"Kakak mau kerja dulu ya, nanti kalo ketemu tinkerbell. Kakak bawa kesini, oke." Ananta lagi-lagi bohong. Sudah jelas tinkerbell hanya animasi kartun. Jelas tidak nyata. Tapi mengelabui anak kecil cukup mudah bukan?
"Oke kak!" Teriak Aruni dengan penuh semangat.
Senang sekali melihat Aruni menjadi gadis kecil ceria, bukan gadis kecil malang seperti kemarin lusa yang sangat sedih terus memikirkan dimana Ayah-Bundanya berada.
Ananta berjalan kembali melewati koridor, tak sengaja melihat salah ruangan dengan pintu yang sedikit terbuka. Sebenarnya dia sudah tahu, sebulan terakhir dia sembunyi-sembunyi mengaduk ruangan itu. Seminggu lalu menemukan amplop-amplop sumbangan dari dermawan. Lumayan. Penjaga panti baru sadar akan hilangnya kemarin. Maka ingatlah mengapa kemarin Ananta dihukum untuk tidur diluar panti. Mungkin saja hukuman itu berlaku hingga saat ini, atau besok? atau satu bulan kedepan?
Hari ini dia memutuskan untuk mengendap-endap masuk lagi. Memang penjaga-penjaga itu yang lalai, pintu dibiarkan terbuka. Coba pikir, siapa yang tidak tergiur masuk kedalam ruangan itu. Ananta sedang asyik membuka laci tempat dia menemukan amplop- amplop sumbangan itu. Kosong! Tidak ada walau selembar amplop. Dia menghela nafas kecewa. Mungkin dipindahkan ke laci lain. Ananta memutuskan untuk mengaduk seluruh isi ruangan. Melakukan penggeledahan. Membuka laci lemari. Penuh dengan buku-buku usang. Ananta mendesis benci. Buru-buru menutupnya, Membuka laci lemari lainnya. Dipenuhi berkas- berkas yang tidak dikenalinya.
Saat itulah ujung matanya tidak sengaja menatap sebuah file dengan kertas kecil bertuliskan nama dirinya di bagian atas : Ananta Prakarsa. Lalu ini berkas apa? Keinginan tahuanya tidak terbendung. Ananta mengambil file tersebut, meletakkannya di atas meja, membuka lembar demi lembar isi map merah itu. Map itu berisi kertas-kertas yang entahlah tidak diketahui persis olehnya. Ada keterangan dari dinas, yang mendengarnya saja belum pernah. Kemudian surat pengantar dan sepertinya catatan kesehatan. Terakhir terdapat potongan koran. Potongan Koran? Ananta mendesis tidak mengerti. Buat apa ada potongan koran dalam map ini? Kemudian dia mulai membaca potongan koran itu.
"Kebakaran besar lima belas tahun silam. Seratus rumah musnah. Pasar kumuh itu luluh lantak tak bersisa dalam semalam. Hanya beberapa orang yang selamat. Salah-satunya bayi kecil yang ditemukan dipinggir bantaran kali dekat lokasi kebakaran. Bayi kecil yang menangis pilu."Â
Terkejut bukan main, Ananta membeku. Selama lima belas tahun tinggal di panti ini tidak ada seorangpun yang menceritakan masa lalunya . Ralat. Dia sendiri yang tak mau tahu asal muasal dirinya. Karena menurutnya tidak penting baginya, sama-sama saja yang dia tahu bahwa orang tuanya telah membuangnya kesini.
Kali ini berbeda, fakta itu membawa dirinya pada rasa penasaran. Beribu pertanyaan di otaknya mulai muncul. Bagaimana kalo sebenarnya orang tuanya tidak dengan sengaja membuangnya ke panti ini? Apakah mereka masih hidup? Atau bahkan mereka sudah tiada menjadi korban kebakaran itu.
Ananta melipat potongan koran tersebut, memasukkanya kedalam saku celana. Terburu-buru keluar sebelum para penjaga panti itu datang.
Dia memutuskan pergi ke terminal, tak tahu mau apa. Bukan untuk bekerja, karena sangat tidak sudi jika dia yang lelah bekerja tapi hasilnya harus diserahkan kepada penjaga panti itu. Otaknya terus berputar, memikirkan potongan koran tadi.