Tetapi ternyata ada sebagian pengungsi yang masih tetap bertahan dibatas kota Surabaya.
Rasanya tetap tidak rela menyerah, selalu tepuk dada, Â dengan semboyan heroik fanatik " Merdeka atau Mati !!! "
Dan diantara puing yang berserakan  dikota, ternyata masih banyak pasukan Arek Suroboyo yang berkeliaran.
Pasukan yang terdiri anak anak muda pantang menyerah, meskipun miskin persenjataan dan pasti minim pengalaman. Mereka melakukan perlawanan - hit and run -- menyerang diam-diam dimalam buta, terus melarikan diri secepatnya, kemudian menyusup kembali diantara puing Surabaya yang sudah mereka hapal dan kenal sejak kecil.
Dan ternyata dengan trik dan tak-tik ini, Â pasukan Sekutu keder juga. Mereka lebih memilih masuk markas jika hari sudah mulai malam - khawatir dan ngeri jika sampai dibegal oleh Arek Suroboyo, diantara reruntuhan jalan tikus yang banyak malang melintang, di wilayah Surabaya.
Mereka, pasukan Arek Surabaya itu tetap bisa bertahan, karena ada sokongan amunisi serta perbekalan dan doa dari ibu-ibu pengungsi yang bermarkas dipinggir perbatasan kota Surabaya - kebanyakan mereka punya anak yang jadi Arek Suroboyo.
Mereka, para pengungsi itu mendirikan dapur umum dan tempat perawatan darurat untuk pasukan pejuang yang sakit dan terluka.
Ibu-ibu ini di komando oleh Ibu Dar Mortir, pejuang wanita Surabaya yang terkenal.
Banyak sekali ibu penggiat di Dapur Umum ini, termasuk rakyat setempat juga dengan sukarela, gotong royong seiya sekata serta sehati datang membantu.
 Dengan tenaganya atau menyumbang, mengirim aneka keperluan dan perbekalan yang ada untuk menunjang dapur umum ini.
Ibu mertua juga ada disana, sedangkan kakak suami berjuang bergerak di  Palang Merah wanita.