"Sudah aku bilang berkali-kali bukan aku" Ananta, remaja umur belasan tahun itu menyeringai. Merasa tidak berdosa.
"Anak kecil, sudah berani mencuri!" Lantas penjaga panti itu melotot. Diambilnya sebuah rotan diatas meja.
"Mengaku atau kau mau aku pukul?!" mengangkat rotan sampai teracung, mengancam kepada Ananta.
Ananta terdiam, mengakupun sudah percuma. Sama-sama akan dipukul pada akhirnya. Pecut rotan itu semakin mendekat, Ananta hanya bisa pasrah. Meski dalam hatinya sudah beribu-ribu sumpah serapah dilontarkan.
"Dimana kau sembunyikan uang-uang itu? Dasar anak pungut tak tahu malu!" Tanya penjaga kembali. Dia terlihat sudah sangat jengkel dan melontarkan kata-kata yang tidak sepantasnya dia sebut kepada sang remaja itu.
"Perilaku kau sama jahatnya dengan orang tuamu yang membuang kau kesini" Ketusnya.
Merasa tak terima, ingin sekali Ananta membalas perkataanya. Lihatlah sebenarnya siapa yang jahat disini? Penjaga panti yang "sok suci" ini. Mengambil hak-hak para anak yatim, uang donasi yang diberikan setiap bulannya untuk kebutuhan panti dia korupsi untuk kepentingan pribadinya. Sudah jelas, penjaga panti ini yang tak memiliki hati.
Ditariknya Ananta keluar panti, padahal diluar hujan sedang mengguyur malam ini. Kejam memang, tapi ini selalu menjadi alasan bagi para penjaga panti untuk menghukum. Terlebih lagi Ananta adalah salah satu anak yang paling bandel di panti.
"KELUAR!" Mata merah penjaga tersorot, terengah-engah menahan emosi.
Ananta menyeringai benci. Anak-anak lain yang sejak tadi berebut mengintip pada lubang jendela berhamburan kabur ketika penjaga panti masih dengan kemarahan memberi tatapan galak pada mereka. Setengah cemas, setengah takut kembali ke kamar masing-masing seolah-olah tidak terjadi apapun.
Ananta duduk di depan bangunan panti, berdecak sebal. Menatap pada langit-langit yang bertaburan hujan. Dingin malam mulai menusuk tubuhnya, memikirkan kenapa hidupnya sungguh seperti ini. Sangat malang.