Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, pada tanggal 30 Januari 2020, mengumumkan wabah Covid 19 sebagai pandemi. Saya sempat bertanya dalam hati apa itu pandemi.
Setelah mencari tahu pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi pandemi adalah wabah yang berjangkit serempak di mana-mana, meliputi daerah geografi yang luas.
Ya, saat ini seluruh dunia sedang terjangkit wabah Covid 19. Covid 19 merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh jenis coronavirus yang baru – baru ini ditemukan.
Coronavirus sendiri adalah suatu kelompok virus yang dapat menyebabkan penyakit pada hewan atau manusia. Covid 19 ini sangat berbahaya apabila virus memasuki tubuh dengan imunitas rendah. Mengapa?
Karena virus ini dapat mengakibatkan kematian. WHO selalu mengingatkan masyarakat di seluruh dunia untuk bersama – sama bahu membahu dalam menanggulangi penyebaran virus Covid 19.
Belum lama ini, WHO menggunakan istilah Physical Distancing dalam rangka pencegahan penyebaran virus Covid 19. Selain itu, Physical Distancing diharapkan dapat meminimalkan resiko terinfeksi Covid 19.
Pemerintah di berbagai negara juga begitu marak menyuarakan Physical Distancing pada saat ini.
Jadi mengapa Physical Distancing ini begitu populer? Apakah Physical Distancing dapat dijadikan sebagai bentuk etika? Sebelum menjelaskan jawaban dari pertanyaan di atas, saya ingin membagikan informasi apa sebenarnya Physical Distancing tersebut.
Physical Distancing itu apa?
Sebelum istilah Physical Distancing muncul, WHO sempat menyebutkan istilah Social Distancing. Namun karena istilah Social Distancing kurang mewakili maksud dan tujuan WHO, maka lahirlah Physical Distancing.
Menurut Pimpinan Teknis WHO, Dr. Maria Van Kerkhove dalam konferensi pers di Jenewa pada tanggal 18 Maret 2020, bersama Direktur Jenderal WHO, Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus dan Direktur Eksekutif Program Kedaruratan, Dr. Michael Ryan, menyatakan, “Saya ingin menambahkan, Anda mungkin pernah mendengar kami menggunakan istilah Physical Distancing, bukan Social Distancing.
Salah satu hal yang perlu disoroti bersama, yaitu apa yang dikatakan Mike tentang menjaga jarak fisik dari orang. Diharapkan kita dapat mencegah virus agar tidak berpindah dari satu ke yang lain. Ini poin yang sangat penting.
Namun dalam hal ini, tidak berarti bahwa kita secara sosial harus memutuskan hubungan dari orang yang kita cintai, dari keluarga kita”.
Dari pernyataan di atas, saya dapat memaknai bahwa Physical Distancing adalah menjaga jarak fisik. Berdasarkan penjelasan lebih lanjut diketahui bahwa jarak yang ditentukan WHO adalah sejauh satu meter bahkan lebih antara satu orang dengan orang yang lain.
Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus juga menambahkan pernyataan “Tindakan Physical Distancing, seperti membatalkan acara olahraga, konser dan pertemuan besar lainnya dapat membantu memperlambat penularan virus.
Hal ini juga dapat mengurangi beban pada sistem kesehatan.
Selain itu, masyarakat yang melakukan Physical Distancing dapat membantu dunia dalam membuat pandemi (Covid 19) dikelola dengan baik, dan memungkinkan tindakan pencegahan sesuai target dan terfokus.
"ari pernyataan di atas, saya berpendapat, bahwa WHO mengajak kita untuk peduli dengan situasi darurat ini. Karena sesungguhnya Physical Distancing tidak serta merta membuat hubungan sosial kita dengan orang lain renggang. Apalagi di era revolusi 4.0 ini, kita tetap dapat menjalani komunikasi dengan siapapun melalui berbagai media digital.
Saya juga memaknai bahwa istilah Physical Distancing bukan hanya menjaga jarak fisik, tetapi masyarakat disarankan untuk membatasi diri dari keramaian. Tidak membuat kerumunan dalam mengurangi penyebaran virus Covid 19 yang semakin meluas juga perlu dilakukan.
Sepeti nongkrong bersama teman di kafe atau buat arisan di mall juga sebaiknya dihindari. Hal ini pun sesuai anjuran pemerintah di berbagai negara, untuk tetap tinggal diam di rumah bila tidak ada keperluan mendesak.
Nah, mengapa Physical Distancing menjadi populer?
