Walaupun pemerintah bilang kontraktor yang dipilih harus profesional dan gak punya konflik kepentingan, kenyataannya, ngehindarin konflik kepentingan di industri tambang itu susah banget. Kontraktor yang udah punya koneksi kuat sama pengusaha besar bisa aja punya agenda terselubung yang gak sejalan sama kepentingan masyarakat atau lingkungan.
Implikasi: Kontraktor yang punya hubungan dengan elite politik atau pengusaha besar bisa ngambil keuntungan lebih dari proyek tambang ini, sementara ormas yang sebenarnya cuma dijadiin "tameng" atau dipinjam "benderanya" aja.
2. Transparansi dan Akuntabilitas:
Kalau gak dilakuin dengan transparan, proses pemilihan kontraktor bisa memicu tuduhan nepotisme atau kolusi. Proses seleksi yang gak jelas bisa bikin publik gak percaya sama niat baik pemerintah.
Implikasi: Ini bisa memperburuk citra pemerintah dan meningkatkan ketidakpercayaan publik, terutama kalau ada isu lingkungan atau sosial yang muncul dari proyek tambang ini.
3. Pengawasan dan Penegakan Hukum Sudah Lemah:
Seperti yang dibilang Ferdy Hasiman, pengamat energi dari Alpha Research Database Indonesia, pengawasan dari Kementerian ESDM udah lemah, dan melibatkan ormas plus kontraktor bisa bikin pengawasan jadi makin sulit. Kontraktor bisa aja ngecut corners buat ngehemat biaya, yang akhirnya ngegrogotin standar lingkungan dan keselamatan kerja.
Implikasi: Kalau gak ada pengawasan yang ketat, dampak negatif ke lingkungan dan masyarakat sekitar bisa makin parah, mulai dari polusi, kerusakan ekosistem, hingga konflik sosial.
4. Potensi Ormas Dieksploitasi:
Ormas yang mungkin gak punya pengalaman di sektor tambang bisa aja dieksploitasi oleh kontraktor. Mereka bisa dapet porsi keuntungan yang jauh lebih kecil dibanding kontraktor, sementara tanggung jawab sosial dan lingkungan tetap ada di pundak mereka.
Implikasi: Ini bisa merugikan ormas yang seharusnya jadi penerima manfaat utama dari izin usaha pertambangan ini.