Mohon tunggu...
Siti Swandari
Siti Swandari Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis lepas

terbuka, ingin bersahabat dengan siapapun dan dimana saja,with heartfelt wishes. gemini, universitair, suka baca, nulis , pemerhati masalah sosial dan ingin bumi ini tetap nyaman dan indah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Pahlawanku] Sejatinya Pejuang

17 Agustus 2019   12:04 Diperbarui: 17 Agustus 2019   12:17 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: poskotanews.com

Setelah melalui rembug keluarga bersama, kita putuskan, sepakat bulat bahwa sekeluarga mantap pindah ke Palembang.

Tahun 1978 suami dipromosikan, dan dipindah tugaskan ke Palembang, selama ini dinas di Surabaya.

Karena bermaksud membawa serta keluarga, saya bersama suami ingin terlebih dahulu menjajaki, melihat suasana  tempat baru disana.

Tiba-tiba saja ibu mertua berkata : "Kabarnya Bakeri masih hidup, dia kembali ke Palembang loh, coba dicari, ... kan nanti jadinya enak, karena ada kenalan lama yang baik  disana, ... " suami setuju, mengangguk dan tampak senang.

"Iya enak kalau ada Bakri disana, ... kayak dulu " suami menambahkan.

"Kerja dimana ya kira-kira pak Bakri itu bu ? " tanyaku.

Menurut mertua, saat arisan pensiunan, mendapat cerita dari anak temannya kalau ketemu pak Bakri sewaktu tugas ke Palembang.

Katanya sekarang pak Bakri jualan ikan, punya lapak dipasar.

"Iya, nanti coba saya cari tau kalau kita kesana, ..." saya berjanji pada mertua.

Kemudian suami dan mertua juga memberikan gambaran, diskripsi bahwa usia pak Bakri lebih tua dari suami, badan kecil agak pendek, sekitar 160 cm, pribadi santun ramah dan tampak sabar.

Tetapi sewaktu ke Palembang , saya tidak bisa menemukan jejak pak Bakri.

Padahal saya sempat ke pasar Cinde - pasar besar dipusat kota, dan berkeliling di lapak ikan, serta memperhatikan dan tanya sana-sini pada para pedagang disitu.

Mereka menggeleng, tidak kenal dan tidak tau dengan pak Bakri yang pedagang ikan, dan pernah lama di Surabaya

Nama Bakri sebetulnya akrab dikeluarga suami.

Pak Bakri ini konon, dijaman sebelum Revolusi pecah, sudah lama ada di Surabaya.

Sebagai perantau dari Palembang, dia ditampung oleh keluarga suami.

Umurnya lebih tua dan dia berhasil menjadi abang yang baik bagi suami.

Setiap hari menemani dan mengantarkan suami kesekolah, menjemputnya dan juga mengajarinya berbagai hal dan aneka mainan : layang-layang, kelereng, gasing, egrang, engklek,  mercon, petak umpet dll.

Suami cerita, paling senang dan seru, ingat waktu diajari berenang dan mancing ikan dilaut, karena rumah suami memang tidak jauh dari laut.

Pak Bakri juga piawai jika belanja ke pasar serta ikut serta membantu mengolah makanan didapur bagi keluarga suami.

Pokoknya serba bisa dengan sifatnya yang baik, santun, jujur, sabar serta bersahabat.

Betul-betul bisa menjadi sobat yang dipercaya bagi suami dan keluarganya, kemanapun akan melangkah.

Waktu itu keadaan Surabaya mulai memanas, bara sudah dipercikkan, meskipun jauh disana, tetapi imbasnya sampai  disini.

Amerika dengan sekutunya meradang pada Jepang dengan peristiwa Pear Harbour yang mengerikan, amat melecehkan, serta tragis juga.

Pasukan Sekutu terus memburu dengan geram pasukan Jepang dimanapun berada, termasuk yang bersembunyi di Indonesia.

Dan Indonesia yang baru saja memproklamirkan kemerdekaannya pada tgl.17 Agustus 1945 - masih amat belia.

Carut marut, compang camping, serta serba terbatas dalam segala, akibat dijajah Belanda  begitu lama, kemudian malah juga dijajah Jepang 3,5 tahun yang menyedihkan.

Keadaan waktu itu semua masih serba darurat, seadanya, istilahnya kita cuma punya modal nyawa dan dengkul, serta tekad/bondo nekad saja.

Tetapi kita  terpaksa harus menghadapi serangan tentara Sekutu yang terkenal dengan persenjataan yang canggih super dahsyat waktu itu.

Kemudian kita  juga harus menghadapi kegarangan pasukan Inggris, jagoan Perang Dunia ke-II, karena insiden peristiwa tertembaknya Jendral Mallaby di Surabaya.

Armada Inggris berang dan menyebarkan ultimatum pada tanggal 9 Nopember 1945.

Bahwa Indonesia dan rakyat Surabaya  harus menyerah dan bertekuk lutut tanpa syarat pada Inggris.

Rakyat Surabaya hentak, dan menolak keras, menggelegak- bergolak, terlebih setelah diketahui, bahwa ternyata ada tentara Belanda yang ikut membonceng dibelakang gelora gejolaknya tentara Sekutu waktu itu.

Dan dengan hanya bersenjatakan seadanya, bambu runjing, parang, golok, keris, katapel, pentungan, rakyat Surabaya dengan semangat tinggi serta gagah berani, tetap pantang menyerah.

Tetap tegar dengan tekad baja menghadapi dan menghadang musuh yang berusaha menghempaskan lagi harga diri bangsa Indonesia.

Pertarungan yang samasekali tidak seimbang ini, juga samasekali tidak membuat gentar serta ciut nyali pada rakyat Surabaya.

Memaklumi bahwa Inggris dan Sekutu  memang jagonya dalam Perang Dunia kedua waktu itu, tetapi rakyat Surabaya tetap membusungkan dada dengan hanya satu tekad bulat : " Rawe rawe rantas, malang -malang putung, ... ayo maju -  Amerika kita setrika, Inggris kita linggis, ...  maju terus  !!!"

Dan dijawab dengan 20 pesawat tempur dari Batavia penuh dengan bom, juga kapal kapal perang dengan meriam raksasanya, yang lego jangkar dipesisir pantai  Surabaya.

Sedang didarat tank-tank menggeradak menyeruak membahana siap mengepung menerjang dan melumat Surabaya.

Rumah mertua dekat dengan pantai, daerah yang amat rawan, merupakan perlintasan jalan saling silang,  karena kapal- kapal perang armada Sekutu yang selalu merapat  dan siap memutahkan peluru2-nya, dari situ.

Surabaya membara, dibumi hanguskan dengan dahsyat, dari laut udara dan darat.

Korban berjatuhan, bergelimpangan, mengerikan, harta benda berhamburan - semua tumpang tindih, bertumpuk, tercecer disetiap jalan dan sudut kota.

 Rakyat semburat, pontang panting mengungsi berbondong- bondong,  menyingkir keluar kota, semua menghindar dari Surabaya yang tengah berkobar.

Tetapi ternyata ada sebagian pengungsi yang masih tetap bertahan dibatas kota Surabaya.

Rasanya tetap tidak rela menyerah, selalu tepuk dada,  dengan semboyan heroik fanatik " Merdeka atau Mati !!! "

Dan diantara puing yang berserakan  dikota, ternyata masih banyak pasukan Arek Suroboyo yang berkeliaran.

Pasukan yang terdiri anak anak muda pantang menyerah, meskipun miskin persenjataan dan pasti minim pengalaman. Mereka melakukan perlawanan - hit and run -- menyerang diam-diam dimalam buta, terus melarikan diri secepatnya, kemudian menyusup kembali diantara puing Surabaya yang sudah mereka hapal dan kenal sejak kecil.

