Pelan-pelan air bening itu dituangkan kegelas dan diminumnya. Seteguk.
Dia praktekan cara minum yang anggun dan sopan. Terlihat sekali kelas sosialnya, tanpa menjadi sombong.
Earphone tanpa kabel itu sudah masuk ke tas selempangnya. Tadi sesaat langkahnya mendekati pintu masuk. Suara da'i itu ditelinganya terganti lagu Besame Mucho.
***
"Maaf, Mbak, ... Mbak diminta mendatangi Bapak yang duduk di sana, ..." jempol tangan pelayan kafe itu menunjuk sebuah arah.
Wajah beralis tebal itu mengikuti arahnya, lalu berdiri. Benaknya menerka-terka, "Siapakah gerangan ?"
Rambut putih itu, menghilangkan keraguan Wadiarini Anya. Walau pertanyaannya belum terjawab. Dirinya melangkah mendekati. Wajah orang itu belum tampak jelas.
Bapak berambut ikal putih sedang menyantap makan siang.
"Kemungkinan besar dosen-ku, ...!" Seru benaknya riang.
Benar saja, Pak Suwardi, orang yang dia kagumi. Satu-satunya dosen yang menyuguhi cemilan dan minuman pada setiap mahasiswa yang berkunjung ke rumahnya. Ujian lisan atau bimbingan skripsi.
"Anda, Myrna-Slamet, mau minum kopi atau teh, ... Kalau mau susu, juga ada. Kebetulan bapak dapat kiriman dari mantan murid, ... Alhamdulillah, dia ditugaskan di Selandia baru, ..."