Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... Penulis - ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Novel | "Wad, ...!"

11 Februari 2022   12:35 Diperbarui: 11 Februari 2022   12:44 401
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Novel  |  "Wad, ...!"

Soetiyastoko

Bagian 16

Kandas di Cafetaria Universitas

"Jangan pernah merubah dirimu hanya demi memikat dan mendapatkan cinta seseorang. Tetaplah jadi dirimu sendiri, jadi orang baik. Dirimu pasti dipertemukan dengan seseorang yang kualitasnya setara denganmu. Dia akan jadi milik-mu".

Ucapan da'i muda itu masih terngiang ditelinganya

"Bisa jadi cinta itu datang tiba-tiba. Bahkan saat pertama berjumpa. Bisa juga setelah bergaul sekian lama. Bahkan ada yang baru muncul setelah punya anak, ..."

Wadiarini Anya, masih dengan wireless earphone, spiker kecil tanpa kabel yang diselipkan ke liang telinganya.

Suara da"i muda, debutan, menggelitik pikirannya. Kira-kira cinta seperti apa modelnya, yang akan menghampirinya.

"Dia masih belia, bisa ngomong begitu, pasti karena baca buku, ... Jangan-jangan itu dikutipnya dari Novel, ..."

Perhatian Wadiarini Anya terbagi. Antara suara radio dan mata yang menuntun langkah anggunnya. Cara berjalan sesuai yang diajarkan model senior, guru lembaga pendidikan kepribadian.

Tas selempang hitam bergayut dipundak. Telapak tangan kanannya terbuka, dilekatkan di dahinya. Bukan sedang menghormat, tapi matahari melenggang di birunya angkasa. Tanpa awan. Serasa malam tahun-baruan, bakar-bakaran daging sapi, ayam dan jagung. Berbumbu super pedas. Memicu sekujur kulit resah, keringat ingin membuka pintu. Keluar.

Pintu kaca itu mempersilahkannya masuk. Terbuka sendiri tanpa disentuh, hawa sejuk tersenyum menyambutnya. Batalkan sebagian keringat yang belum berkesempatan muncul.

Kafetaria universitas ini melebihi restoran-restoran kelas papan tengah. Luas dan tertata lugas. Enak disinggahi, walau hidangannya biasa saja. Beragam menu-nya, sebelas-duabelas dengan Warung Tegal.

Bedanya, piring-piringnya tebal, lebar dan relatif datar. Tidak cukup cekung. Kecuali mangkoknya. Sendoknya pun enak dipegang, tidak membuat jari terganggu hingga bisa terluka.
Bukan dari plat tipis yang di-pres, seperti sendoknya abang-abang bakso di pinggir jalan.

Kalau pas beruntung, bisa menikmati musik hidup. Akustikan. Lagu-lagu bosanova, jaz dan yang riang, paduan kwartet ala latin.

Pernah ada yang protes: "Kok tidak ada musik dangdut, pop, atau keroncong, blues, rock n roll ?, ... Ada-in dong !""

"Maaf, Bang, Mas, Kang, Bro, Uda, kami memang didesain seperti ini, ...."

"Masak ! Musik didesain juga ! Emangnya dekor interior-eksterior ! Ada-ada saja kamu. Aneh !" Sergah yang lain.

"Benar, benar-benar aneh !"

"Tidak aneh, kalian saja yang aneh, .... Coba loe bayangin, loe lagi makan rujak cingur di sini, ... sementara di panggung ada yang rambutnya acak-acakan, ...Jingkrak-jingkrak nyanyi rock ..."

Kawanan jomblo ini sejenak terdiam, mendengar ocehan itu. Menejer kafe yang mendampingi Kasir, merasa dibela. Keluar dari posisi tersudut dalam keroyokan sengit.

Mahasiswa yang terlihat konservatif bin jadul bin kuno bin ndusun itu, dengan tenang melanjutkan,

.Atau, ... Atau ada yang meliuk-liuk setengah bugil nyanyi dangdut, ... Bagaimana cara loe makan rujak kesukaan loe, ... ?"

Dalam kawanan yang berpenampilan "mambo", alias "aneka gaya" itu masih ada yang bersungut-sungut. Mereka mengerubungi meja kasir.

Maksudnya, antri. Gantian bayar yang sudah masing-masing pesan.  Makanan dan minuman yang sudah pindah ke lambungnya.

Katanya, mahasiswa. Katanya, berpendidikan tinggi. Tapi tidak ada sopan-sopan-nya. Tepatnya, condong ke biadab.

Tapi menyebutnya dengan kalimat dalam paragraf di atas, .... Justru merendahkan diri sendiri.

Begitu wejangan untuk gadis stunting, yang tengah bertindak selaku Kasir . Menejer on duty itu, merasa harus melindungi anak buahnya yang belum lepas ketegangannya.

Akibat nada-nada iminidatif dari gerombolan mambo-jomblo. Bersyukur mereka sudah berlalu.

Kembali ke urusan panggung kecil setinggi dua puluh lima senti. Jenis musik yang dimainkan, disajikan di kafe itu, katanya, untuk membangun suasana yang lebih "akademis" dan "sersan", serius tapi santai.

"Aha, ha haa, alasan psudo ilmiah. Yaa, begitulah, agak-agak ilmiah dan sedikit keangkuhan sosial" , seru hati sang menejer kafe. Di kamar mandi, rumah petak kontrakannya selalu mendendangkan "Begadang" dan "Darah Muda" , lagunya sang raja dangdut.

***

Pembaca "Wad !" yang cakrawala ilmunya luas, ... Kalian tahu atau pura-pura tidak tahu  lagu itu ? Kalau aku, kadang-kadang di malam minggu menyanyikannya juga. Bersama teman-teman laki-perempuan, sesama jomblo. Walau tidak hafal liriknya.

***

Sebenarnya, tentang jadwal grup akustik itu tampil di sini, bisa tanya ke kasir.
Kapan saja mereka akan tampil di kafetaria ini. Mereka mainkan bongo, saxophon, bas betot yang lebih tinggi dari pemusiknya. Itu sangat khas.

Alat musik lainnya, standar. Suara koor-nya, sungguh memukau. Angota grup belajar kelompok Wadiarini Anya, semua suka sekali.

Konon, kata orang, ... Memang disengaja waktu tampilnya selalu diubah. Alasannya, biar selalu ada yang berharap bisa beruntung menyaksikan. Dengan cara tiap hari, makan minum di kafe keren itu.

Seperti yang sedang didengarkan Wadiarini Anya. Tapi untuk meja, kali ini dia pilih yang bisa mengamati pengunjung keluar masuk.
Tak terhalang tiang-tiang berhias serpihan cermin.

Namun dari situ para seniman musik itu, tak begitu jelas aksi panggungnya.

***

Hari itu janji ketemu dosen muda di kafetaria ini. Dia tidak langsung duduk, matanya menjelajah kesetiap meja dan kursi. Dosen muda itu belum datang.

Pelayan menghampiri, membawa pesanannya di atas baki kayu jati, sebotol air minum dingin dan gelas kosong yang juga dingin. Mak-nyes, hmm !

Pelan-pelan air bening itu dituangkan kegelas dan diminumnya. Seteguk.

Dia praktekan cara minum yang anggun dan sopan. Terlihat sekali kelas sosialnya, tanpa menjadi sombong.

Earphone tanpa kabel itu sudah masuk ke tas selempangnya. Tadi sesaat langkahnya mendekati pintu masuk. Suara da'i itu ditelinganya terganti lagu Besame Mucho.

***

"Maaf, Mbak, ... Mbak diminta mendatangi Bapak yang duduk di sana, ..." jempol tangan pelayan kafe itu menunjuk sebuah arah.

Wajah beralis tebal itu mengikuti arahnya, lalu berdiri. Benaknya menerka-terka, "Siapakah gerangan ?"

Rambut putih itu, menghilangkan keraguan Wadiarini Anya. Walau pertanyaannya belum terjawab. Dirinya melangkah mendekati. Wajah orang itu belum tampak jelas.

Bapak berambut ikal putih sedang menyantap makan siang.

"Kemungkinan besar dosen-ku, ...!" Seru benaknya riang.

Benar saja, Pak Suwardi, orang yang dia kagumi. Satu-satunya dosen yang menyuguhi cemilan dan minuman pada setiap mahasiswa yang berkunjung ke rumahnya. Ujian lisan atau bimbingan skripsi.

"Anda, Myrna-Slamet, mau minum kopi atau teh, ... Kalau mau susu, juga ada. Kebetulan bapak dapat kiriman dari mantan murid, ... Alhamdulillah, dia ditugaskan di Selandia baru, ..."

Itu kalimat  pak Suwardu yang ditirukan Mas Slamet dan ditertawakan Mbak Myrna, karena amat mirip. Cuma kurang sedikit getarannya. Mas Slamet terlalu muda, untuk bisa meniru getaran suaranya Pak Suwardi.

Itu yang didengar Wadiarini Anya, dari senior ankatan yang dibimbing penulisan skripsi-nya.

"Selamat siang, Pak Suwardi, ..."

Yang disapa, tak langsung menjawab, meneruskan mengunyah. Tangannya mengarah ke kursi di depannya. Wadiarini Anya mengartikan, dipersilahkan duduk.

"Terima kasih, Pak Wardi, ..."

"Saya lanjutkan dulu, yaa, ..."

"Silahkan, Pak Suwardi, ..."

Pelayanan mendatangi meja itu, ternyata membawakan gelas dan botol air bening dingin, yang tadi ditinggalkan Wadiarini Anya.

"Terima kasih, Non, ..." , pelayan itu menjawab dengan senyum dan anggukan.

"Kamu tidak pesan makanan, ... cuma minum saja ?!"

"Yaa, pak saya hanya sedikit haus saja, ..."

"Nunggu teman, atau ada jadwal kuliah ?"

"Tidak, pak Suwardi, saya janji menemui pak Andre"

"Lho, kok di sini janjiannya, ...?" Mata berwibawa itu mengamati pakaian formal Wadiarini Anya. Gayanya mirip anaknya yang kuliah di Bogor. Di IPB, Institut Perbankan  Bogor

"Ooh yaa, saya tugaskan pak  Andre... untuk mengajak mu jadi assisten dosen. Jadi belum disampaikannya ?!"

"Sudah, disampaikan beliau, Pak Suwardi, ..."

"Jadi apalagi yang akan dibicarakan, .... Kamu bersedia, 'kan ? Nanti sekalian, untuk skripsi, kalau mau, bapak bisa bantu bimbing ..."

"Saya belum memberi jawaban, Pak Suwardi. Saat bertemu Pak Andre, saya minta waktu untuk memikirkan jadwal kegiatan pribadi saya. Hari ini akan saya sampaikan jawabannya, ..."

"Jadi bisa 'kan ?! Ini kesempatan baik untukmu. Belajar membimbing mereka yang tertinggal dan mengajar mahasiswa semester tiga..."

"Mohon maaf, Pak Suwardi, sebenarnya saya sangat beruntung dan berterima kasih. Telah diberi peluang untuk lebih maju, ...." mahasiswi cerdas itu menghela nafas dan melanjutkan.

"Namun, mohon maaf, jadwal kegiatan saya sudah tak mungkin ditambah lagi. Saya harus memegang komitmen pada kegiatan yang sudah terencana, dan, terkait dengan pihak lain. .... Saya tidak mampu menerima tawaran baik, dari pak Suwardi, ..."

Gadis anggun itu, gembira, bisa menuntaskan kalimatnya.

"Sekali lagi, saya mohon maaf dan terima kasih, telah diberi tawaran yang amat baik, ... Saya tidak mampu menerimanya, ..."

Setelah kalimat itu selesai, dia heran sendiri, "... 'kok bisa, aku menyusunnya seperti tadi itu, ..."