Dan ternyata dengan trik dan tak-tik ini,  pasukan Sekutu keder juga. Mereka lebih memilih masuk markas jika hari sudah mulai malam - khawatir dan ngeri jika sampai dibegal oleh Arek Suroboyo, diantara reruntuhan jalan tikus yang banyak malang melintang, di wilayah Surabaya.

Mereka, pasukan Arek Surabaya itu tetap bisa bertahan, karena ada sokongan amunisi serta perbekalan dan doa dari ibu-ibu pengungsi yang bermarkas dipinggir perbatasan kota Surabaya - kebanyakan mereka punya anak yang jadi Arek Suroboyo.

Mereka, para pengungsi itu mendirikan dapur umum dan tempat perawatan darurat untuk pasukan pejuang yang sakit dan terluka.

Ibu-ibu ini di komando oleh Ibu Dar Mortir, pejuang wanita Surabaya yang terkenal.

Banyak sekali ibu penggiat di Dapur Umum ini, termasuk rakyat setempat juga dengan sukarela, gotong royong seiya sekata serta sehati datang membantu.

 Dengan tenaganya atau menyumbang, mengirim aneka keperluan dan perbekalan yang ada untuk menunjang dapur umum ini.

Ibu mertua juga ada disana, sedangkan kakak suami berjuang bergerak di  Palang Merah wanita.

Suami ada didalam kota, bergabung dengan pasukan Arek Surabaya-nya.

Dan salah satu  kurir yang biasa bertugas menyelundup, masuk kota, jadi penghubung dengan mengirim perbekalan dan keperluan perjuangan Arek Suroboyo adalah Bakri.

Bersama beberapa temannya  hanya berbekal sepeda pancal butut reyot, tetapi dengan semangat tinggi dan berani mati mereka  menerobos masuk ke Surabaya yang selalu dijaga ketat oleh pasukan Sekutu.

Beberapa kali nyawa mereka diujung tanduk, bertaruh dari peluru musuh nyasar, menggila yang sewaktu-waktu bisa merenggut dan mencabut jiwa mereka.

Tetapi akhirnya pasukan Sekutu mengetahui adanya dapur umum dipinggir kota, yang meresahkan ini.

Tempat itupun di awasi,  digerebek dan akhirnya diserang, diobrak-abrik sehingga ibu- ibu ketakutan melarikan diri, kalang kabut.

 Mereka kabur dengan susah payah, berjalan kaki ke daerah Mojokerto,  yang dikuasai oleh pasukan Republik Indonesia.

Tidak ada kendaraan, karena rel kereta api juga sudah dibom oleh pesawat Sekutu.

Saking mencekam dan tragisnya perjalanan itu.

Sampai sekarang peristiwa ini selalu diperingati dengan event jalan kaki Surabaya-Mojokerto yang spektakuler.

Sekutu makin meradang, karena ternyata rakyat Surabaya super bandel, tidak pernah mau menyerah.

Surabaya dan sekitarnya kembali digedor, dibumi hanguskan dan diratakan dengan tanah tanpa ampun.

Keluarga suami berpisah - cerai berai - suami tetap bertahan dibelantara puing Surabaya, ibu dan kakak mengungsi dengan jalan kaki ke Mojokerto dan pak Bakri konon lari kearah Sidoarjo.

Sesudah keadaan aman, mertua, kakak dan suami bisa bertemu kembali, tetapi pak Bakri seolah hilang tertelan bumi.

Keluarga sudah menanyakan kemana-mana, tiada yang tau.

Mereka hanya menemukan beberapa sepeda para kurir yang berserakan dipinggir sungai, sudah hancur berkeping terkena tembakan peluru musuh.

************

Sudah beberapa bulan kita sekeluarga jadi pindah ke Palembang.

Suami mendapat rumah dinas yang jauh dari kota, didaerah Pak Jo yang lengang dan sepi.

Ditahun 1978 hape, internet belum ada, telpon juga belum masuk didaerah itu.