Berdasarkan pengamatan pribadi dari saya, ada beberapa alasannya.
Pertama, anjuran untuk melakukan Physical Distancing mendapat respon pro dan kontra di kalangan masyarakat. Pro dan kontra ini menjadi konflik yang tidak dapat dihindarkan.
Bagi yang pro dan berusaha legowo mengikuti anjuran pemerintah, mungkin tidak akan ada masalah dengan Physical Distancing.
Berbeda dengan yang kontra, pasti akan tetap melakukan rutinitas seperti biasa. Karena bagi orang-orang ini, sangat tidak masuk akal ketika harus berada di rumah saja.
Sebagai contoh, pengemudi ojol (ojek online) dan pedagang keliling. Apalagi mereka harus mencari nafkah untuk keluarga. Bila mereka tidak bekerja, maka ekonomi rumahtangga bakal terganggu bahkan terancam.
Kedua, salah satu bentuk Physical Distancing adalah untuk tetap tinggal diam di rumah. Sejak anjuran tersebut muncul, di beberapa media sosial lahir hashtag #diRumahAja atau #StayAtHome.
Hampir setiap hari ada saja keseharian yang dibagikan pengguna media sosial dengan hashtag tersebut. Per 15 April 2020, #DiRumahAja telah mencapai 5,4juta hashtag dan #StayAtHome telah mencapai 8,8juta,Dengan demikian, hashtag tersebut pun kini menjadi tren akibat pemberlakuan Physical Distancing di kalangan masyarakat.
Ketiga, Physical Distancing sebenarnya membawa dampak sangat besar bagi kehidupan sosial bermasyarakat. Hal ini dapat kita rasakan ketika pemerintah di berbagai negara, termasuk di Indonesia yang melakukan penutupan sementara pada rumah ibadah, sekolah, beberapa kantor, tempat hiburan, tempat usaha dan tempat lainnya sebagai bentuk pembatasan diri dari tempat ramai dan kerumunan massal.
Selain itu, ada beberapa kebiasaan-kebiasaan sopan santun yang dilarang untuk sementara waktu, seperti berjabat tangan, rangkulan persahabatan dan berkumpul langsung untuk berbagi suka dan duka dengan kerabat ataupun handai taulan.
Suka tidak suka, masyarakat yang terdampak, wajib melaksanakan amanat tersebut guna mengurangi penyebaran Covid 19.
Dari ketiga alasan ini, saya tertarik menelusuri lebih lanjut, apakah pemberlakuan Physical Distancing dapat menjadi suatu etika yang harus dilaksanakan atau malah melanggar etika yang ada di masyarakat saat Covid 19 masih mewabah. Karena saat ini Physical Distancing menjadi dilema bagi masyarakat di berbagai negara.
Pengertian dan Teori Etika
Saat ini, saya merupakan mahasiswa Magister Akuntansi di salah satu universitas negeri. Semester ini, saya mendapat mata kuliah yang mempelajari tentang etika. Apa itu definisi etika?
Istilah etika berasal dari Bahasa Yunani yaitu “ethice” yang artinya adalah perilaku seseorang, adat istiadat, kebiasaan, watak, perasaan batin, dan kecenderungan hati untuk melakukan suatu perbuatan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Etika adalah ilmu tentang apa yang baik dan buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak).
Moral adalah ajaran tentang baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban dan sebagainya. Ada tiga pendekatan terkait teori etika yang dikemukakan oleh beberapa filsuf antara lain :
1. Pendekatan “Ends Justify the Means” merupakan pendekatan teori etika yang berfokus pada hasil daripada prosesnya. Pada pendekatan ini, dalam mengambil keputusan pun hanya melihat hasil di masa mendatang tanpa mempertimbangkan proses yang terjadi.
Dalam pendekatan ini, terdapat tiga teori yang tergolong di dalamnya. Namun pada pembahasan kali ini, saya hanya menjelaskan dua teori yaitu Egoisme dan Utilitarianisme.
● Egoisme
Bila kita mendengar kata egoisme, makna yang tersirat terasa negatif. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi egoisme ada dua yaitu:
1. tingkah laku yang didasarkan atas dorongan untuk keuntungan diri sendiri daripada untuk kesejahteraan orang lain; 2. teori tentang segala perbuatan atau tindakan selalu disebabkan oleh keinginan untuk menguntungkan diri sendiri.
Dari definisi di atas, begitu jelas bahwa tingkah laku seseorang berfokus pada diri sendiri. Namun beberapa psikolog memaparkan bahwa setiap pribadi perlu mencintai dan menghargai diri untuk mencapai prestasi dan penghargaan atas pribadi sendiri.
Pada buku “Filsafat Moral” oleh James Rachels (2013) menuliskan bahwa terdapat dua teori egoisme, yaitu Egoisme Psikologi dan Egoisme Etis.
Egoisme psikologi merupakan suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan manusia dimotivasi oleh berkutat pada diri sendiri. Dalam teori ini, menyatakan bahwa tiap orang boleh saja yakin bila tindakan yang mereka lakukan bersifat luhur dan suka berkorban.
Namun semua tindakan yang terkesan luhur dan/atau tindakan yang suka berkorban tersebut hanyalah ilusi. Tindakan berkutat diri ditandai dengan ciri mengabaikan atau merugikan kepentingan orang lain.
Dari penjelasan di atas diketahui bahwa teori egoisme psikologi dapat dikategorikan pada tindakan yang kurang etis karena mengandung unsur keserakahan
Egoisme etis merupakan suatu teori yang menjelaskan bahwa semua tindakan dilandasi oleh kepentingan diri sendiri.
Di dalam egoisme etis mengajarkan bahwa setiap orang harus mengejar kepentingannya sendiri secara eksklusif.
Egoisme etis juga menyatakan bahwa seseorang tidak memiliki kewajiban moral selain menjalankan perbuatan yang paling baik untuk diri sendiri.
Namun, egoisme etis tidak mengajarkan seseorang untuk tidak menolong orang lain. Menurut teori ini, tindakan menolong orang lain dianggap sebagai tindakan untuk menolong diri sendiri, karena menolong orang lain juga dalam rangka memenuhi kepentingan diri.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa teori egoisme etis pun tidak dapat dipergunakan dalam kehidupan bermasyarakat dengan alasan bahwa teori ini tidak dapat menyelesaikan konflik kepentingan.
● Utilitarianisme
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi Utilitarianisme adalah keyakinan bahwa nilai dari suatu hal atau tindakan ditentukan oleh utilitas atau manfaat.
Tokoh yang mempelopori teori Utilitarianisme adalah David June (1711-1776). Kemudian teori ini dikembangkan oleh Jeremy bentham (1748-1832) dan John Stuart Mill (1806-1873). Utilitarianisme berasal dari bahasa Latin “utilis”, dalam bahasa Inggris “utility” yang artinya bermanfaat (Bertens.K, 2000).
Berdasarkan teori ini, suatu perbuatan dapat dikategorikan baik jika membawa manfaat bagi sebanyak mungkin anggota masyarakat.
Jadi ukuran baik atau tidaknya sesuatu dilihat dari akibat, konsekuensi atau tujuan dari tindakan itu (bermanfaat atau tidak).
Teori utilitarianisme ini juga menjelaskan pemahaman tentang cara mengukur akibat dari suatu tindakan adalah dengan mengetahui jumlah kebahagiaan atau jumlah ketidakbahagiaan.
Pemahaman tersebut menuai kritik dikarenakan teori ini hanya menekankan tujuan/manfaat pada pencapaian kebahagiaan duniawi dan mengabaikan aspek spiritual.
Selain itu, konsep teori Utilitarianisme, lebih mengorbankan prinsip keadilan dan hak individu (minoritas) demi keuntungan sebagian besar orang (mayoritas).
2. Pendekatan “Means Justify the Ends” merupakan pendekatan teori etika yang berfokus pada proses. Pada pendekatan ini, terdapat harapan bahwa berawal dengan melakukan proses yang baik maka akan menghasilkan suatu yang baik pula. Walaupun pada kenyataan, belum tentu hasil akhir yang diperoleh adalah baik.
Dalam pendekatan ini, terdapat dua teori yang tergolong di dalamnya yaitu Deontologi / Teori Kewajiban dan Teori Hak. Yuk, kita bahas satu – persatu.
● Deontologi / Teori Kewajiban
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, definisi deontologi adalah ilmu mengenai kewajiban etis. Istilah Deontologi sendiri berasal dari kata Yunani yaitu “Deon” yang artinya kewajiban; dan “logos” yang artinya ilmu atau teori (Bertens.K, 2000). Tokoh yang mempelopori teori deontologi adalah Immanuel Kant (1724-1804).
Dalam teori ini yang menjadi dasar baik dan buruknya suatu perilaku adalah kewajiban. Teori ini menegaskan bahwa bila perbuatan dikategorikan baik maka kita wajib melakukannya. Sementara bila perbuatan dikategorikan tidak baik, maka kita wajib menghindarinya
Bagaimana kita mengetahui perbuatan itu baik atau tidak? Sebagai contoh, kenapa kita harus berlaku jujur, adil, ikhlas, amanah, tidak menyakiti orang lain, karena itu adalah kewajiban.
Teori deontologi menyatakan, konsekuensi yang lahir setelah perbuatan itu dilakukan, adalah persoalan lain dan tidak boleh menjadi pertimbangan. Hal ini juga membuat teori deontologi memiliki kekurangan, karena tidak mempertimbangkan dampak lain tersebut.
Oleh karena itu, teori deontologi selalu menekankan bahwa perbuatan tidak dihalalkan karena tujuannya. Meskipun suatu perbuatan itu tujuannya baik, namun cara yang ditempuh salah maka tetap tidak bisa dianggap baik.
Kant membangun teorinya dengan berlandaskan pemikiran rasional dengan asumsi bahwa karena manusia adalah makhluk bermartabat, maka setiap perlakuan manusia terhadap manusia lainnya harus dilandasi oleh kewajiban moral universal.
● Rights Theory / Teori Hak
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, salah satu definisi hak (rights) adalah kekuasaan yang benar atas sesuatu atau hal untuk menuntut sesuatu.
Teori hak merupakan teori yang juga dikemukakan oleh Immanuel Kant. Teori ini adalah bagian yang tidak terpisahkan dari teori deontologi / teori kewajiban.
Pada hakikatnya teori hak didasarkan atas asumsi bahwa manusia memiliki martabat. Dan dalam hal ini, semua manusia memiliki martabat yang sama.
Teori hak merupakan teori tentang suatu perbuatan yang dianggap baik apabila perbuatan tersebut telah sesuai dengan hak asasi manusia (HAM). Berdasarkan beberapa sumber otoritas, hak asasi manusia (Weiss, 2006) diklasifikasi antara lain sebagai berikut
a. Hak Hukum (Legal Rights)
Hak hukum merupakan hak yang didasarkan pada sistem atau yurisdiksi hukum suatu negara. Di Indonesia sendiri, sumber hukum tertinggi suatu negara adalah Undang-Undang Dasar 1945
b. Hak Moral atau Kemanusiaan (Human Rights)
Hak ini dihubungkan dengan pribadi manusia secara individu, bahkan dengan kelompok tertentu. Namun hak ini tidak dihubungkan dengan masyarakat dalam arti luas. Hak moral ini berkaitan dengan kepentingan individu sepanjang kepentingan tersebut tidak melanggar hak orang lain.
c. Hak kontraktual (Contractual Rights)
Hak ini mengikat sebagian individu yang membuat kesepakatan, perjanjian atau kontrak bersama. Sebagai contoh, apabila saya sepakat melakukan sesuatu untuk seseorang, maka orang tersebut memiliki hak atas apa yang telah saya lakukan. Seseorang memperoleh hak kontraktual atas apapun yang telah disepakati bersama.
3. Pendekatan yang menitikberatkan pada “Being” manusia, merupakan pendekatan teori etika yang berfokus pada karakter moral dari pengambil keputusan. Pada pendekatan ini, terdapat teori keutamaan yang berfokus pada moral.
● Virtue Theory/Teori Keutamaan
Teori ini merupakan buah pemikiran Aristoteles (384-322 SM). Menurut Aristoteles, etika dapat dihubungkan dengan kepribadian, sifat, atau ciri perwatakan.
Dalam membentuk watak yang mulia dan terbaik seharusnya dapat dilakukan melalui usaha pengembangan moral, bukan sekedar kepatuhan kepada peraturan masyarakat.
Aristoteles menjelaskan bahwa sejumlah watak mulia manusia yang bermoral dapat berupa : bijaksana, keadilan, kejujuran, persahabatan, keberanian dan sebagainya.
Berdasarkan teori ini, masalah yang difokuskan terdapat pada dimensi individu atau manusianya, dan bukan perbuatan yang dihasilkannya. Dalam pandangan Aristoteles, manusia perlu berfokus kepada usaha dalam membina kepribadian yang mulia (Bailey 2010: 2).
Sifat-sifat yang terpuji dalam wujud pribadi mulia akan mampu menciptakan keseimbangan dan kebahagiaan hidup. Sebagai contoh, sifat jujur dan amanah seharusnya dapat menjauhkan diri dari watak korupsi dan tindakan mementingkan diri sendiri.
Di samping itu, sikap suka membantu orang lain juga akan menolong orang dalam memecahkan sebagian urusan hidupnya. Adapula sikap tegas yang akan menjadikan seseorang memiliki prinsip hidup dan disegani.
Kemudian sikap bekerja keras membawa akan membawa seseorang keberhasilan. Dengan demikian, seseorang dengan pribadi mulia akan mendorong orang tersebut memiliki perilaku bermoral.
Aristoteles pun menekankan bahwa manusia dapat mencapai kebahagiaan melalui tindakan yang mengaktualisasikan potensi dalam diri seseorang. Dengan kata lain, kebahagiaan seseorang dapat dicapai melalui usaha pengembangan diri (Grcic 2013: 416).
Teori ini juga menjelaskan bahwa memiliki pribadi mulia bukanlah sesuatu yang bersifat alamiah, maksudnya manusia tidak dilahirkan dengan sifat baik atau jahat.
Meskipun demikian, teori ini dapat menjadi panduan bagi seseorang dalam mewujudkan kehidupan yang damai bersama pada masyarakat.
Physical Distancing sebagai bentuk Etika di kala Pandemi Covid 19?
Setelah membahas tentang Physical Distancing dan etika, saya mencoba untuk menjawab pertanyaan yang muncul dalam benak. Apakah terdapat keterkaitan antara Physical Distancing dan etika? Apakah Physical Distancing dapat dikategorikan sebagai etika? Apakah pemberlakuan Physical Distancing tidak melanggar etika yang telah ada di masyarakat?
Apabila saya ulas kembali tentang pengertian dan teori etika, dapat diketahui bahwa Physical Distancing memiliki keterkaitan dengan etika di kala pandemi Covid 19 ini.
Physical Distancing bahkan dapat dikategorikan suatu etika. Mengapa saya berpendapat demikian?
Hal ini dikarenakan ketika masyarakat melakukan Physical Distancing, itu artinya masyarakat telah melakukan kewajiban yang dianjurkan oleh Pemerintah.
Hal ini sesuai dengan pengertian etika yaitu perilaku seseorang untuk melakukan suatu perbuatan. Dari sisi teori etika, Physical Distancing tergolong pada Teori Deontologi. Mengapa saya sebut demikian?
Berdasarkan anjuran WHO, bahwa masyarakat di seluruh dunia wajib melakukan Physical Distancing demi meminimalkan penyebaran dan penularan Covid 19 semakin meluas.
Tapi di sisi lain, pemberlakuan Physical Distancing merugikan banyak pihak. Bukankah hal itu melanggar etika?
Sesuai dengan teori deontologi sendiri, bahwa konsekuensi yang lahir setelah perbuatan itu dilakukan, adalah persoalan lain dan tidak boleh menjadi pertimbangan.
Konsekuensi yang lahir karena adanya Physical Distancing seperti berkurangnya pemasukan, kebebasan beribadah dibatasi, proses belajar mengajar tatap muka juga terusik dan sebagainya menjadi persoalan lain.
Karena dari sisi kesehatan, wajib kita berfokus pada kesehatan manusia secara global.
Apalagi mengingat vaksin untuk Covid 19 ini belum ditemukan. Bila seluruh masyarakat di dunia sudah pulih dan terbebas dari Covid 19, maka otomatis dapat beraktivitas kembali dan berbenah di segala aspek kehidupan.
Walau saat ini Covid 19 masih mewabah, pemerintah di seluruh dunia sesungguhnya tidak tinggal diam dalam menangani wabah ini. Semua bekerja keras untuk memerangi virus Covid 19 ini.
Terlebih tenaga medis yang merawat pasien Covid 19 dan para ahli yang sedang berusaha menemukan vaksin Covid 19.
Di Indonesia pun, pemerintah terus berupaya bagaimana mengelola perekonomian negara agar tidak anjlok, salah satunya dengan berusaha memfasilitasi orang – orang yang sangat terdampak negatif akibat pemberlakuan Physical Distancing.
Maka alangkah baiknya kita mengikuti anjuran WHO dan pemerintah untuk melakukan Physical Distancing. Pasti bukan hal yang mudah bagi kita.
Namun, tidak ada salahnya kita menjaga kesehatan diri dengan melakukan Physical Distancing sebagai bentuk etika di kala pandemi Covid 19. Semoga badai Covid 19 ini cepat berlalu.
Semoga kita semua selalu diberikan kesehatan dan keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Esa, terlebih dalam memerangi virus Covid 19 ini.
Salam sehat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H