Ananta menceritakan semua kisah hidupnya pada Anton, tanpa dikurangi atau ditambahi. Apa yang dia lakukan selama di panti, perbuatan para penjaga terhadapnya dan rekan-rekannya. Setelah dirasa cukup, Ananta berdiri pamit ke toilet untuk buang air kecil.
Jaket usang kesayangannya dia tinggalkan begitu saja di meja dekat Anton duduk. Dari bolongan saku jaket itu, terlihat setengah kertas yang menjulur keluar. Lalu, jatuh tepat di sebelah kaki Anton. Sadar itu terjatuh, Anton segera mengambilnya. Membuka perlahan kertas yang dilipat menjadi dua itu. Membacanya dari awal hingga akhir.
Matanya membelalak, jantungnya berdebar. Seketika aliran darahnya terhenti. Tangannya mulai bergetar. Bagaimana bisa potongan berita pada koran ini ada pada Ananta.
Ribuan memori kembali memenuhi kepala Anton, dimana saat kebakaran besar itu melahap rumahnya. Mencari bantuan kesana kemari, menangisi istri tercinta yang berada dalam rumah. Bayinya yang hilang entah kemana.
Ananta kembali, menemui Anton. Terlihat Anton tidak bergeming, air matanya yang bercucuran. Tangannya masih memegang erat potongan koran itu. Ananta mulai merasa aneh, mengapa Anton menangis? Bukan kah itu potongan koran miliknya?
"Ini milik siapa Ananta?" Anton berdiri, menatap Ananta dalam. Bertanya-tanya gemetaran.
"Itu milikku pak, tak sengaja ku temukan dalam file di panti"
Anton memeluk Ananta dengan sangat erat, enggan melepas. Tangisnya berderai-derai tak henti. Diciumnya beberapa kali kepala Ananta.
Enam belas tahun, Anton yang mencari keberadaan Ananta. Berhenti melakukan pencarian setelah sepuluh tahun berlalu, tak kunjung menemukan sang anak. Mengikhlaskan anaknya yang entah berada dimana. Tapi kini anak yang dia cari itu, ada dihadapannya.
Begitulah kehidupan, penuh dengan tebakan. Ada yang kita tahu, ada pula yang tidak kita tahu. Ketidaktahuan itulah yang merupakan jalan terbaik yang telah Tuhan tetapkan.
TAMAT