Meskipun fasilitas rumah komplit, tapi kita seperti  terpencil, terasing, jauh dari peradaban yang ramai dikota.

Begitulah - apa boleh buat, kita jalani semua dengan semangat tinggi.

Sore itu, karena butuh beberapa keperluan harian yang habis dan saya pengin beli buku bacaan, ... saya, suami dan anak kekota.

Setelah belanja di supermarket, kemudian kita mencari toko buku.

Kita memasuki sebuah toko buku yang lumayan ramai.

Pak tukang parkir mencarikan tempat dan memberikan aba-aba untuk parkir.

Tetapi suami malah selalu dan lebih memperhatikan si tukang parkir itu, ...

" Opo pa, kenek opo ? (Ada apa pa, kenapa ?) " tanyaku sambil juga memperhatikan tukang parkir itu.

" Kok koyok ... Bakri yo ?" agak ragu dia menjawab, tetapi tetap memperhatikan tukang parkir itu.

Sesudah parkir beres, suami segera turun, menyapa dan saya lihat tukang parkir itu merasa kaget, bingung dan risih, malah seperti salah tingkah - ewuh pakewuh (bhs.Jawa) kala suami memeluknya.

Saya dan anak juga segera turun dan dikenalkan pada tukang parkir itu, ternyata beliau memang pak Bakri, yang merupakan abang, sahabat dan teman seperjuangan suami waktu di "inferno Soerabaya " tempo doeloe.

Setelah saya dan anak selesai untuk keperluan kita ditoko buku itu, suami masih tampak asyik cangkrukan santai dengan pak Bakri dipos penjagaan parkir.

Ganti saya yang nyetir pulang hanya bersama anak, karena suami masih asyik ber nostagia dengan pak Bakri.

Mertua juga surprise mendengar kabar bahwa dengan tak disangka, kita telah menemukan pak Bakri kembali.

Agak malam, mungkin setelah tutup toko, suami dan pak Bakri datang, perjumpaan yang mengharukan, menyentuh, setelah 25 tahun berpisah.

Sejak itu persahabatan lama kembali terjalin, bahkan beberapa kali mereka nostalgia masa lalu, sempat mancing di tepian sungai Musi, dengan ikan belidanya yang super gurih.

Ternyata pak Bakri memang pribadi yang baik, sifatnya tidak berubah, tetap ramah seperti dahulu, santun, sopan, bersahabat, sabar dan sederhana.

Kita juga berkenalan dengan keluarganya, seorang isteri dengan anaknya - mereka berdiam disebuah rumah panggung kecil yang sederhana.

Pekerjaan harian bersama isteri dan anaknya mengelola sebuah warung lapak aneka keperluan sehari- hari dipasar 16 ilir, tidak jauh dari rumahnya.

Pak Bakri kemudian berceritera, bahwa sebetulnya kemarin itu  dia hanya menggantikan tugas kemenakannya yang sakit, menjadi tukang parkir ditoko buku,  dan tanpa disangka kita ditemukan kembali setelah berpisah begitu lama.

Ternyata juga, yang punya lapak, dan berjualan ikan dipasar 16 ilir yang selalu ada diingatan, itu adalah adiknya, jadi kadang saja dia membantu disana.

Kemudian ketika diberitahu bahwa para pejuang veteran berhak mendapat santunan dari pemerintah, pak Bakri menggeleng, dia menolak.

Sepertinya peristiwa besar di Surabaya, perjuangan antara hidup dan mati, memang merupakan dharma baktinya pada negara, dengan tidak mengharapkan balasan.

Pak Bakri hanya mengharapkan , agar generasi sekarang tidak men- sia-siakan perjuangan para pahlawan yang telah gugur dalam membela perjuangan waktu itu.

Benar-benar seorang pejuang sejati tanpa pamrih, meskipun hanya seorang pejuang kecil tetapi mempunyai hati nurani dan jiwa yang besar dan mulia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun