasi Islam yang inklusif, yang menghormati keragaman budaya, agama, dan pandangan politik di tengah masyarakat majemuk seperti Indonesia.
Menurut beliau, jurnalisme Islam progresif memiliki tanggung jawab untuk mengikis citra negatif Islam yang sering kali disebabkan oleh ekstremisme dan salah tafsir di media massa. Dengan kata lain, media harus membantu memperbaiki persepsi publik tentang Islam dengan menyoroti nilai-nilai universal Islam yang mendukung perdamaian, dialog, dan penghormatan terhadap kemanusiaan.
3. Menghindari Sensasionalisme dan Eksploitasi Agama
Dalam pandangan Azra, salah satu tantangan besar bagi jurnalisme Islam, terutama di era digital, adalah godaan untuk terjebak dalam sensasionalisme. Media yang seharusnya berperan sebagai penyampai kebenaran sering kali memprioritaskan klik dan popularitas dibandingkan keakuratan berita. Jurnalisme Islam progresif, menurutnya, harus menolak praktik-praktik semacam ini.
Sensasi yang berlebihan dalam melaporkan isu-isu agama atau konflik berpotensi memperburuk situasi sosial dan politik, terutama di negara-negara yang rentan terhadap perpecahan. Oleh karena itu, Azra mendorong agar jurnalisme Islam tetap kritis tetapi berimbang, tidak memanipulasi agama untuk kepentingan bisnis atau politik, serta mengedepankan tanggung jawab moral dalam setiap laporannya.
4. Memajukan Diskursus Publik yang Konstruktif
Azra meyakini bahwa jurnalisme Islam yang progresif harus berperan aktif dalam memajukan diskursus publik yang konstruktif. Artinya, media tidak hanya bertugas melaporkan berita, tetapi juga menjadi platform untuk memperdebatkan isu-isu penting secara intelektual dan mendalam. Topik-topik seperti hak asasi manusia, keadilan sosial, kemiskinan, pendidikan, dan ketidakadilan gender harus menjadi perhatian media Islam progresif.
Jurnalisme Islam, menurut Azra, harus mampu menghadirkan wacana yang mendalam tentang bagaimana Islam merespons tantangan-tantangan kontemporer ini. Dalam hal ini, media berperan sebagai katalis perubahan sosial yang lebih besar, mendorong masyarakat untuk lebih reflektif dan kritis terhadap isu-isu yang dihadapi.
5. Peran sebagai Media Pendidikan Publik
Jurnalisme Islam yang progresif juga harus memainkan peran penting dalam mendidik publik, terutama dalam hal literasi agama yang baik dan benar. Menurut Azra, banyak umat Islam yang masih minim pemahaman terhadap ajaran Islam yang komprehensif. Di sinilah media Islam bisa menjadi sarana untuk memberikan pendidikan agama yang benar, serta mendorong umat untuk mempraktikkan nilai-nilai Islam yang sesuai dengan perkembangan zaman.
Jurnalisme Islam progresif, menurutnya, harus memfasilitasi pendidikan kritis, di mana umat Islam diajak untuk terus belajar dan menafsirkan ajaran agama mereka dalam konteks modern. Media memiliki kapasitas untuk menyediakan ruang diskusi yang sehat, di mana tafsir agama yang radikal atau konservatif bisa dikritisi secara terbuka dan akademis.
6. Meningkatkan Etika Jurnalisme dan Profesionalisme
Sebagai seorang akademisi yang peduli pada etika jurnalisme, Prof. Azra selalu menekankan pentingnya profesionalisme di dunia media. Jurnalisme Islam yang progresif, menurutnya, harus menjunjung tinggi kode etik jurnalistik, termasuk dalam hal verifikasi berita, keberimbangan sumber, dan pelaporan yang adil. Etika dalam jurnalisme menjadi pondasi penting untuk menjaga kepercayaan publik terhadap media, terutama dalam hal melaporkan isu-isu agama yang sensitif.
Azra percaya bahwa tanpa etika yang kuat, jurnalisme bisa menjadi alat manipulasi yang justru merugikan umat Islam dan masyarakat luas. Dalam konteks ini, jurnalisme Islam progresif harus terus menekankan transparansi, kejujuran, dan profesionalisme dalam setiap laporannya.
