Dosen muda itu terpandang dari arah duduk Wadiarini Anya. Sedang  melihat kesana kemari, ada yang dicari. Gawainya ditempelkan di telinga kirinya.
Pemuda kidal yang celingukan, datang pakai jin penuh tempelan badge, kaos jersey oranye kesebelasan Belanda. Sepatunya kets merah menyala.
"Maaf, pak Suwardi, ... itu pak  Andre..." memberi isyarat minta ijin, lalu Wadiarini Anya beranjak ke arah si dosen muda.
"Pak Andre, saya duduk di sana, ..."
"Di sana saja, biar jelas melihat yang nyanyi, ...."
"Di sana saya bersama Pak Suwardi, ..." Wadiarini Anya tidak menghiraukan perkataan sosok bersepatu merah itu.
Gadis itu langsung balik badan dan setengah berlari ke arah mejanya. Tiba-tiba merasa terlindungi dengan adanya pak Suwardi.
Didepan dosen senior, Wadiarini Anya merasa bebas mengamati dosen muda itu. Suara, gaya dan dari beberapa sudut dari penglihatannya. Mirip Warsono Sersan Mayor, cuma agak angkuh. Selain perlu sepatu ber-hak lima senti, supaya tingginya setara si Sersan Mayor.
"You, 'kok, mengurus-urusan kantor di sini. Tolong lain kali, gunakan ruang dosen atau ruang kelas, yaa ..." kalimat itu membuat Bang Andre yang tadi sok kece, jadi salah tingkah.
"Saya sedang makan, kebetulan ada Mbak ini, di sini. Saya merasa perlu segera mendapat jawabannya. ... Dari tiga orang yang saya minta, 'lho,.... Belum ada yang, you sampaikan hasilnya, ..."
Kini, pengena kaos klub sepakbola Belanda itu, seperti daun kangkung yang dipanen dua hari yang lalu. Layu.