Kawanan jomblo ini sejenak terdiam, mendengar ocehan itu. Menejer kafe yang mendampingi Kasir, merasa dibela. Keluar dari posisi tersudut dalam keroyokan sengit.
Mahasiswa yang terlihat konservatif bin jadul bin kuno bin ndusun itu, dengan tenang melanjutkan,
.Atau, ... Atau ada yang meliuk-liuk setengah bugil nyanyi dangdut, ... Bagaimana cara loe makan rujak kesukaan loe, ... ?"
Dalam kawanan yang berpenampilan "mambo", alias "aneka gaya" itu masih ada yang bersungut-sungut. Mereka mengerubungi meja kasir.
Maksudnya, antri. Gantian bayar yang sudah masing-masing pesan. Â Makanan dan minuman yang sudah pindah ke lambungnya.
Katanya, mahasiswa. Katanya, berpendidikan tinggi. Tapi tidak ada sopan-sopan-nya. Tepatnya, condong ke biadab.
Tapi menyebutnya dengan kalimat dalam paragraf di atas, .... Justru merendahkan diri sendiri.
Begitu wejangan untuk gadis stunting, yang tengah bertindak selaku Kasir . Menejer on duty itu, merasa harus melindungi anak buahnya yang belum lepas ketegangannya.
Akibat nada-nada iminidatif dari gerombolan mambo-jomblo. Bersyukur mereka sudah berlalu.
Kembali ke urusan panggung kecil setinggi dua puluh lima senti. Jenis musik yang dimainkan, disajikan di kafe itu, katanya, untuk membangun suasana yang lebih "akademis" dan "sersan", serius tapi santai.
"Aha, ha haa, alasan psudo ilmiah. Yaa, begitulah, agak-agak ilmiah dan sedikit keangkuhan sosial" , seru hati sang menejer kafe. Di kamar mandi, rumah petak kontrakannya selalu mendendangkan "Begadang" dan "Darah Muda" , lagunya sang raja dangdut.