Januar, teman sekamar Ananta yang menunggunya dari satu jam yang lalu. Sadar teman nya tak kunjung datang dia menyelinap keluar panti dengan membawa satu bungkus roti.
"Nan, nan. Kamu berulah apalagi sih?" Januar menepuk pundak Ananta. Disodorkannya satu bungkus roti tadi kehadapan Ananta.
"Bukan urusan kamu, aku cuma bosan" Ucap Ananta santai.
Roti pemberian Januar dia makan dengan lahap, tidak ada ucapan terima kasih. Yang Ananta tahu Januar adalah teman terbaiknya. Walaupun Januar selalu menjadi korban dari ulah yang Ananta lakukan, tapi Januar selalu sabar dan tetap menjadi teman yang baik baginya.
"Bosan kok ngelakuin kejahatan" sindir Januar, sedikit tertawa. Tangannya usil menggoda Ananta.
"Sudah ah, aku mau kembali ke kamar. Takut ketauan" Pamit Januar. Januar tidak bisa berlama-lama dengan Ananta diluar, bisa-bisa para penjaga panti murka melihatnya membantu Ananta.
Januar sudah banyak berkorban untuk Ananta. Seperti bulan lalu, Ananta merusak tasbih milik penjaga karena dia kesal tidak mendapatkan baju donasi yang biasanya para anak akan dapatkan setiap bulannya, entah baju baru atau bekas. Januar kemudian mengaku bahwa dialah yang telah merusak tasbih tersebut dan dihukum tidak mendapatkan makan malam.
Ananta sering kabur ketika semua teman-temannya bekerja ataupun belajar. Entah kemana saja, mencuri makanan di pasar atau sekedar menjahili bahkan memalak anak sekolah dasar.
Uang-uang yang dia curi dari panti? dia gunakan untuk sekedar bermain-main dipasar, duduk diterminal, pergi ke warnet untuk bermain game berjam-jam.
Malam semakin larut. Hujan semakin deras. Ananta menggigil dibawah teras yang atapnya agak bocor. Air hujan membasahi sebagian tubuhnya, sebagian lagi kering. Dia kedinginan. Suara gemeretak air membuat senyap perasaan.
Ananta mulai menyumpahi penjaga panti yang "sok suci" itu. Dipikirnya mana pernah uang-uang itu dia beri pada anak-anak sekedar untuk mereka bisa jajan. Sumbangan dermawan setiap bulan yang lainnya, hilang entah kemana. Dimakan oleh dirinya sendiri. Penjaga panti itu yang memiliki mimpi untuk naik haji, tak peduli uang itu dia dapat dari manapun. Ananta berdesis sebal, setengah terkantuk. Sudah sejak lama dia enggan tinggal di panti ini. Buat apa? Yang ada dia hanya dipukuli, dimarahi dan setiap harinya disuruh bekerja dari pagi hingga malam. Lihat saja, dia dan lima belas teman nya terpaksa bekerja. Ada yang jadi penjual asongan di terminal, pengamen, penjual koran atau hanya sekedar menjadi penjaga toilet umum di terminal. Lantas buat apa mereka bekerja jika banyak orang yang memberi sumbangan? Belum lagi makan yang dijatah dan omongan para penjaga panti yang sungguh kejam setiap harinya. Tidak ada gunanya tinggal disini, Dia bisa hidup sendiri di jalanan. Kehidupan bebas. Sebebas yang dibayangkannya. Ananta menyeringai senang memikirkan ide itu. Menguap lebar. Lalu dia berpikir kembali, oh ya tapi bagaimana dengan Aruni?