Mohon tunggu...
silvia amanda
silvia amanda Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - SILVIA AMANDA XII MIPA 5

hi

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Rekam Kehidupan

25 Februari 2022   13:21 Diperbarui: 25 Februari 2022   13:28 519
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

BAB 1 

Aku Aruni

Malam terang, langit bersih tak tersaput awan. Bintang yang mengukir angkasa, membentuk ribuan formasinya. Suara bising dari kendaraan memenuhi jalanan pada malam ini. Sementara di perempatan lampu merah, pengguna jalan akan disuguhi pemandangan para sekelompok anak-anak yang tengah bernyanyi.

Malam ini mungkin menjadi kemenangan. Semua anak-anak tersenyum sumringah dengan segundukan uang recehan yang memenuhi kantongnya. Walaupun jelas terlihat keringat mereka yang mulai bercucuran, tapi lagi-lagi mereka tak kenal lelah.

Setelah papan lampu merah berganti warna menjadi hijau, mereka berbondong-bondong kembali ke sisi jalan. Rehat sejenak dan mulai menghitung uang yang mereka kumal-kumal. Menyisihkan sebagian beberapa recehan dan sebagian lagi mereka akan berikan pada seorang laki-laki paruh baya yang sedari tadi memantau mereka dari kejauhan.

Adzan Isya menggemakan seluruh kota. Pertanda mereka harus berhenti dan kembali pulang. Melewati jalanan sempit dengan cahaya yang remang-remang. Aroma nasi goreng menyerbak di persimpangan jalan itu, sepertinya penjual nasi goreng keliling nampak sedang kewalahan mengahadapi beberapa pembeli yang sedari tadi tak henti mengomel karena menunggu terlalu lama. Memang tak punya hati, seharusnya di maklumi bukan? umur penjual nasi goreng itu sudah lanjut, lihatlah tangannya saja sudah mulai keriput dengan rambut putih dan nafas yang terengah-engah.

Sadar hanya uang recehan yang mereka pegang, mereka urungkan niat untuk membeli nasi goreng itu. Kemudian kembali berjalan menuju panti.

Kisah ini membicarakan panti asuhan, tempat anak-anak tidak beruntung ditampung. Bukan panti asuhan resmi tentunya. Panti ini berdiri seadanya, tapi siapa sangka banyak kedua pasangan yang meninggalkan anak-anaknya yang tak berdosa disini.

Panti ini cukup besar, walaupun tak sebagus dan memiliki fasilitas yang layak seperti panti pada umumnya. Cukup asri dengan banyak tanaman dan lampu yang memancar terang pada halaman. Di bagian dalam, panti itu lebih "bercahaya" lagi. Anak-anak sibuk mengantri untuk makan malam, setelah dirasa lelah dengan pekerjaan mereka.

Sayang seribu sayang, ketika para anak diruang tengah panti sedang lahap-lahapnya makan. Lihatlah kesedihan yang memancar di mata gadis kecil berumur enam tahun itu. Gadis kecil malang yang apa mau dikata akan memegang semua penjelasan kisah ini. Namanya Aruni. Dia sedang memegang boneka kesayangannya. Duduk diayunan tua yang terbuat dari ban raksasa mobil. Berayun-ayun maju-mundur. Terhenti. Berdenyit. Ayunan yang sungguh amat berisik, mengingat sudah lama engselnya lupa diminyaki.

Aruni mendesah pada langit-langit malam. Rupa-rupanya gadis kecil ini sedang sedih merindukan Ayah-Bundanya. Itulah yang Aruni paham. Tapi bagaimanakah dia akan bertemu dengan Ayah-Bunda jika gadis kecil berkepang dua ini sejak lahir tidak pernah mengenalnya. Tidak ada foto untuk menyimpan kenangan wajah. Jangankan wajah, suara pun Aruni tidak akan pernah bisa mendengarnya.

Gadis kecil ini sungguh berbeda dengan rekan-rekannya. Aruni terbilang anak yang cerdas, teramat malah. Di tengah ketidakmengertian ini, lihatlah Aruni justru sibuk bertanya. Bertanya tentang banyak hal.

"Kak lala, aku boleh nanya nggak?" Tanya Aruni dengan semangat.

"Kira-kira ayah bundaku kemana ya? Kok mereka nggak mau menemuiku. Padahal aku disini jadi anak baik lho. Aku selalu nurut kalo ka lala kasih aku perintah. Terus - terus aku kan anak pintar, rajin dan cantik"

Aruni yang bertanya dengan berapi api, berharap mendapatkan jawaban yang dia inginkan selama ini. Namun Jelas saja tidak ada jawaban dari Kak Lala, pengurus panti yang justru sedang sibuk membereskan sisa makan malam hari ini.

"Bisa ya tanyanya nanti? Sudah malam, kak lala lagi beres-beres. Jangan ganggu!" Bentak lala.

Yakin saja lala mungkin sedang kelelahan, tidak sengaja membentak Aruni. Menyuruh Aruni menyingkir. Gadis kecil ini kemudian pergi dengan hati yang terluka. Kembali ke kamarnya, disaat teman-teman yang lain belajar bersama-sama diruang tengah.

Aruni ingin sendiri. Aruni ingin bertanya langsung kepadaNya. Tanpa perantara. Aruna mulai mendongakkan kepalanya ke atas. Bertanya-tanya tanpa suara. Aruni menangis. Hatinya sedih, memeluk boneka kesayangannya lebih erat.

Setelah sekian lama meminta jawaban, Aruni perlahan menunduk. Pegal, kepalanya lama mendongak. Kalau anak-anak lain punya Ayah, kenapa ia tidak? Kalau anak-anak lain punya Bunda, kenapa ia tidak? Ia tidak pernah berharap banyak, ia hanya ingin malam ini ditemani oleh Ayah-Bunda. Bercerita bersama. Setelah itu mereka pergi ke pasar malam untuk sekedar membeli permen kapas kesukaaan Aruni. Mengapa tidak ada yang bisa memberikan penjelasan yang amat sederhana ini? Sama hal nya dengan satu orang yang Aruni percaya, dia tak kunjung memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan Aruni.

BAB 2 

Aku Ananta

"Kau kemanakan uang-uang itu?!" Ujar seorang penjaga panti kolot yang mukanya sudah merah padam sedari tadi.

"Sudah aku bilang berkali-kali bukan aku" Ananta, remaja umur belasan tahun itu menyeringai. Merasa tidak berdosa.

"Anak kecil, sudah berani mencuri!" Lantas penjaga panti itu melotot. Diambilnya sebuah rotan diatas meja.

"Mengaku atau kau mau aku pukul?!" mengangkat rotan sampai teracung, mengancam kepada Ananta.

Ananta terdiam, mengakupun sudah percuma. Sama-sama akan dipukul pada akhirnya. Pecut rotan itu semakin mendekat, Ananta hanya bisa pasrah. Meski dalam hatinya sudah beribu-ribu sumpah serapah dilontarkan.

"Dimana kau sembunyikan uang-uang itu? Dasar anak pungut tak tahu malu!" Tanya penjaga kembali. Dia terlihat sudah sangat jengkel dan melontarkan kata-kata yang tidak sepantasnya dia sebut kepada sang remaja itu.

"Perilaku kau sama jahatnya dengan orang tuamu yang membuang kau kesini" Ketusnya.

Merasa tak terima, ingin sekali Ananta membalas perkataanya. Lihatlah sebenarnya siapa yang jahat disini? Penjaga panti yang "sok suci" ini. Mengambil hak-hak para anak yatim, uang donasi yang diberikan setiap bulannya untuk kebutuhan panti dia korupsi untuk kepentingan pribadinya. Sudah jelas, penjaga panti ini yang tak memiliki hati.

Ditariknya Ananta keluar panti, padahal diluar hujan sedang mengguyur malam ini. Kejam memang, tapi ini selalu menjadi alasan bagi para penjaga panti untuk menghukum. Terlebih lagi Ananta adalah salah satu anak yang paling bandel di panti.

"KELUAR!" Mata merah penjaga tersorot, terengah-engah menahan emosi.

Ananta menyeringai benci. Anak-anak lain yang sejak tadi berebut mengintip pada lubang jendela berhamburan kabur ketika penjaga panti masih dengan kemarahan memberi tatapan galak pada mereka. Setengah cemas, setengah takut kembali ke kamar masing-masing seolah-olah tidak terjadi apapun.

Ananta duduk di depan bangunan panti, berdecak sebal. Menatap pada langit-langit yang bertaburan hujan. Dingin malam mulai menusuk tubuhnya, memikirkan kenapa hidupnya sungguh seperti ini. Sangat malang.

Januar, teman sekamar Ananta yang menunggunya dari satu jam yang lalu. Sadar teman nya tak kunjung datang dia menyelinap keluar panti dengan membawa satu bungkus roti.

"Nan, nan. Kamu berulah apalagi sih?" Januar menepuk pundak Ananta. Disodorkannya satu bungkus roti tadi kehadapan Ananta.

"Bukan urusan kamu, aku cuma bosan" Ucap Ananta santai.

Roti pemberian Januar dia makan dengan lahap, tidak ada ucapan terima kasih. Yang Ananta tahu Januar adalah teman terbaiknya. Walaupun Januar selalu menjadi korban dari ulah yang Ananta lakukan, tapi Januar selalu sabar dan tetap menjadi teman yang baik baginya.

"Bosan kok ngelakuin kejahatan" sindir Januar, sedikit tertawa. Tangannya usil menggoda Ananta.

"Sudah ah, aku mau kembali ke kamar. Takut ketauan" Pamit Januar. Januar tidak bisa berlama-lama dengan Ananta diluar, bisa-bisa para penjaga panti murka melihatnya membantu Ananta.

Januar sudah banyak berkorban untuk Ananta. Seperti bulan lalu, Ananta merusak tasbih milik penjaga karena dia kesal tidak mendapatkan baju donasi yang biasanya para anak akan dapatkan setiap bulannya, entah baju baru atau bekas. Januar kemudian mengaku bahwa dialah yang telah merusak tasbih tersebut dan dihukum tidak mendapatkan makan malam.

Ananta sering kabur ketika semua teman-temannya bekerja ataupun belajar. Entah kemana saja, mencuri makanan di pasar atau sekedar menjahili bahkan memalak anak sekolah dasar.

Uang-uang yang dia curi dari panti? dia gunakan untuk sekedar bermain-main dipasar, duduk diterminal, pergi ke warnet untuk bermain game berjam-jam.

Malam semakin larut. Hujan semakin deras. Ananta menggigil dibawah teras yang atapnya agak bocor. Air hujan membasahi sebagian tubuhnya, sebagian lagi kering. Dia kedinginan. Suara gemeretak air membuat senyap perasaan.

Ananta mulai menyumpahi penjaga panti yang "sok suci" itu. Dipikirnya mana pernah uang-uang itu dia beri pada anak-anak sekedar untuk mereka bisa jajan. Sumbangan dermawan setiap bulan yang lainnya, hilang entah kemana. Dimakan oleh dirinya sendiri. Penjaga panti itu yang memiliki mimpi untuk naik haji, tak peduli uang itu dia dapat dari manapun. Ananta berdesis sebal, setengah terkantuk. Sudah sejak lama dia enggan tinggal di panti ini. Buat apa? Yang ada dia hanya dipukuli, dimarahi dan setiap harinya disuruh bekerja dari pagi hingga malam. Lihat saja, dia dan lima belas teman nya terpaksa bekerja. Ada yang jadi penjual asongan di terminal, pengamen, penjual koran atau hanya sekedar menjadi penjaga toilet umum di terminal. Lantas buat apa mereka bekerja jika banyak orang yang memberi sumbangan? Belum lagi makan yang dijatah dan omongan para penjaga panti yang sungguh kejam setiap harinya. Tidak ada gunanya tinggal disini, Dia bisa hidup sendiri di jalanan. Kehidupan bebas. Sebebas yang dibayangkannya. Ananta menyeringai senang memikirkan ide itu. Menguap lebar. Lalu dia berpikir kembali, oh ya tapi bagaimana dengan Aruni?

Salah satu alasan mengapa Ananta masih tetap tinggal disini adalah untuk tetap tinggal bersama dengan Aruni. Ananta jelas sangat menyayanginya. Walaupun tidak ada ikatan darah daging diantara keduanya, Ananta berusaha sebagaimana menjadi seorang kakak yang baik bagi Aruni.

Maka dia urungkan ide buruk untuk hidup di jalanan itu jauh-jauh. Kemudian pelan-pelan dia jatuh tertidur.

BAB 3 

Kepingan Harapan

Pagi yang cerah ketika matahari memancarkan sinarnya dari timur dunia. Membangunkan Ananta yang tidur dengan posisi duduk bergelung. Bajunya lembab, sisa terkena kebocoran atap di teras semalaman. Matanya merah karena berkali-kali terbangun karena suara petir.

Disaat semua anak-anak pergi bekerja. Terlihat mereka sudah menghilang bersama para penjaga dikelokan jalan. Kesempatan bagi Ananta untuk masuk kedalam kamarnya. Harap-harap menemukan makanan yang disimpan oleh Januar.

Benar saja, Januar lagi-lagi seperti lazimnya berbaik hati menyisakan setengah porsi sarapannya untuk Ananta. Hanya beberapa potong lontong dan setengah telur di piring itu dengan kuah yang sudah tak tersisa lagi. Dengan lahap, dia habiskan makanan itu sampai piring itu menjadi bersih.

Ananta berjalan menyusuri lorong panti. Sangat sepi, selain anak-anak sedang bekerja, para penjaga itu pasti sedang berbelanja ke pasar atau sekedar mencari hiburan? Ah entahlah, lagipula Ananta tidak peduli.

Tujuan pertamanya adalah kamar Aruni. Karena hanya Aruni yang tidak ikut bekerja, jelas saja dilarang olehnya. Anak sekecil ini disuruh mengamen di perempatan lampu merah? Sungguh tega jika Ananta membiarkannya seperti itu. Ananta mengajarkan Aruni untuk selalu bersembunyi, cukup berdiam diri dikamar saja dibawah kolong kasur yang tidak terlalu sempit bagi tubuh mungil Aruni.

"Hai Aruni cantik, kakak ganteng datang nih" Senyuman merekah pada wajah Ananta.

"Hari ini, kamu mau hadiah apa? maaf ya kemarin aku nggak dateng nih lagi ada urusan" Ucap Ananta menyesal.

Tak disangka bukan Ananta yang biasa dikenal berkedok nakal, jahat, arogan ini bisa baik hati dan manis sekali pada seorang gadis kecil itu.

"Kakak! Kemarin kemana aja sih?!" Aruni terlihat kesal, wajahnya berubah cemberut.

"Kemarin sih kakak cari tinkerbell di kebun bunga."

Ananta selalu berusaha menutupi apa yang dia lakukan sebenarnya, dia tak ingin Aruni sedih melihat perilaku dia yang sebenarnya. Di mata Aruni, Ananta adalah orang yang sangat baik.

Beberapa kali Aruni bertanya, mengapa Ananta selalu dimarahi para penjaga panti. Ananta selalu menjawab dia sedang acting saja bersama para penjaga. Dengan alih-alih dia akan membuat pentas drama saat ada acara ulang tahun atau sejenisnya di panti. Anak enam tahun itu, percaya saja apa yang dikatakan Ananta. Karena Aruni adalah salah satu anak yang sangat penurut.

"terus tinkerbell nya ketemu nggak?" Tertarik dengan apa yang dikatakan Ananta, Aruni mulai lupa terhadap kekesalannya kepada Ananta.

"ketemu sih, tapi katanya belum siap lihat Aruni" Ananta mengerutkan wajahnya, menopang tangannya di dagu.

"lho kok begitu?" Tanya Aruni penasaran.

"Habisnya Aruni terlalu cantik katanya" Ucap Ananta menggoda.

Senyum Aruni mulai merekah, memang hanya Ananta yang dapat membuat Aruni banyak tersenyum. Begitulah kira-kira Ananta menyayangi Aruni. Bagai api dan asap, mereka tidak akan terpisahkan. Ananta selalu berjanji pada Aruni, bahkan dirinya sendiri. Akan selalu bersama dan menjaga Aruni.

Ananta merendahkan tubuhnya, menumpukan beban dikedua lutut. Memegang pundak Aruni yang terbilang kecil.

"Kakak mau kerja dulu ya, nanti kalo ketemu tinkerbell. Kakak bawa kesini, oke." Ananta lagi-lagi bohong. Sudah jelas tinkerbell hanya animasi kartun. Jelas tidak nyata. Tapi mengelabui anak kecil cukup mudah bukan?

"Oke kak!" Teriak Aruni dengan penuh semangat.

Senang sekali melihat Aruni menjadi gadis kecil ceria, bukan gadis kecil malang seperti kemarin lusa yang sangat sedih terus memikirkan dimana Ayah-Bundanya berada.

Ananta berjalan kembali melewati koridor, tak sengaja melihat salah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Sebenarnya dia sudah tahu, sebulan terakhir dia sembunyi-sembunyi mengaduk ruangan itu. Seminggu lalu menemukan amplop-amplop sumbangan dari dermawan. Lumayan. Penjaga panti baru sadar akan hilangnya kemarin. Maka ingatlah mengapa kemarin Ananta dihukum untuk tidur diluar panti. Mungkin saja hukuman itu berlaku hingga saat ini, atau besok? atau satu bulan kedepan?

Hari ini dia memutuskan untuk mengendap-endap masuk lagi. Memang penjaga-penjaga itu yang lalai, pintu dibiarkan terbuka. Coba pikir, siapa yang tidak tergiur masuk kedalam ruangan itu. Ananta sedang asyik membuka laci tempat dia menemukan amplop- amplop sumbangan itu. Kosong! Tidak ada walau selembar amplop. Dia menghela nafas kecewa. Mungkin dipindahkan ke laci lain. Ananta memutuskan untuk mengaduk seluruh isi ruangan. Melakukan penggeledahan. Membuka laci lemari. Penuh dengan buku-buku usang. Ananta mendesis benci. Buru-buru menutupnya, Membuka laci lemari lainnya. Dipenuhi berkas- berkas yang tidak dikenalinya.

Saat itulah ujung matanya tidak sengaja menatap sebuah file dengan kertas kecil bertuliskan nama dirinya di bagian atas : Ananta Prakarsa. Lalu ini berkas apa? Keinginan tahuanya tidak terbendung. Ananta mengambil file tersebut, meletakkannya di atas meja, membuka lembar demi lembar isi map merah itu. Map itu berisi kertas-kertas yang entahlah tidak diketahui persis olehnya. Ada keterangan dari dinas, yang mendengarnya saja belum pernah. Kemudian surat pengantar dan sepertinya catatan kesehatan. Terakhir terdapat potongan koran. Potongan Koran? Ananta mendesis tidak mengerti. Buat apa ada potongan koran dalam map ini? Kemudian dia mulai membaca potongan koran itu.

"Kebakaran besar lima belas tahun silam. Seratus rumah musnah. Pasar kumuh itu luluh lantak tak bersisa dalam semalam. Hanya beberapa orang yang selamat. Salah-satunya bayi kecil yang ditemukan dipinggir bantaran kali dekat lokasi kebakaran. Bayi kecil yang menangis pilu." 

Terkejut bukan main, Ananta membeku. Selama lima belas tahun tinggal di panti ini tidak ada seorangpun yang menceritakan masa lalunya . Ralat. Dia sendiri yang tak mau tahu asal muasal dirinya. Karena menurutnya tidak penting baginya, sama-sama saja yang dia tahu bahwa orang tuanya telah membuangnya kesini.

Kali ini berbeda, fakta itu membawa dirinya pada rasa penasaran. Beribu pertanyaan di otaknya mulai muncul. Bagaimana kalo sebenarnya orang tuanya tidak dengan sengaja membuangnya ke panti ini? Apakah mereka masih hidup? Atau bahkan mereka sudah tiada menjadi korban kebakaran itu.

Ananta melipat potongan koran tersebut, memasukkanya kedalam saku celana. Terburu-buru keluar sebelum para penjaga panti itu datang.

Dia memutuskan pergi ke terminal, tak tahu mau apa. Bukan untuk bekerja, karena sangat tidak sudi jika dia yang lelah bekerja tapi hasilnya harus diserahkan kepada penjaga panti itu. Otaknya terus berputar, memikirkan potongan koran tadi.

"Jan!" Ananta berusaha mengagetkan Januar.

"Apasih bikin kaget aja" Januar yang sedang sibuk menghitung segundukan uang dua ribuan itu terlihat kesal.

Dulu saat penjaga Panti menyuruh anak-anak memilih pekerjaan yang akan mereka lakukan, bukannya memilih menjadi pedagang koran, pengamen, atau semacamnya, Januar malah memilih menjadi penjaga toilet umum terminal. Berangkat pagi-pagi, menyikat 5 sekat toilet. Pulang sore-sore. Dasar aneh, padahal Januar bisa saja mengambil jatah lebih dari upahnya yang hanya tiga ribu perak itu perhari.

"Kamu tahu alasan kenapa kamu bisa ada di panti ini?" Ananta memasang wajah serius, matanya menatap Januar menunggu jawaban.

"Hei Nan, Jelas-jelas tiga tahun lalu aku berumur 13 tahun. Mereka benar-benar menitipkan aku disini." Jawaban Januar terlihat santai, tapi jelas terlihat dimatanya menampung sekali kesedihan.

"Ada apa? Serius sekali kamu hari ini" Januar terkekeh kecil, aneh dengan temannya yang tak biasanya menanyakan hal serius.

" Aku cuma penasaran kenapa aku bisa di titipkan disini"  Ananta menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Lalu kenapa nggak bertanya pada penjaga saja?"

Jangankan untuk bertanya, melihat wajah penjaga panti itu Ananta sudah sangat muak. Terlebih lagi sangat percuma jika dia bertanya, yang ada dia hanya diremehkan. Ketika dia sedang dimarahipun selalu saja kata-kata penyesalan yang sangat menyakitkan bila di dengar karena telah menerima bayi tidak berguna ini.

Ananta merogoh sakunya, menarik potongan koran yang dia lipat kemudian membukanya. Ananta berniat menyodorkan potongan koran itu pada Januar.

"Apa itu? Nggak deh aku tau itu pasti lotre atau kuis tts kan" Januar sama sekali tak berminat, bola matanya berputar, sangat malas.

"Ingat Nan,kuis tts itu bohong. Aku sudah berkali-kali mengisi semua jawaban dengan benar, Hasilnya nihil kita nggak pernah menang" Tegas Januar. Tangannya tak henti merapihkan uang-uang dua ribuan itu. Tersenyum kepada orang yang keluar-masuk toilet, memastikan tidak ada yang terlewat untuk membayar.

"Lihat dulu Jan!" Teriak Ananta. Ananta berdecis sebal.

Tubuh Januar tersungkur kaget, Seram dirasa jika Ananta berteriak. Perawakannya yang cukup besar membuat suaranya ikut membesar. Diambilnya potongan koran itu oleh Januar, lalu dia baca dari awal hingga akhir. Tak paham dengan isi koran itu dia mulai bertanya kepada Ananta.

"Maksudnya apa Nan? Kamu menemukan potongan koran ini dimana?" Mukanya berubah menjadi lebih serius, Januar mulai merasa penasaran.

"Ruangan penjaga dipojok lorong, aku juga nggak ngerti. Potongan itu ada di dalam file bertuliskan namaku" Jelas Ananta.

"Aku yakin bayi yang selamat itu kamu, Nan" Januar menepuk pundak Ananta meyakinkan.

BAB 4

Mengapa?

Sudah satu minggu Ananta tidur diluar, entah di depan teras panti atau menumpang di depan ruko terminal. Hukumannya tak kunjung usai, tidak ada makan siang atau malam. Hanya sarapan dengan satu lembar roti tawar, itupun Januar yang mengendap-endap ke dapur untuk mengambilnya. Ananta sudah tak dianggap di panti itu, secara tidak langsung penjaga itu mengusir Ananta secara halus dengan embel-embel hukuman yang terus berlanjut.