"Ok, bapak hargai keputusanmu, ... Kalau bapak boleh tahu, kegiatanmu itu apa saja ?"

"Jadi guru bantu untuk matematika di kelas paket C. Menyiapkan atlet pencak silat untuk kejuaraan antar perguruan tinggi, .... dan ... Magang di bagian marketing perusahaan ...."

Kali ini, dia merasa salah. Merasa telah menyombongkan diri, di depan dosen yang sangat dia hormati.

"Bagus-bagus-bagus, .... Kamu ngajar matematika dan melatih silat, ... Bapak kagum padamu, ..."

"Terima kasih, pak, ... Alhamdulillah"

Tiba-tiba gawainya bergetar. Lalu bergetar lagi. Tangan halus agak berbulu itu, merogoh tas, mengeluarkan gawainya.

"Maaf, pak, saya matikan dulu ..."

"Sudah, angkat saja, barangkali penting, ..."

***

Dosen muda itu terpandang dari arah duduk Wadiarini Anya. Sedang  melihat kesana kemari, ada yang dicari. Gawainya ditempelkan di telinga kirinya.

Pemuda kidal yang celingukan, datang pakai jin penuh tempelan badge, kaos jersey oranye kesebelasan Belanda. Sepatunya kets merah menyala.

"Maaf, pak Suwardi, ... itu pak  Andre..." memberi isyarat minta ijin, lalu Wadiarini Anya beranjak ke arah si dosen muda.

"Pak Andre, saya duduk di sana, ..."

"Di sana saja, biar jelas melihat yang nyanyi, ...."

"Di sana saya bersama Pak Suwardi, ..." Wadiarini Anya tidak menghiraukan perkataan sosok bersepatu merah itu.

Gadis itu langsung balik badan dan setengah berlari ke arah mejanya. Tiba-tiba merasa terlindungi dengan adanya pak Suwardi.

Didepan dosen senior, Wadiarini Anya merasa bebas mengamati dosen muda itu. Suara, gaya dan dari beberapa sudut dari penglihatannya. Mirip Warsono Sersan Mayor, cuma agak angkuh. Selain perlu sepatu ber-hak lima senti, supaya tingginya setara si Sersan Mayor.

"You, 'kok, mengurus-urusan kantor di sini. Tolong lain kali, gunakan ruang dosen atau ruang kelas, yaa ..." kalimat itu membuat Bang Andre yang tadi sok kece, jadi salah tingkah.

"Saya sedang makan, kebetulan ada Mbak ini, di sini. Saya merasa perlu segera mendapat jawabannya. ... Dari tiga orang yang saya minta, 'lho,.... Belum ada yang, you sampaikan hasilnya, ..."

Kini, pengena kaos klub sepakbola Belanda itu, seperti daun kangkung yang dipanen dua hari yang lalu. Layu.

"Sial, sial, sial, siiiaaal, ..." teriaknya dalam hati. Wajah pucatnya tersarukan oleh pantulan nyala merah sepatunya. Hmm, atau oranye kaosnya yang menyamarkan.

Gagallah semua rencana yang sudah disiapkannya. Kalimat-kalimat yang sengaja dihafal, kutipan buku "Cara Efektif, Teknik Menyatakan Cinta" dengan subjudul, "Cara Gemilang Merayu Pujaan Hati"

***

Kalian, para pembaca, yang up to date, ... Pasti kalian pernah melihat buku itu di toko buku. Saat kalian mau beli , merasa malu. Jadinya kamu transaksi on line, 'kan ?

Gak usah malu, aku sebelum menulis buku itu, awalnya, juga amat "cupu: dan "ndeso banget-nget !"

***

Kasihan, Bang Andre, berharap punya istri cerdas, berwajah dan body "mmuuaahh" . Demi perbaikan keturunan. Ternyata kandas di kafetaria universitas.

Malah, dapat malu besar.

Pembaca "Wad !" yang penulis hormati, ... Benar atau kagak, sih, kalimat di atas ?

Teruskan bacanya, yaa.
Tqsm
(Thank you so much)

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun