"Diam! Jangan ada yang bergerak. Kalian semua ikut kami. Tidak boleh ada yang melawan", kata seorang pemerintah kolonial Belanda.
"Ada apa ini? Kami salah apa?", kata Sutan Syahrir sebagai salah satu anggota PPNI sambil berjalan dan tangannya diikat lalu digiring ke luar ruangan.
"Lebih baik Anda diam atau saya tembak di tempat"
Mereka semua merasakan suasana yang tidak mengenakan. Â Semua terdiam, nyaris tidak ada suara bicara yang terdengar. Hanya suara dari langkah kaki kolonial Belanda yang memakai sepatu bot. Langkah mereka di bumi pertiwi tercinta ini dengan dentuman keras, sangat tidak layak menahan para pejuang kemerdekaan Indonesia.Â
Akhirnya sampai ditempat tujuan, Hatta dan kawan-kawannya langsung ditahan di tahanan Glodok. Karena Hatta bosan dan ingin segera bebas, diapun mengambil beberapa kertas dan mulai menulis sebuah buku berjudul "Krisis Ekonomi dan Kapitalisme". Â Dia memanfaatkan waktu dengan hal positif, saat dia menulis buku ini dia juga teringat dengan keluarganya yang jauh disana.
Januari 1935, Hatta bersama kawan-kawannya tiba di Tanah Merah, Boven Digoel, Papua. Mereka sampai di sebuah bangunan tua antik yang dikelilingi oleh tanaman rambat yang hijau, di pinggir gerbang ada sebuah patung seni tinggi dimana itu adalah patung kebanggaan Kapten van Langen dan ada sebuah air mancur yang suka dihinggapi burung liar. Hatta dan kawan-kawan masuk ke dalam langsung bertemu dengan kepala pemerintahnya yaitu Kapten van Langen yang memiliki wajah menakutkan dan sikap tegas, tiada sepersen pun kemurahan yang dimiliki hatinya.
"Saya menawarkan dua pilihan kepada kalian wahai orang pribumi, pertama bekerja untuk pemerintahan kolonial dengan upah 40 sen sehari dengan harapan nanti akan dikirim pulang ke daerah asal, atau pilihan kedua menjadi buangan dengan menerima bahan makanan in natura, dengan tiada harapan akan dipulangkan ke daerah asal.Â
Pilih satu dan jawab segera, tidak banyak basa-basi. Jika memilih pilihan kedua, sudah kami siapkan mobil keberangkatan untuk pembuangan kalian", kata Kapten van Langen memutar kursinya sambil mengisap rokoknya dan menyilangkan kakinya.
"Bila saya mau bekerja untuk pemerintah kolonial Belanda waktu saya masih di Jakarta, pasti sekarang saya sudah menjadi orang besar dengan gaji besar pula. Maka tak perlu saya datang ke Tanah Merah untuk menjadi kuli dengan gaji 40 sen sehari", kata Mohammad Hatta.
Mereka semua langsung dibuang ke Digoel. Saat masa pembuangannya, mereka senantiasa belajar mengenai ilmu pengetahuan yang di dapat oleh Hatta ketika sekolah. Hatta dengan sabar mengajar memberikan pelajaran kepada kawan-kawannya baik mengenai ilmu ekonomi, sejarah, politik, maupun filsafat. Saat itu datanglah 16 buah peti berisi buku-buku kepunyaan Hatta. Hatta ini sebenarnya adalah kutu buku, dan seorang penulis karya. Disana Moh. Hatta menulis sepucuk surat dari balik sel tahanannya yang isinya "Selama saya memiliki buku, saya dapat tinggal dimana saja. Tak seorang pun menyukai penjara, tapi meskipun jahat penjara juga bisa menguntungkan keyakinan kita dan membuat kita lebih pasti".
Di tahanan Digoel, Hatta sangat peduli pada tahanan lain. Dia menolak melakukan pekerjaan sama dengan penguasa setempat, misalnya saja memberantas malaria. Apabila dia mau melakukan pekerjaan sama dia akan di gaji f 7.50 sebulan. Namun, jika tidak akan hanya diberi gaji f 2.50 saja. Gajinya ini tidak dia habiskan sendiri, mlelainkan dia juga peduli terhadap tahanan lain. Di sana juga dia bercocok tanam dengan tahanan lain. Pada masa itu juga, Hatta menulis sebuah surat untuk iparnya, di surat tersebut dia meminta agar dikirimi barang-barang kerja seperti paku, palu, dan gergaji. Dia juga menceritakan nasib orang-orang di tahanan Digoel. Sampailah surat itu pada iparnya. Lalu, ipar Hatta mengirimi surat itu ke koran Pemandangan di Jakarta dan surat itu dimuat. Setelah selesai, surat itu pun di baca oleh menteri jajahan bernama Colijn. Colijn pun mengecam keras pemerintahan dan segera mengiri residen Ambon sebagai menemui Hatta di Digoel.