7. Memperjuangkan Kebebasan Pers yang Bertanggung Jawab
Prof. Azra selalu menjadi pendukung kebebasan pers, tetapi dengan tanggung jawab yang besar. Ia percaya bahwa jurnalisme Islam yang progresif harus mendukung kebebasan pers, namun tetap dalam kerangka akuntabilitas sosial. Media harus bebas untuk menyuarakan kebenaran, namun di saat yang sama, harus menjaga integritas dengan memastikan bahwa berita yang disampaikan berbasis fakta dan bukan hanya opini atau rumor yang bisa merusak.
Dalam dunia yang semakin terpolarisasi, Azra sering menekankan bahwa jurnalisme Islam yang progresif memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan dan kedamaian sosial. Media harus mampu menghadirkan narasi yang berimbang, bahkan ketika menyampaikan kritik, dan tidak memperkeruh konflik atau menciptakan ketegangan yang tidak perlu.
Dengan demikian, menurut Prof. Azyumardi Azra, jurnalisme Islam yang progresif adalah jurnalisme yang tidak hanya menyampaikan berita, tetapi juga mendidik, memfasilitasi dialog intelektual, dan mempromosikan nilai-nilai keislaman yang universal, seperti keadilan, kemanusiaan, dan toleransi. Jurnalisme ini harus menghindari sensasionalisme, mempromosikan kebebasan yang bertanggung jawab, serta mendukung Islam moderat yang inklusif dan terbuka terhadap keragaman.
Konsep jurnalisme Islam progresif menurut Azra tidak hanya relevan dalam konteks Indonesia, tetapi juga dalam skala global. Dalam dunia yang dipenuhi informasi dan disinformasi, pendekatan jurnalisme Islam yang kritis, objektif, dan etis ini sangat penting untuk menjaga integritas media sekaligus memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan kebenaran di tengah masyarakat.
Keseimbangan Antara Etika dan Profesionalisme
Menurut Prof. Azyumardi Azra, keseimbangan antara etika dan profesionalisme adalah elemen fundamental dalam jurnalisme yang bertanggung jawab. Sebagai intelektual dan pemimpin yang memiliki pengalaman panjang di dunia akademik dan media, Azra melihat bahwa jurnalisme yang baik bukan hanya soal menyampaikan berita, tetapi juga memastikan bahwa berita tersebut disampaikan dengan cara yang etis dan profesional.
Dalam hal ini ada beberapa penjelasan lebih jauh tentang keseimbangan antara etika dan profesionalisme menurut Azyumardi Azra:
1. Etika Jurnalisme sebagai Landasan Moral
Etika adalah komponen moral yang mendasari semua aktivitas jurnalistik. Menurut Azra, jurnalisme tanpa etika akan kehilangan integritasnya dan justru bisa menjadi alat manipulasi yang merugikan masyarakat. Etika jurnalisme, seperti yang dipahami oleh Azra, meliputi nilai-nilai dasar seperti kejujuran, keadilan, dan akurasi dalam menyampaikan informasi.
Sebagai seorang tokoh yang aktif dalam dunia pers, Azra menekankan pentingnya kode etik jurnalistik untuk menjaga kepercayaan publik terhadap media. Kode etik ini meliputi kewajiban untuk melakukan verifikasi fakta, memberikan laporan yang berimbang, serta menghormati privasi individu yang diliput. Etika juga mencakup tanggung jawab sosial jurnalis untuk tidak menyebarkan berita yang dapat memecah belah masyarakat atau menimbulkan konflik yang tidak perlu.
Dalam konteks jurnalisme Islam, etika juga mencakup tanggung jawab untuk menjaga nama baik agama dan tidak menggunakan agama sebagai alat provokasi. Azra percaya bahwa media harus mampu mengedepankan nilai-nilai keislaman seperti keadilan, kemanusiaan, dan penghormatan terhadap keragaman dalam penyampaian berita, baik yang berkaitan dengan agama maupun isu sosial lainnya.
2. Profesionalisme sebagai Standar Kinerja
Selain etika, profesionalisme dalam jurnalisme adalah aspek penting lainnya yang menurut Azra harus dijaga dengan ketat. Profesionalisme merujuk pada standar-standar kerja yang tinggi yang harus diikuti oleh para jurnalis dalam melaksanakan tugasnya. Profesionalisme mencakup berbagai aspek teknis seperti kemampuan untuk melakukan liputan yang akurat, penulisan yang baik, serta kemampuan untuk menilai sumber informasi yang kredibel.
Bagi Azra, jurnalis yang profesional harus memiliki pemahaman yang mendalam tentang isu-isu yang diliput serta memiliki kemampuan untuk menyajikan berita dengan cara yang jelas dan tidak memihak. Profesionalisme juga berarti bahwa jurnalis harus terbuka terhadap kritik dan senantiasa berusaha meningkatkan kualitas pekerjaannya.
Selain itu, profesionalisme menuntut para jurnalis untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip jurnalisme bahkan dalam situasi yang sulit, seperti ketika menghadapi tekanan dari kekuatan politik atau komersial. Azra sering menekankan bahwa jurnalis harus memiliki integritas profesional, yang berarti tidak tergoda untuk menyebarkan berita bohong (hoaks) atau terlibat dalam praktik-praktik yang melanggar kode etik jurnalistik demi keuntungan pribadi atau kelompok.
3. Keseimbangan antara Etika dan Profesionalisme
Keseimbangan antara etika dan profesionalisme menjadi krusial, karena dalam praktik jurnalistik, kedua aspek ini sering kali bisa saling berinteraksi dan bertentangan. Dalam pandangan Azra, etika adalah landasan moral yang harus selalu diikuti, sementara profesionalisme adalah kemampuan teknis yang memungkinkan jurnalis untuk menjalankan tugasnya dengan baik. Keduanya harus berjalan seiring agar jurnalis bisa memenuhi tanggung jawabnya kepada masyarakat.
Misalnya, dalam peliputan berita yang sensitif seperti konflik agama atau etnis, jurnalis harus mampu menjaga profesionalisme dengan melaporkan fakta secara akurat dan lengkap. Namun, di saat yang sama, etika jurnalistik menuntut mereka untuk melaporkan berita tersebut dengan hati-hati agar tidak memicu ketegangan atau memperkeruh situasi.
Bagi Azra, dalam situasi di mana etika dan profesionalisme tampak bertentangan, seorang jurnalis yang baik harus tetap memprioritaskan etika. Sebagai contoh, meskipun seorang jurnalis mungkin memiliki akses ke informasi eksklusif, jika informasi tersebut dapat membahayakan privasi individu atau memicu kekerasan, maka etika mengharuskan jurnalis untuk tidak menyebarkan informasi tersebut. Profesionalisme, dalam hal ini, harus selalu disertai dengan pertimbangan etis yang mendalam.
4. Tanggung Jawab Sosial Jurnalisme
Salah satu poin penting yang sering ditekankan oleh Azra adalah bahwa jurnalisme memiliki tanggung jawab sosial yang besar. Artinya, jurnalis tidak hanya bertanggung jawab kepada perusahaan media atau audiens mereka, tetapi juga kepada masyarakat secara luas. Media massa memiliki peran besar dalam membentuk opini publik dan, karenanya, harus sangat berhati-hati dalam bagaimana mereka menyajikan informasi.
Menurut Azra, tanggung jawab sosial ini terkait erat dengan etika dan profesionalisme. Media harus memastikan bahwa informasi yang disampaikan kepada publik bermanfaat, akurat, dan tidak merugikan masyarakat. Ini termasuk menjaga integritas informasi dalam konteks politik, sosial, dan agama. Dalam konteks Islam, tanggung jawab sosial juga melibatkan komitmen untuk mempromosikan nilai-nilai Islam yang moderat dan menghormati keragaman dalam masyarakat.
5. Menghadapi Tantangan Era Digital
Dalam era digital, keseimbangan antara etika dan profesionalisme menjadi semakin penting. Azra menyadari bahwa dengan kemajuan teknologi dan munculnya platform digital, distribusi informasi menjadi lebih cepat dan lebih luas. Namun, hal ini juga menimbulkan tantangan besar terkait dengan berita palsu, disinformasi, dan sensasionalisme.
Dalam konteks ini, Azra sering menekankan bahwa jurnalis harus semakin waspada terhadap dampak sosial dari berita yang mereka sampaikan. Di era media sosial, di mana berita dapat dengan cepat menyebar tanpa verifikasi, jurnalis yang profesional harus lebih berhati-hati dan memastikan bahwa setiap berita yang dipublikasikan telah diverifikasi dan disajikan dengan etika yang tinggi. Tantangan ini menuntut media untuk lebih memprioritaskan kualitas berita daripada kecepatan, serta menjaga keseimbangan antara menarik perhatian audiens dan menyampaikan kebenaran yang faktual.
6. Etika Jurnalisme dalam Perspektif Islam
Azra juga menyoroti bahwa jurnalisme Islam memiliki dimensi etis tambahan yang berkaitan dengan nilai-nilai keislaman. Jurnalis Muslim, menurutnya, harus memastikan bahwa mereka tidak hanya mengikuti standar profesionalisme yang umum, tetapi juga harus mematuhi prinsip-prinsip Islam seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.
Dalam pandangan Azra, etika Islam mendukung kebebasan pers yang bertanggung jawab dan mendorong media untuk menjadi agen perubahan sosial yang positif. Jurnalis Muslim harus menjunjung tinggi prinsip al-akhlaq (moralitas) dalam setiap tindakan mereka, dan ini termasuk dalam aktivitas jurnalistik. Selain itu, jurnalisme Islam harus mengedepankan nilai-nilai persatuan dan toleransi, serta menolak segala bentuk ekstremisme yang dapat memecah belah umat.
Dengan demikian, bagi Prof. Azyumardi Azra, keseimbangan antara etika dan profesionalisme merupakan landasan penting dalam membangun jurnalisme yang bertanggung jawab. Etika memberikan jurnalis landasan moral untuk menyaring informasi dan menyajikannya dengan integritas, sementara profesionalisme memastikan bahwa mereka memiliki keterampilan dan kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut dengan efektif. Dalam dunia yang semakin kompleks, terutama dengan adanya tantangan di era digital, keseimbangan ini menjadi lebih krusial untuk memastikan bahwa media tetap menjadi pilar penting dalam menjaga kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan.
Keseimbangan ini adalah kunci untuk menjaga kepercayaan publik terhadap media, memastikan informasi yang akurat, dan mempertahankan jurnalisme sebagai alat perubahan sosial yang positif.
Mendirikan Studia Islamika: Jurnal Ilmiah untuk Kajian Islam
Mendirikan Studia Islamika merupakan salah satu kontribusi besar Prof. Azyumardi Azra dalam mengembangkan wacana intelektual dan jurnalisme Islam di Indonesia. Dengan mendirikan jurnal ini, Azra berhasil membangun ruang akademik yang memungkinkan kajian Islam di Indonesia dan dunia Islam lainnya dipelajari secara mendalam dan ilmiah. Langkah ini mencerminkan visinya tentang bagaimana jurnalisme Islam yang intelektual dan akademis dapat memainkan peran penting dalam memperluas pemahaman terhadap Islam secara lebih progresif dan moderat.
Dalam hal ini ada beberapa penjelasan tentang pendirian Studia Islamika dengan jurnalisme Islam dalam pandangan Azyumardi Azra yaitu:
1. Mendorong Kajian Islam yang Kritis dan Intelektual
Azra memahami pentingnya menyebarluaskan kajian ilmiah tentang Islam sebagai bentuk jurnalisme akademis yang bisa membangun pemahaman yang lebih mendalam mengenai agama dan budaya Islam. Studia Islamika didirikan pada tahun 1993 sebagai jurnal ilmiah yang fokus pada kajian Islam, khususnya di Indonesia dan dunia Islam global. Dengan adanya jurnal ini, Azra berusaha memfasilitasi diskusi ilmiah yang kritis dan berbobot tentang berbagai isu terkait Islam.
Dalam konteks jurnalisme Islam, Studia Islamika mencerminkan semangat Azra untuk mendorong Islam yang progresif, yang tidak hanya bergantung pada pengetahuan tradisional, tetapi juga terbuka terhadap kritik dan analisis kontemporer. Jurnal ini menjadi platform di mana akademisi dan peneliti bisa menyajikan pandangan-pandangan baru dan hasil penelitian yang berkontribusi terhadap pemahaman Islam yang lebih komprehensif dan relevan dengan tantangan zaman.
2. Memperkuat Wacana Islam Moderat
Melalui Studia Islamika, Azra menyuarakan Islam moderat yang inklusif dan toleran. Jurnal ini memberikan ruang bagi para akademisi untuk mendiskusikan Islam dalam kerangka yang lebih luas dan dinamis, mencakup aspek-aspek sosial, budaya, politik, dan sejarah. Azra melihat jurnal ini sebagai sarana untuk memperjuangkan narasi Islam yang moderat dan menolak ekstremisme, baik dalam bentuk teologis maupun politik.
Dengan menghadirkan artikel-artikel yang mendalam dan ilmiah, Studia Islamika berperan penting dalam memperkuat diskursus tentang Islam yang berorientasi pada keadilan sosial, kemanusiaan, dan dialog antaragama. Bagi Azra, inilah peran penting jurnalisme Islam yang progresif: membantu menciptakan ruang di mana gagasan-gagasan tentang Islam dapat dibahas secara kritis dan intelektual tanpa harus terjebak dalam narasi konservatif atau fanatisme.
3. Menghubungkan Kajian Islam di Indonesia dengan Dunia Internasional
Salah satu visi besar Azra dalam mendirikan Studia Islamika adalah memperkuat posisi kajian Islam di Indonesia di kancah internasional. Azra melihat bahwa Indonesia, dengan populasi Muslim terbesar di dunia, memiliki kekayaan intelektual Islam yang dapat menjadi kontribusi penting bagi dunia. Melalui Studia Islamika, karya-karya ilmiah dari Indonesia dapat dikenal dan diakses oleh para akademisi di seluruh dunia.
Dengan jurnal ini, Azra juga membuka dialog antara kajian Islam di Indonesia dan kajian Islam di negara-negara lain, baik di Timur Tengah, Asia Selatan, maupun dunia Barat. Hal ini memperkuat jaringan akademik yang memungkinkan pertukaran ide dan penelitian lintas batas negara, yang menurut Azra sangat penting dalam menghadapi globalisasi dan dinamika politik serta sosial Islam di dunia modern.
4. Jurnalisme Akademik yang Berbasis pada Verifikasi dan Kebenaran
Konsep jurnalisme Islam yang diusung oleh Azra tidak hanya berlaku di ranah media populer, tetapi juga dalam ranah akademik. Studia Islamika berfungsi sebagai bentuk "jurnalisme akademik" yang tetap mengedepankan prinsip-prinsip jurnalisme seperti verifikasi, keakuratan, dan kredibilitas sumber. Artikel-artikel yang diterbitkan di jurnal ini melalui proses review yang ketat, mencerminkan komitmen Azra terhadap kualitas dan kejujuran ilmiah.
Bagi Azra, jurnalisme Islam yang progresif tidak boleh mengabaikan aspek-aspek penting dari penelitian ilmiah dan metodologi yang ketat. Studia Islamika menjadi contoh bagaimana jurnalisme akademik dapat memelihara standar-standar keilmuan yang tinggi sekaligus tetap relevan dalam mendiskusikan isu-isu keislaman yang memiliki dampak sosial dan politik yang luas.
5. Memperkuat Posisi UIN Jakarta sebagai Pusat Kajian Islam Internasional
Sebagai Rektor pertama transformasi IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Azra sangat berperan dalam menjadikan UIN Jakarta sebagai salah satu pusat kajian Islam yang diakui secara internasional. Studia Islamika adalah salah satu sarana yang ia gunakan untuk memperkuat posisi tersebut. Jurnal ini menjadi referensi penting bagi para akademisi dan peneliti di seluruh dunia yang tertarik dengan kajian Islam di Indonesia dan dunia Islam lainnya.
Dengan mendirikan Studia Islamika, Azra berhasil mengangkat reputasi UIN Jakarta sebagai institusi yang mampu menghasilkan karya-karya ilmiah berkualitas tinggi di bidang kajian Islam. Ini adalah bagian dari visinya untuk membangun pendidikan Islam yang tidak hanya fokus pada aspek-aspek ritual keagamaan, tetapi juga terlibat dalam isu-isu kontemporer yang mempengaruhi umat Islam secara global.
6. Memberikan Akses kepada Generasi Akademisi Muda
Salah satu kontribusi besar Studia Islamika adalah memberikan ruang bagi generasi akademisi muda untuk menerbitkan karya ilmiah mereka. Azra selalu mendorong mahasiswa dan peneliti muda untuk aktif dalam penelitian dan menulis tentang Islam. Jurnal ini menjadi platform di mana ide-ide baru bisa dikemukakan dan diperdebatkan, sekaligus menjadi batu loncatan bagi mereka yang ingin berkarier di dunia akademik.
Dengan memberikan kesempatan kepada akademisi muda untuk menerbitkan karya mereka, Azra membantu memperkaya kajian Islam di Indonesia dan mendorong munculnya generasi intelektual baru yang kritis dan progresif. Ini sejalan dengan visi jurnalisme Islam yang inklusif dan mendorong pertumbuhan intelektual dalam masyarakat Muslim.
Dengan demikian mendirikan Studia Islamika merupakan langkah signifikan yang diambil oleh Prof. Azyumardi Azra dalam memperkuat jurnalisme Islam yang berbasis pada penelitian akademik dan intelektual. Jurnal ini mencerminkan keyakinannya bahwa jurnalisme Islam yang progresif harus mampu mendukung kajian kritis, moderat, dan terbuka terhadap berbagai isu kontemporer yang dihadapi oleh umat Islam.
Dengan mendirikan jurnal ini pula, Azra berusaha membangun wacana Islam yang inklusif, moderat, dan global, serta memperkuat peran akademisi Muslim Indonesia di kancah internasional. Studia Islamika bukan hanya menjadi wadah bagi peneliti untuk berbagi hasil riset mereka, tetapi juga alat untuk menyebarkan gagasan tentang Islam yang lebih adil, inklusif, dan relevan dengan dunia modern.
Dewan Pers dan Peran dalam Kebebasan Pers
Pada masa akhir hidupnya, Prof. Azyumardi Azra terpilih sebagai Ketua Dewan Pers Indonesia pada Mei 2022. Meskipun masa jabatannya singkat karena wafatnya pada September 2022, peran ini menegaskan kembali komitmen beliau terhadap kebebasan pers yang bertanggung jawab. Sebagai Ketua Dewan Pers, Prof. Azra bekerja untuk menjaga independensi media dan memastikan bahwa kebebasan pers di Indonesia tidak disalahgunakan, terutama oleh media yang mungkin mengklaim mewakili Islam.
Di bawah kepemimpinannya, Dewan Pers terus mengawasi media untuk tetap berpegang pada prinsip-prinsip etika jurnalistik, termasuk media-media yang berafiliasi dengan Islam. Beliau menekankan pentingnya verifikasi berita dan melawan penyebaran hoaks, yang sering kali menargetkan isu-isu sensitif terkait agama. Dengan pemahaman mendalamnya tentang Islam, Prof. Azra berada di posisi unik untuk membimbing media Islam agar tetap berpegang pada integritas jurnalistik dan etika Islam.
Warisan dalam Jurnalisme Islam
Warisan Prof. Azyumardi Azra dalam jurnalisme Islam sangat berpengaruh dan mencakup berbagai aspek yang memperkuat perkembangan intelektual, etis, dan moderat dalam dunia jurnalistik Islam. Sebagai intelektual Muslim, pemikir progresif, serta praktisi media, Azra telah meninggalkan jejak yang mendalam dalam memajukan jurnalisme Islam di Indonesia dan di kancah global.
Ada beberapa catatan penting terkait warisan Prof. Azyumardi Azra dalam jurnalisme Islam, yaitu:
1. Jurnalisme yang Moderat dan Inklusif
Salah satu warisan terbesar Prof. Azra dalam jurnalisme Islam adalah komitmennya terhadap Islam yang moderat dan inklusif. Sepanjang kariernya, Azra konsisten mempromosikan wacana Islam yang menekankan pada toleransi, dialog antaragama, dan keterbukaan terhadap modernitas. Dalam pandangannya, jurnalisme Islam harus menjadi platform untuk memperkuat pemahaman tentang Islam yang damai, menghargai keberagaman, dan menolak segala bentuk ekstremisme atau kekerasan.
Sebagai Ketua Dewan Pers, Azra mendorong media di Indonesia untuk menjaga keseimbangan dan berperan aktif dalam menjaga harmoni sosial. Pandangan ini sangat penting di tengah situasi di mana media sering kali digunakan sebagai alat propaganda oleh kelompok-kelompok ekstremis atau radikal. Melalui posisinya, Azra mengingatkan bahwa jurnalisme Islam harus mengutamakan prinsip-prinsip keadilan, persatuan, dan penghormatan terhadap perbedaan, baik di dalam umat Islam maupun dalam masyarakat secara luas.
2. Etika Jurnalisme Islam
Prof. Azra sangat menekankan pentingnya etika dalam jurnalisme Islam. Menurutnya, media tidak hanya berperan sebagai penyampai informasi, tetapi juga sebagai pembawa misi moral yang harus bertanggung jawab terhadap publik. Prinsip etika yang ia ajarkan termasuk dalam hal verifikasi fakta, objektivitas, akurasi, dan kejujuran dalam menyampaikan berita.
Etika jurnalisme menurut Azra juga terkait dengan prinsip-prinsip keislaman yang universal, seperti kejujuran, keadilan, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Ia berpendapat bahwa jurnalis Muslim harus selalu menjaga integritas dalam meliput isu-isu agama, politik, dan sosial, terutama dalam konteks masyarakat yang pluralis seperti Indonesia. Selain itu, ia juga mendorong jurnalis untuk menghindari sensasionalisme yang dapat memicu konflik atau keretakan sosial.
3. Mengangkat Wacana Islam Indonesia di Kancah Global
Azra memainkan peran penting dalam membawa kajian dan diskursus Islam Indonesia ke panggung internasional. Sebagai pemikir yang produktif, ia tidak hanya menulis artikel dan buku-buku yang mempengaruhi wacana Islam di Indonesia, tetapi juga mendirikan jurnal ilmiah seperti Studia Islamika. Jurnal ini menjadi salah satu kontribusi utamanya dalam mengangkat suara intelektual Islam Indonesia ke kancah global.
Jurnal Studia Islamika bukan sekadar publikasi akademik, melainkan bentuk jurnalisme Islam intelektual yang mencerminkan pemikiran kritis tentang Islam di Indonesia dan dunia. Melalui jurnal ini, Azra memfasilitasi dialog lintas batas yang memperkuat posisi Indonesia sebagai salah satu pusat kajian Islam dunia. Ia juga membuka ruang bagi akademisi dan intelektual Muslim dari berbagai negara untuk berkolaborasi dalam membangun wacana Islam yang progresif dan dinamis.
4. Memperjuangkan Kebebasan Pers dengan Tanggung Jawab
Sebagai Ketua Dewan Pers, Azra berperan dalam memperjuangkan kebebasan pers di Indonesia, termasuk dalam konteks jurnalisme Islam. Ia sangat mendukung kebebasan media, tetapi dengan catatan bahwa kebebasan ini harus diiringi oleh tanggung jawab etis dan moral. Ia berulang kali menegaskan bahwa kebebasan pers bukanlah kebebasan tanpa batas, melainkan kebebasan yang bertanggung jawab terhadap kebenaran dan keadilan.
Kebebasan pers dalam pandangan Azra juga termasuk kebebasan dari tekanan politik dan ekonomi. Ia mengingatkan bahwa media tidak boleh tunduk pada kepentingan sempit penguasa atau kelompok-kelompok tertentu. Dalam jurnalisme Islam, kebebasan pers harus tetap berpijak pada prinsip-prinsip kebenaran yang diajarkan oleh Islam, termasuk menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kemaslahatan umat.
5. Membangun Jurnalisme yang Berbasis Ilmu Pengetahuan
Azra percaya bahwa jurnalisme Islam harus didasarkan pada ilmu pengetahuan yang mendalam, tidak sekadar menyajikan berita atau opini. Ia mendorong jurnalis Muslim untuk memperkuat keahlian mereka dalam memahami isu-isu agama, sosial, dan politik yang mereka liput, dengan pendekatan yang berbasis penelitian dan analisis kritis. Menurutnya, media yang baik adalah media yang dapat memberikan informasi yang valid dan kontekstual, bukan hanya menyoroti permukaan peristiwa.
Dalam mendirikan Studia Islamika, Azra mencontohkan bagaimana jurnalisme Islam bisa berperan sebagai alat penyebaran ilmu pengetahuan. Jurnal ini tidak hanya mencakup diskusi akademik, tetapi juga menjadi platform bagi pemikiran-pemikiran baru tentang Islam yang dapat mempengaruhi kebijakan sosial dan politik di tingkat nasional dan internasional. Azra ingin agar jurnalisme Islam lebih dari sekadar penyampai berita, tetapi juga menjadi instrumen untuk memperdalam pemahaman masyarakat tentang kompleksitas dunia Islam.
6. Memperkuat Peran Media dalam Dakwah Islam
Jurnalisme Islam menurut Azra bukan hanya soal penyampaian informasi, tetapi juga sebagai sarana dakwah. Namun, dakwah melalui media harus bersifat moderat dan terbuka, tidak bersifat dogmatis atau memaksa. Media Islam, dalam pandangannya, harus mampu mengkomunikasikan pesan-pesan keagamaan dengan cara yang bijak, santun, dan relevan dengan kehidupan masyarakat modern.
Dalam konteks ini, Azra menekankan pentingnya komunikasi Islam yang menyentuh hati masyarakat luas tanpa harus menimbulkan perpecahan. Ia percaya bahwa dakwah melalui media harus didasarkan pada cinta kasih, dialog, dan pengertian, bukan pada kebencian atau polarisasi. Melalui tulisan dan pidatonya, Azra memberikan teladan tentang bagaimana jurnalis Muslim bisa berperan dalam menyebarkan ajaran Islam yang damai dan inklusif.
7. Mendidik Generasi Muda Jurnalis Muslim
Warisan penting lainnya dari Azra adalah dedikasinya dalam mendidik generasi muda, termasuk calon-calon jurnalis Muslim. Sebagai seorang akademisi, ia selalu mendorong mahasiswa dan intelektual muda untuk berpartisipasi aktif dalam dunia jurnalistik, dengan tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip etika dan profesionalisme. Ia meyakini bahwa generasi muda memiliki peran besar dalam menjaga kebebasan pers dan memperkuat jurnalisme Islam yang berkualitas di masa depan.
Azra juga sering memberikan ceramah dan pelatihan bagi jurnalis muda, baik di Indonesia maupun di luar negeri. Ia menekankan pentingnya pendidikan berkelanjutan bagi jurnalis agar mereka dapat mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, serta mampu menghadapi tantangan baru dalam dunia media, terutama di era digital dan media sosial.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa warisan Prof. Azyumardi Azra dalam jurnalisme Islam adalah komitmennya terhadap pengembangan media yang moderat, inklusif, etis, dan berbasis ilmu pengetahuan. Sebagai pemikir Islam yang progresif, ia tidak hanya menginspirasi jurnalis untuk menjaga integritas dan profesionalisme, tetapi juga memberikan contoh konkret melalui Studia Islamika dan kepemimpinannya di Dewan Pers. Azra meninggalkan jejak mendalam dalam bagaimana jurnalisme Islam dapat berfungsi sebagai alat dakwah, edukasi, dan pemersatu di tengah masyarakat yang semakin kompleks dan pluralis.
Catatan Akhir
Prof. Azyumardi Azra, dengan pengalamannya sebagai jurnalis muda, intelektual Muslim, dan Ketua Dewan Pers, pantas dikenang sebagai "Bapak Jurnalisme Islam" di Indonesia. Beliau berhasil menggabungkan nilai-nilai Islam yang universal dengan prinsip-prinsip etika jurnalistik modern, menciptakan pendekatan yang tidak hanya relevan di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia Islam.
Dedikasinya dalam memajukan jurnalisme yang bertanggung jawab dan berintegritas telah meninggalkan jejak yang dalam di dunia media Islam. Pemikiran dan kontribusi beliau akan terus menjadi inspirasi bagi generasi jurnalis Muslim yang ingin mengusung jurnalisme yang mencerahkan, inklusif, dan membawa kebaikan bagi masyarakat luas.
(Study Rizal LK adalah Dosen Tetap FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H