Lelah dirasa, Ananta memutuskan untuk meninggalkan panti itu. Hanya panti. Tidak dengan Aruni. Ananta akan hidup dijalanan seperti ide nya pada waktu itu. Ananta akan berkunjung menemui Aruni ketika semua orang di panti sibuk bekerja.

Sebelum kabur, Ananta harus melakukan sesuatu terlebih dahulu, kemudian dia ingat sejak dua bulan terakhir dia penasaran apa isi laci lemari paling bawah pada ruangan penjaga, yang dipasangi dua gembok besar, yang paling susah dibuka sepanjang tahun. Itulah satu-satu isi laci yang belum dicurinya. Ananta mengeluarkan linggis kecil. Hasil pinjaman dari bengkel dekat terminal. Diharap hari ini dia akan mendapatkan curian yang lebih besar. Karena dia memutuskan akan pergi selama-lamanya setelah membongkar laci itu, maka tidak peduli soal kehati-hatian, apalagi soal meninggalkan jejak, Ananta dengan kasar mulai membuka laci lemari. Dua gembok itu tidak bisa dibuka, tapi akhirnya terlepas dari rekahan kayu. Ananta tersenyum tipis. Menarik paksa. Laci itu kemudian terbuka. Menganga memperlihatkan isinya. Isinya brankas kecil. Tidak ada barang lain. Maka dengan cepat Ananta menyambar brankas berwarna hitam itu. Nanti saja membukanya. Yang pasti isinya penting dan berharga. Tidak mungkin digembok dua kali kalau isinya hanya surat-surat dan kertas. Sekejap dia sudah kembali ke kamarnya. Melompati daun jendela. Tanpa merasa perlu menutupnya lagi, dengan tenang melangkah ke jalan besar. Sekarang, dia bisa pergi semaunya. Pergi dari Panti menyebalkan itu. Pergi dari tempat yang tidak bisa dimengerti olehnya, tempat yang meninggalkan pertanyaan sama setiap hari sepanjang tahun selama tinggal di sana.

Mengapa dia harus tinggal di sana? Bukankah ada ratusan panti lain di kota ini. Kenapa dia dulu diantarkan ke panti menyebalkan itu.

Ananta buru-buru membawa brankas itu ke salah satu pojokan terminal. Susah sekali membuka brankas itu.  Berkali-kali dihantam dengan linggis kecil tetap saja brankas itu sulit dibuka. Setengah jam yang menyebalkan. Saat dia sudah pasrah, brankas itu terbuka justru oleh pukulan terakhirnya yang lemah. Menumpahkan isinya. Amarah nya makin memanas ketika melihat isi brangkas itu, setengah jam yang sia-sia. Hanya ini? Uang di dalam brankas itu hanya belasan ribu. Rehan menyumpah-nyumpah. Dia pikir akan ada ratusan ribu, malah jutaan, ternyata hanya ini. Memang tak tahu diuntung Ananta ini, sudah mencuri dan malah marah menyumpah para penjaga panti.

Uang belasan ribu itu Ananta belikan lotre. Entah ini akan menjadi pertanda baik atau buruk baginya. Nomor-nomor itu penjual lotre sebut dan benar saja keberuntungan bagi Ananta hari ini. Sorak sorai para pemain lainnya pecah. Ananta senang, sangat senang malah. Dia bisa berpesta pora sendirian malam ini, membeli banyak makanan dan minuman. Membawanya ke pojok terminal.

Sementara, penjaga yang melihat ruang kerjanya seperti kapal pecah mengamuk.

"SIAPA YANG MELAKUKAN INI SEMUA?!" Matanya melotot, menghantamkan bilah rotan ke atas meja.

Mengumpulkan lima belas anak, semua anak tertunduk ketakutan. Terutama Januar, Dia mendesah resah, tertunduk. Badannya gemetar, bibirnya terkunci rapat. Penjaga panti sebenarnya tahu siapa lagi yang berani melakukannya, jelas saja Ananta. Penjaga panti sangat mengamuk selama berminggu-minggu. Mengingat Ananta sepanjang minggu tak kunjung datang juga, maka lima belas anak lainnya yang menjadi sasaran kemarahan.

Sementara, Aruni bergeming. Lagi-lagi di atas ayunan favoritnya, memikirkan kemana perginya sang Kakak tercinta. Mana janji tinkerbell yang akan dia bawakan, dongeng kancil yang sudah satu minggu ini belum terdengar ditelinganya membuat dirinya semakin terlarut dalam kesedihan.

"Aruni sayang, kenapa kamu sedih" Lala bertanya lembut, dia tak mau hal yang lalu terulang sama. Ketika dia tidak sengaja membentak Aruni. Aruni marah selama berminggu-minggu, tidak mau bermain dan belajar bersama teman-temannya.

Aruni hanya diam. mendongak, matanya berkaca-kaca. Menahan tangis rupanya.

Melihat hal itu, lala memeluk Aruni dengan erat. Aruni menangis dalam pelukan lala, beberapa kali merengek menyebutkan Ayah-Bunda lalu kemudian Ananta.

 

BAB 5

Sementara

Enam bulan Ananta tak menginjakkan kakinya di panti itu. Hidupnya kini berubah menjadi Ananta yang lebih bebas. Ternyata hidup di jalanan tidak sesederhana yang dia bayangkan. Hidup itu menyakitkan.

Ananta terbangun dari tidurnya, penjaga ruko berisik membuka teralis alumunium, meneriakinya agar segera bangun, mengusirnya. Mata Ananta memerah karena baru menjelang subuh dia bisa memejamkan mata. Pagi itu perutnya melilit ingin makan. Makan? Kemana dia harus mencari makan? Tak ada lagi uang yang tersisa.

Pada hari itu, Seseorang memanggil Ananta dari kejuahan. Sadar akan hal itu Ananta berlari menemui sumber suara. Ternyata hanya seorang preman baru di terminal dengan tubuh kekar, melihat Ananta yang paruh baya berniat untuk memalaknya. Apa daya Ananta tidak memilik apa-apa. Preman itu berdesis kesal.

Ananta terkapar lemas, Kepalanya sangat pusing. Preman itu dengan sigap membantu Ananta. Jangan salah preman juga manusia, dia juga bisa menolong siapapun. Walaupun perbuatan sehari-harinya lebih banyak membuat kejahatan.

Preman itu menyodorkan satu bungkus nasi, berisi lauk tahu tempe. Dengan satu gelas air mineral. Dilahapnya makanan itu sampai habis oleh Ananta.

"Sudah berapa lama kau tidak makan?" Tanya preman itu. Suaranya menggelegar, sama seperti tubuh nya yang besar dengan penuh tato di lengannya.

"Sudah satu malam" Ucap Ananta ragu-ragu. Sebenarnya Ananta tidak takut dengan siapapun. Termasuk preman ini, namun dia merasa malu telah ditolong orang yang sama sekali dia tidak kenal.

Setelah makanan habis, Preman itu mengintograsi Ananta. Membujuk Ananta untuk bergabung bersamanya. Ternyata preman itu sedang melakukan penyamaran, menguntit orang yang bos nya tugaskan. Ananta berpikir untuk menerima tawaran preman itu, karena ini mungkin sebuah kesempatan untuk merubah kehidupannya menjadi lebih baik.

Ananta sekarang hidup bersama para penyamar itu, disebuah markas yang terbilang cukup besar. Dari luar hanya terlihat seperti bangunan kosong. Padahal di dalam nya begitu banyak barang-barang rumah pada umumnya. Ada satu ruangan yang tidak boleh dia masuki, karena ruangan itu diisi dengan berbagai macam senjata yang berbahaya. Bayangkan saja Ananta yang masih berumur enam belas itu, sudah ikut-ikutan dalam urusan seperti ini.

"Ini foto orang yang kita cari, dia adalah saingan perusahaan dari bos kami" Jordy, preman yang sekarang menjadi ketua penyamaran itu menyodorkan satu foto yang akan mereka incar.

"Oke" Ananta mengangguk mengerti, di telaah nya foto itu. Jikalau siapa tau dia kenal atau pernah bertemu dengan orang itu sebelumnya.

Kemudian mereka mulai merancang strategi, Jordy tidak salah memilih Ananta. Dia cukup cerdik, sigap dan pintar. Proses pencarian orang itu akan lebih mudah dilakukan.

Pencariaan dilakukan selama satu bulan, nahas sekali tidak ada tanda-tanda kemunculan orang yang selama ini mereka cari. Pagi hingga malam mereka pergi dari satu tempat ke tempat lain. Tak kunjung juga ditemukan.

Hari ini adalah pertemuan pertama bagi Ananta untuk bertemu Sang Bos. Disambutnya Bos itu di Markas rahasia mereka. Anton. Pria yang sudah lanjut, usianya hampir 50 tahun. Tapi wajahnya yang terbilang awet muda. Sang konglomerat perusahaan terbesar di Jakarta. Yang sangat benci pada pesaingnya. Ingin balas dendam akan perbuatan yang dia lakukan selama bertahun-tahun kebelakang.  

Setelah melihat keberadaan Ananta, Anton terkesiap terkejut. Bagaimana bisa? Seorang remaja itu ada pada komplotan rencananya.

"Apa yang kamu lakukan disini anak muda?" Anton menepuk bahu Anantha.

"Maaf pak, saya ikut mereka. Saya tidak punya tempat tinggal bahkan orang tua" Ananta menunjuk Jordy dan beberapa rekan kerjanya.

"Sungguh malang sekali kamu nak" Anton mengelus rambut Ananta, matanya berkaca-kaca. Teringat anak laki-lakinya yang hilang beberapa tahun silam.

Ananta kebingungan, apa yang sebenarnya terjadi? Dada Ananta berdegup kencang. Merasakan apa yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya. Dia tidak pernah dibelai, rasa yang ingin sekali dia rasakan sejak lama. Bukan pukulan yang biasa dia terima dari penjaga panti itu.

Sebenarnya hidup Anton lebih malang jika diceritakan, hidupnya penuh lika-liku untuk mencapai hidup yang sempurna seperti sekarang. Kekayaanya memang cukup sempurna, tapi keluarganya tidak. Anton sudah cukup lama melajang, bukan karena tidak ada wanita yang memikat hatinya. Karena salah satu alasan, ternyata dia pernah menikah. Bahkan punya anak. Namun sayang, takdir memisahkan mereka semua.

Sebelum tidur, Kepala Ananta dipenuhi beribu tanya tentang pertanyaan dimana orang tuanya berada. Juga Aruni. Bahkan dia perlahan sudah melupakan kenangan dengan Aruni. Agar hatinya tidak sakit ketika mengingatnya. Dia sungguh berdosa telah membuat beribu janji, salah satunya akan selalu ada bagi Aruni. Kasihan sekali gadis malang itu pikirnya, tapi Ananta bukan kakak yang baik bagi Aruni. Suatu saat Ananta akan menjemput kembali Aruni dengan menjanjikan masa depan yang cerah. Biarlah Aruni bersama lala, Untuk sementara.

BAB 6 

Sebuah kenyataan

Anton datang lagi. Entah kenapa hatinya tidak karuan, kepalanya terus memikirkan Ananta. Seperti ada sebuah ikatan antara keduanya. Anton kali ini membawakan sebuah bingkisan, beberapa baju baru. Melihat keadaan baju Ananta dengan kaus sedikit bolong diketiaknya, jaket usang yang warnanya saja sudah luntur memutih.

"Beberapa baju untukmu" Ucap Anton seraya menyodorkan paperbag.

Ananta kebingungan, di antara takut dan malu. Dia tersenyum tipis, tangannya berusaha mengambil paperbag itu.

"Terima kasih, Bos" Ucap Ananta seraya memberi senyuman.

"Pak saja cukup, tidak usah Bos" Anton tersenyum, menepuk pundak Ananta. Lalu sedikit menarik lengannya, berusaha menyuruh Ananta untuk duduk dan berbincang.

"Jadi bagaimana, senang tinggal disini?" Tanya Anton.

"Cukup senang" Ananta kembali tersenyum.

Bayangkan saja disini jauh berbeda dengan panti itu. Tidak ada yang memarahinya, memukuli. Dia bebas melakukan hal apapun yang dia mau setelah bekerja. Tidak ada hukuman atau terpaksa mencuri uang-uang itu.

Ananta menceritakan semua kisah hidupnya pada Anton, tanpa dikurangi atau ditambahi. Apa yang dia lakukan selama di panti, perbuatan para penjaga terhadapnya dan rekan-rekannya. Setelah dirasa cukup, Ananta berdiri pamit ke toilet untuk buang air kecil.

Jaket usang kesayangannya dia tinggalkan begitu saja di meja dekat Anton duduk. Dari bolongan saku jaket itu, terlihat setengah kertas yang menjulur keluar. Lalu, jatuh tepat di sebelah kaki Anton. Sadar itu terjatuh, Anton segera mengambilnya. Membuka perlahan kertas yang dilipat menjadi dua itu. Membacanya dari awal hingga akhir.

Matanya membelalak, jantungnya berdebar. Seketika aliran darahnya terhenti. Tangannya mulai bergetar. Bagaimana bisa potongan berita pada koran ini ada pada Ananta.

Ribuan memori kembali memenuhi kepala Anton, dimana saat kebakaran besar itu melahap rumahnya. Mencari bantuan kesana kemari, menangisi istri tercinta yang berada dalam rumah. Bayinya yang hilang entah kemana.

Ananta kembali, menemui Anton. Terlihat Anton tidak bergeming, air matanya yang bercucuran. Tangannya masih memegang erat potongan koran itu. Ananta mulai merasa aneh, mengapa Anton menangis? Bukan kah itu potongan koran miliknya?

"Ini milik siapa Ananta?" Anton berdiri, menatap Ananta dalam. Bertanya-tanya gemetaran.

"Itu milikku pak, tak sengaja ku temukan dalam file di panti"

Anton memeluk Ananta dengan sangat erat, enggan melepas. Tangisnya berderai-derai tak henti. Diciumnya beberapa kali kepala Ananta.

Enam belas tahun, Anton yang mencari keberadaan Ananta. Berhenti melakukan pencarian setelah sepuluh tahun berlalu, tak kunjung menemukan sang anak. Mengikhlaskan anaknya yang entah berada dimana. Tapi kini anak yang dia cari itu, ada dihadapannya.

Begitulah kehidupan, penuh dengan tebakan. Ada yang kita tahu, ada pula yang tidak kita tahu. Ketidaktahuan itulah yang merupakan jalan terbaik yang telah Tuhan tetapkan.

TAMAT

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun