Sinar matahari pagi menembus jendela. Walau begitu tetap saja angin yang berhembus terasa sangat menusuk kulit. Tak ketinggalan suara ayam berkokok sebagai pertanda pagi hari sudah muncul. Aku bersiap-siap untuk segera berangkat kesekolah. Ya, hari ini adalah hari pertamaku di sekolah menengah atas setelah melewati masa pengenalan lingkungan sekolah. Aku melihat banyak orang yang belum kukenal sebelumnya.
Saat aku memasuki ruang kelas aku tidak tahu akan duduk dengan siapa. Namun, ada seorang perempuan berambut lurus panjang berwarna hitam datang menghampiriku.
"Hai!" Sapa dirinya. Aku saat itu hanya terdiam kebingungan. Bingung karena aku belum pernah melihat wajahnya. " Kenalin nama aku Putri, nama kamu siapa?" Ucapnya sambil menjulurkan tangan untuk berkenalan.
" Hai, namaku Eva." Jawabku. Tanpa berpikirpanjang akupun mengajaknya untuk duduk bersama denganku.
Kesan pertamaku ketika melihat dirinya, ia seorang anak yang baik. Terlihat dari senyuman yang selalu terlukis di bibirnya. Bel masuk pun berbunyi, itu artinya jam pelajaran segera di mulai. Seperti biasa awal tahun menjadi siswa baru akan ada perkenalan siswa dengan guru.
Bel pulang pun berbunyi, aku bergegas merapikan buku yang berada di atas mejaku. Aku bertanya kepada Putri, " Kamu pulang sama siapa, Put? " " Aku dijemput ayahku." Ia pun berpamitan kepadaku sambil melambaikan tangan.
Setibanya di rumah, orang tuaku bertanya apa saja yang aku lakukan di sekolah. Tak lupa mereka juga menanyakan apakah aku sudah begitu dekat dengan teman baru atau tidak. Akupun menjawab, " Ada sih teman baru tapi aku belum deket banget sama dia. Mungkin karena baru kenal."
Keesokan harinya  saat aku tiba di ruang kelas, aku melihat Putri sedang membaca buku. Sepertinya ia anak yang rajin dan pintar. Saat aku tiba di tempat duduk kami, mataku tertuju pada satu buku yang dihias dengan sangat cantik. " Buku apa ini, Put?" Tanyaku. Ia pun menjawab jika itu buku untuk ia menulis materi yang sudah ia pelajari sebelumnya. " Siapa tau nanti ada materi yang dijelasin sama guru jadi senggaknya aku udah tau dikit." Ucapnya
Putri berbeda denganku. Dari dulu aku tidak pernah melakukan hal seperti itu. Aku hanya belajar materi dari apa yang diterangkan oleh guru di sekolah. Tidak mencari tau lebih dalam materi yang dipelajari.
Bel istirahat berbunyi. Putri mengajakku untuk ke kantin. Ia membawa buku dan kotak bekal makanan yang ia bawa dari rumah. Aku bertanya " Istirahat loh, Put. Kamu masih aja bawa buku?" Ia hanya tersenyum mendengar pertanyaanku sambil membaca buku dan menghabiskan bekal yang ia bawa.
Saat di rumah aku teringat jika ada tugas sekolah yang harus dikerjakan. Tugas mata pelajaran matematika peminatan. Akan tetapi, aku belum menguasai sepenuhnya apa yang tadi diterangkan oleh bapak guru. " Duh, aku belum paham banget nih."
Ketukan pintu terdengar. Terdengar suara ayah berbicara " Halo, anak ayah sudah tidur belum?" aku pun menjawab dengan suara kencang " Belum nih."
Ayah masuk ke dalam kamar dan bertanya mengapa aku masih saja terjaga di malam hari. Aku memberitahu ayah jika aku masih mengerjakan tugas sekolah. Ia menyarankan untuk melihat video penjelasan materi di internet agar mengerti. Setelah melihat dan paham, akupun menyelesaikan tugasku.
Dua hari kemudian, mata pelajaran matematika peminatan tiba. " Selamat pagi anak-anak." Ucap Pa Agus dengan penuh semangat. Kami para murid di kelas pun menjawab dengan lebih semangat " Selamat pagi, Pak Agus."
" Buku tugasnya dibuka, ya. Kita periksa pekerjaan kalian. Bapak akan memanggil murid yang beruntung untuk mengerjakan di papan tulis."
Semua murid terlihat asik sendiri agar tidak dipanggil oleh Pa Agus. Ia pun menyebut nama Putri
 " Putri kamu kerjakan nomor 1, ya." Putri pun maju kedepan kelas.                 Â
" Selanjutnya, Anton maju." Ucap Pa Agus. " Aduh pak. Saya gapaham." Sahut Anton sambil menggaruk-garuk kepala. Anton merupakan salah satu siswa di kelasku yang pemalas. Walau terbilang anak baru di SMA, ia sudah dikenal banyak guru karena ia jarang mengerjakan tugas ataupun mengikuti kegiatan belajar mengajar dengan serius.
Tiba-tiba Hasan menawarkan diri untuk mengerjakan nomor selanjutnya kepada Pak Agus. Hasan memang anak yang bisa dibilang ambisius dan pintar. Walau banyak anak yang tidak sadar akan hal itu. Ia juga aktif bertanya ketika guru sedang menerangkan materi di kelas.
Putri pun selesai mengerjakan dan kembali ke tempat duduk. " Kamu gamau nyoba, Va?" " Enggak deh, aku gayakin sama jawabanku."
Istirahat tiba. Aku, Putri, Hasan, dan Anton pergi ke kantin untuk makan bersama. Kami berempat mulai dekat karena bangku kami berdekatan.
 " Sumpah deh aku kaget banget waktu Pak Agus manggil dan suruh aku kerjain soal di depan."  Ucap Anton
" Haha. Kan udah enggak aneh kalo kamu dipanggil guru buat kerjain soal ke depan, Ton."
" Ish jangan ngetawain aku dong, Va."  kami  pun berbincang-bincang dan menghabiskan makan siang saat itu.
Semester akhir segera tiba, itu artinya Ujian Akhir Semester akan segera dilaksanakan. Pa Agus menempelkan secarik kertas yang di tempel di mading sekolah. Hal itu membuat para siswa penasaran dan menghampiri mading.
" Va, liat deh ujian minggu depan loh."
" Oh ya? Aduh aku belum siap."
Tiba-tiba datang Hasan dan Anton dengan  tubuh bercucuran keringat setelah bermain basket. " Ada apaan nih rame-rame?"
" Duh jangan deket-deket deh, Ton. Kamu tuh keringetan." Ucapku pada Anton sambil menyingkir dari sisinya
" Ini loh minggu depan Ujian Akhir Semester dimulai."
" Harus belajar nih kita, kalo enggak nilai kita nanti jelek."
" Kamu udah pinter gausah belajar aja, San. Yang harusnya belajar itu aku." Ucap Anton kemudian tertawa.
Akupun berbicara. " Mau pinter atau enggak, kita harus tetap belajar."
Akhirnya, Ujian pun tiba kami bersiap-siap menyiapkan alat tulis untuk mengerjakan soal. Hari ini adalah hari pertama. Aku berharap ini menjadi awal yang baik dan seterusnya begitu hingga ujian berakhir.
" Semoga nilaiku bagus deh."
 Putri pun menyemangatiku ." Eva, kamu semangat, ya. Jangan lupa berdoa."
Ketua kelas memimpin doa pertanda ujian segera dimulai. Terlihat para murid serius dalam mengerjakan soal ujian. Pengawas di ruangan pun mondar-mandir. Terlihat raut wajah Anton yang kegelisahan sambil menggaruk-garuk kepala. Ia juga menengok ke kanan dan kiri berharap ada teman yang melihat dirinya dan memberi ia jawaban. Ia sangat kebingungan.
Aku sempat melirik kepadanya. Namun aku tak acuh padanya. Bagiku ujian di hari pertama ini cukup mudah untuk dilewati, materi dalam soal-soal yang diberikan pun sudah aku pelajari dan sudah cukup aku kuasai.
Waktu telah habis, itu artinya seluruh siswa harus mengumpulkan hasil ujian mereka. Siswa pun dipersilahkan untuk meninggalan ruang ujian.
" Aku bingung banget, gak tau harus jawab apa." Ucap Anton
Hasan pun mengajak kami untuk belajar bersama agar ada yang mengajari Anton untuk belajar dan ia tidak kesulitan nantinya.
Setelah satu minggu menjalani masa Ujian Akhir Semester. Kami dapat melewatinya dan tinggal  menunggu hasil ujian. Aku berharap jika nanti hasilnya memuaskan.
Hasil ujian telah diumumkan. Putri menduduki peringkat pertama di kelas. Hasan berada di posisi setelah Putri. Aku berada dalam urutan ke sepuluh sedangkan Anton berada di urutan ke dua puluh. Aku merasa senang karena hasilnya cukup memuaskan.
" Alhamdullilah. Aku ada di urutan ke dua puluh nih dari tiga puluh siswa. Seenggaknya aku gak ada di urutan paling akhir. Haha."
" Semester depan kita harus bisa lebih baik dari semester sekarang, oke?" Ucap Putri
Kami pun mengiyakan perkataannya.
Saat aku pulang kerumah, ayah dan ibu menanyakan hasil ujianku. Setelah melihat hasilnya mereka terlihat senang dan berkata untuk mencoba lebih baik lagi di semester selanjutnya.
Semester baru, membuatku merasa senang dan ini adalah semester dimana sebentar lagi aku akan naik kelas. Kami berempat sudah berencana untuk belajar bersama jika ada materi yang belum dimengerti oleh salah satu dari kami ataupun jika ada ujian.
Walaupun begitu aku merasa semester ini sedikit lebih berat dari semester sebelumnya. Tapi aku masih bisa mengerti materi yang disampaikan oleh guru di kelas. Keaktifanku di kelas juga lebih baik dari sebelumnya.
Waktu terasa begitu cepat hingga akhirnya kini kami berada di penghujung semester genap untuk tingkat pertama di SMA. Kami akan segera berada di kelas 11 yang katanya ini adalah masa-masa yang paling indah dalam tiga tahun berada di SMA.
Putri berkata."Eh, gak kerasa banget kita udah mau kelas 11."
" Iya nih, kata kakak kelas yang aku kenal, kelas 11 itu asik banget."
" Duh gasabar banget nih." Ucapku pada mereka
Akhirnya kami pun kini sudah menjadi siswa-siswi kelas 11 SMA. Awal menjadi kelas 11 ini terlhat sekali perbedaan penampilan kami saat masih menjadi siswa-siswi baru dengan kami yang sekarang.
" Widih, beda banget nih sekarang gaya kalian."
" Kamu juga, Ton. Keliatan tuh gaya rambut kamu udah mulai aneh-aneh. Enggak kaya waktu masih kelas 10 rambutnya masih nunjukin kamu tuh culun."
" Eh, Eva. Masa gayaku mau gitu-gitu aja."
" Kamu juga, San. Celanamu udah ga terlalu atas lagi. Haha." Ledek Putri kepada Hasan
" Hehe. Setelah aku lihat fotoku waktu pake seragam di kelas 10, aduh gak banget deh."
Hari pertama kembali bersekolah kami belum mulai melakukan kegiatan belajar mengajar seperti biasanya karena bertepatan dengan siswa-siswi baru yang sedang mengadakan masa pengenalan lingkungan sekolah. Bel pulang berbunyi, para siswa-siswi berhamburan keluar kelas untuk segera pulang.
" Kita main yuk." Ajak Anton
" Hm boleh juga tuh, kita kan masih santai nih."
" Boleh tuh, Eva ikut deh. Kamu ikut ya, Put."
" Ayok."
Kami pun pergi bermain ke salah satu pusat perbelanjaan yang jaraknya memang jauh dari sekolah dan tempat tinggal kami. Kami terlalu asik bermain hingga akhirnya lupa waktu. Aku mengajak teman-teman untuk pulang karena takut jika nantinya kedua orang tua kami khawatir. Sesampainya di rumah, ayah dan ibu bertanya kepadaku mengapa aku baru saja pulang sekolah dan tidak memberi tahu mereka.
" Ini udah malem, nak. Kamu dari mana?"
" Maafin Eva, tadi aku main sama temen-temen tapi lupa buat kasih tau ayah sama ibu."
" Yasudah, lain kali kalo kamu pergi itu kabari orang tua. Kami khawatir takut ada apa-apa." Ucap Ibu
Akupun pergi ke kamar dan beristirahat.
Situasi kegiatan belajar mengajar sudah kembali normal seperti biasanya. Huft, itu artinya akan banyak tugas dan ulangan menanti. Dugaanku benar baru saja seminggu kegiatan belajar mengajar ini berjalan normal kami sudah diberi tugas oleh para guru.
" Baru aja belajar, udah ada tugas lagi." Keluh Anton
" Kamu gak cape ngeluh, Ton?" Tanya Hasan
" Ya gimana aku dari dulu kan begini hehe."
Tugas yang diberikan kami kerjakan bersama-sama agar jika ada yang tidak kami kuasai. Kami bisa saling membantu. Enam bulan berjalan kami lalui, rasanya mulai terasa berat bagi kami yang berada di jurusan Mipa.
" Haduh makin sini itungannya makin susah. Makin banyak praktik ditambah laporan juga."
 Akupun mengeluh " Iya nih, rasanya cape banget."
Walau begitu, kami masih memiliki banyak waktu bermain bersama teman-teman. Nilai-nilai kami pun terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya. Saat ulangan harian atau akhir semester pun kami masih bisa mengisi soal-soall yang diberikan. Peringkat Putri dan Hasan tetap menduduki bintang kelas. Sedangkan aku hanya berbeda sedikit di bawah mereka. Anton memang masih berada di bawah kami. Akan tetapi, nilainya pun masih cukup memuaskan. Hingga kamipun kini sudah naik ke kelas 12.
Tidak disangka, kini kami sudah berada di tahun terakhir kami berada di tingkat SMA. Rasanya baru saja kemarin aku mengikuti masa pengenalan lingkungan sekolah.
Aku, Putri, Hasan, dan Anton duduk dibawah pohon rindang di taman. Udara dingin yang terasa menusuk kulit. Daun-daun pun nampak menari-nari. Tak lupa suara kicauan burung yang saling bersauhutan menemani pagi di hari minggu saat itu.
" Kalian lulus SMA mau lanjut kemana nih?" Tanya Hasan
" Orang tuaku sih nyuruh aku untuk lanjut kuliah."
" Wah jurusan apa tuh, Put?"
" Mereka sih inginnya aku ambil kedokteran, San. Tapi aku ga begitu yakin sih bisa masuk apalagi masuk ke perguruan tinggi negeri."
" Kamu ini, Put. Kalo kamu yang pinter ngerasa gak yakin, bagaimana dengan aku? Kamu kan juara kelas, bisalah kamu masuk lewat jalur rapot itu." Sahut Anton
" Saingannya kan satu Indonesia. Apa mungkin nilaiku bisa lebih unggul dari mereka?"
" Coba aja dulu,"
Aku hanya terdiam mendengar ucapan mereka.
" Kalo kamu, Va?" Tanya Hasan
" Aku sih masih bingung. "
Saat di rumah aku mulai memikirkan akan bagaimana setelah aku lulus SMA nanti. Aku menghampiri Ayah dan Ibu yang berada di ruang makan untuk mengajak mereka berbicara tentang hal ini.
" Ayah, ibu, kira-kira aku kemana ya kalo udah lulus SMA?"
" Kemana apa? Oh kamu ingin liburan ya."
" Kamu ini belum juga satu bulan jadi anak kelas 12. Udah mikir habis lulus liburan kemana."
Aku memberitahu mereka jika bukan itu yang dimaksud. " Maksud Eva, lulus SMA nanti aku mending kuliah atau kerja."
Mereka pun tertawa karena telah salah paham atas perkataanku. Keduanya ingin aku kuliah setelah lulus SMA nanti. Tetapi mereka berbeda dalam memberi saran dalam jurusan apa yang akan aku pilih nantinya. Ibu menyarankan aku untuk mengikuti jejaknya menjadi lulusan sarjana psikologi. Sedangkan ayah menyuruhku untuk masuk ke jurusan kedokteran.
Di sekolah guru bimbingan konseling kami memberikan selembar kertas yang berisi rencana kita setelah lulus SMA nanti. Aku memikirkan perkataan ayah dan ibu semalam. Sebenarnya, aku lebih tertarik untuk masuk ke jurusan psikologi dan kedokteran. Namun, untuk jurusan kedokteran sepertinya aku tidak yakin dengan kemampuanku.
Aku melihat Putri mengisi kertas tersebut. Ia mengisi kolom untuk melanjutkan kuliah dan memilih jurusan kedokteran. Sedangkan aku terus saja memandangi kertas ini.
Akhirnya akupun mengisi kolom untuk melanjutkan kuliah dan memasukkan jurusan impianku yaitu psikologi. Setelah semua siswa selesai mengisi kolom tersebut kertas tersebut dikumpulkan. Setiap siswa dipanggil satu persatu oleh guru bimbingan konseling kami, yaitu Bu Ira.
Giliranku untuk maju kedepan.
" Baik, Eva. Boleh ibu tanya-tanya?"
" Boleh, bu."
" Ibu lihat di sini kamu ingin melanjutkan kuliah dan mengambil jurusan psikologi. Betul?"
Akupun mengangguk mengiyakan pertanyaan yang diolontarkan Bu Ira.
" Apa kamu yakin dengan pilihanmu? Sudah ada persiapan untuk bisa mewujudkan impianmu?"
" Saya yakin, bu. Kalo untuk persiapan sejauh ini saya belum ada persiapan." Jawabku
Bu Ira mengatakan jika aku harus benar-benar yakin atas pilihanku karena jurusan psikologi termasuk jurusan yang banyak diminati. Beliau menjelaskan banyak hal tentang dunia perkuliahan dan merekomendasikanku beberapa jurusan. Walau begitu, aku tetap yakin untuk  memilih jurusan psikologi saat kuliah nanti.
Saat waktu senggang, Aku, Putri, Hasan, dan Anton berbincang-bincang. Hasan memberitahu kami jika ia akan mengikuti bimbingan belajar. Putri sudah berencana hal yang sama seperti Hasan. Sedangkan aku dan Anton masih belum memiliki rencana untuk mengikuti bimbingan belajar. Â
" Va, kamu udah kepikiran buat ikut bimbel gak sih?"
" Gak tau deh, Ton."
Hari ini, rencananya aku akan mengajak teman-teman untuk bermain sepulang sekolah. akan tetapi, Putri tidak bisa  ikut karena ia harus mengikuti bimbel, begitupun dengan Hasan. Tersisa aku dan Anton. Akupun mengajaknya bermain bersama. Saat kami makan berdua aku bertanya pada Hasan. Apakah ia sudah mempersiapkan untuk memasuki perguruan tinggi nanti seperti mengikuti bimbel atau belajar secara mandiri di rumah. Ia menjawab jika ia tidak akan mengikuti bimbel.
" Ah udah deh santai aja. Kan tes buat masuk perguruan tinggi itu masih lama, kita santai-santai dulu aja. Nanti kita gak bisa nih kaya gini, keburu banyak tugas akhir." Ucap Anton
Tidak terasa, semester terakhirku berada di sekolah ini sudah tiba. Pagi ini kami para siswa-siswi kelas 12 dikumpulkan di lapangan sekolah untuk mendengar pengumuman yang disampaikan Pak Agus. Ia memberitahu jika ingin melanjutkan kuliah ada beberapa jalur seleksi masuk.  Ada jalur seleksi yang menggunakan nilai  rapot, tes berbasis computer, maupun ujian yang dilaksanaka secara mandiri oleh masing-masing universitas. Jalur seleksi yang akan dibuka dalam waktu dekat ialah jalur seleksi yang menggunakan nilai rapot. Jalur seleksi ini akan di data oleh sekolah dan akan dilakukan pemeringkatan. Setelah itu kelas kami diberitahu oleh Pak Agus siswa-siswi siapa saja yang masuk dalam kuota pemeringkatan ini. Ternyata aku, Putri, dan Hasan mendapatkan kesempatan itu. Sangat disayangkan jika Anton belum mendapatkan kesempatan untuk mendaftar lewat jalur seleksi ini.
" Udah aku duga nih aku gak bakal masuk." Ucap Anton
Anton mengajak kami untuk bermain di hari minggu. Hasan menolak karena ia tidak diperbolehkan orang tuanya untuk bermain. Begitupun Putri ia sedang sibuk belajar untuk mempersiapkan tes masuk ke perguruan tinggi. Putri bertanya kepada kami apakah kami tidak mempersiapkan tes untuk masuk ke perguruan tinggi. Aku dan Anton hanya diam membisu mendengar pertanyaan yang dilontarkan Putri.
Akhir-akhir ini guru-guru sering memberi kami tugas. Rasanya sangat melelahkan. Aku sama sekali tidak memikirkan bagaimana persiapan masuk ke perguruan tinggi. Aku hanya terfokus pada tugas yang diberikan oleh guru-guru.
Saat aku mengerjakan tugas di ruang makan, ibu menghampiriku.
" Loh, kamu kok ngerjain tugas di sini?"
" Iya, nih. Tadi aku ngerjain tugas di sini biar ga bulak-balik ke kamar,bu. Eh ternyata waktu di sini aku malah ga makan sama sekali."
" Kasian banget anak ibu." Ucap ibu sambil mengelus kepalaku.
Ibu pun menyuapiku agar aku tetap bisa mengerjakan tugas dan makan malam. Setelah selesai menyuapi, ibu menyuruhku untuk segera beristirahat agar tidak kelelahan.
Aku masih belum mempersiapkan hal untuk masuk ke perguruan tinggi. Belajar untuk sekolah pun terasa sangat malas. Membuka buku pun aku tidak tertarik. Buku-buku persiapan tes masuk perguruan tinggi yang dibelikan oleh ayah hanya aku pandangi siang dan malam.
Akhir minggu, aku hanya berdiam diri di kamar. Aku mulai belajar untuk tes masuk perguruan tinggi. Seharian aku berada dalam kamar. Malam hari aku baru saja keluar untuk mengambil makanan.
" Aduh anak ayah. Dari tadi pagi, batang idungnya baru saja nampak."
Aku tak berbicara sepatah katapun kepada kedua orang tuaku. Mereka melihatku seperti orang yang tidak mempunyai semangat sedikitpun.
Keesokan harinya, aku kembali ke sekolah seperti biasa. Putri melihatku kelelahan.
" Eva, kamu keliatannya cape gitu, kenapa?"
" Kemarin aku habis belajar seharian buat masuk kuliah nanti, rasanya cape banget."
Ia pun menyemangatiku dan mengatakan jika ini baru awal saja. Aku harus tetap bersemangat sampai nanti.
Hasan pun datang menghampiri kami dan bertanya. " Hai, kalian udah daftar jalur rapot, belum?"
Aku hanya menggelengkan kepala memberi tahu Hasan jika aku belum daftar. Berbeda dengan Putri yang sudah daftar terlebih dahulu.
" Aku sih udah kemarin, aku takut kelupaan." Putri juga memberi tahu jika ia memilih program studi kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri yang berada di Depok.
Sedangkan Hasan, ia sudah mendaftar dan memilih program studi teknik sipil dan memilih perguruan tinggi negeri yang berada di Bandung.
Sepulang sekolah akupun segera mendaftarkan diri, namun aku masih bingung universitas mana yang aku tuju nantinya. Setelah berpikir panjang aku memutuskan untuk memilih perguruan tinggi negeri yang berada di jatinangor.
Gawai milikku berdering, ternyata ada notif masuk. Ketua kelasku memberi tahu jika guru-guru akan memberikan tugas akhir. Membaca pesan itu, aku langsung menepuk jidatku.
Kini, hari-hari yang kulalui akan bertambah berat dengan adanya tugas akhir ini. Apalagi, untuk belajar tes saja aku masih malas. Jika ditambah dengan tugas akhir maka sedikitpun aku tidak akan belajar untuk tes itu.
Anton mengajakku untuk pergi ke salah satu tempat wisata. Awalnya aku menolak dan mengatakan kepadanya jika aku akan belajar. Namun, Anton berbicara padaku jika aku pasti akan lolos di universitas yang aku tuju lewat seleksi jalur rapot itu. Tidak ada salahnya juga jika kita pergi bermain.
Bermain membuatku lupa sejenak kepada tugas-tugas sekolah yang ada. Membuatku juga terasa lebih tenang.
Tugas yang kian menggunung setiap hari  pun membuat kita kelelahan. Hal ini bukan karena aku yang terlalu menunda untuk mengerjakannya. Namun, ada saja tugas yang diberikan.
Tidak disangka, aku dan Anton terlalu sering bermain sehingga aku tidak mempunyai waktu untuk belajar. Jika ada waktu pun, itu hanya sekedar mengerjakan tugas-tugas yang ada. Bukan untuk belajar tes masuk perguruan tinggi. Aku percaya dengan perkataan Anton yang mengatakan jika aku akan di terima di perguruan tinggi tujuanku. Hal ini pun diketahui oleh Putri hingga ia berbicara padaku.
" Va, walaupun kita udah dapet kesempatan buat masuk seleksi jalur rapot bukan berarti kita bisa santai gitu aja. Kita pun belum tentu bisa diterima di universitas yang kita mau. Seenggaknya kalo kita gagal di seleksi ini, kita gak keteteran buat belajar. Kalau emang kita keterima di jalur ini ya anggap aja bonus deh."
" Tapi, Put. Belajar tuh rasanya males banget. Apalagi sekarang kita banyak banget tugas." Ucapku dengan tegas
" Kita semua pasti cape, males. Tapi bukan berarti itu jadi alasan kita buat menyerah gitu aja, Va. Aku gamau kamu menyesal nantinya."
Namun, aku mengabaikan apa yang diucapkan oleh Putri. Aku percaya diri bahwa aku bisa diterima. Tidak perlu bersusah payah untuk belajar dan mengikuti tes.
Waktu pengumuman hasil seleksi jalur rapot sudah tiba. Kami berencana untuk melihat hasilnya secara bersamaan. Hasan berhasil diterima di universitas dan program studi yang ia pilih, begitupun dengan Putri. Betapa terkejutnya aku ketika melihat hasil pengumumanku, aku tidak dapat lolos di universitas dan program studi yang aku tuju. Perasaan hatiku hancur lebur saat itu. Aku hanya terdiam bagaikan patung. Tanpa disadari, air mata mulai jatuh di pipiku ini.
Saat itu aku merasa sangat terpukul. Aku bingung apa yang harus kukatakan kepada kedua orang tuaku. Sesampainya di rumah, aku mengatakan semuanya kepada ayah dan ibu jika aku gagal untuk masuk perguruan tinggi negeri lewat jalur rapot ini. Namun mereka memaklumi dan mengatakan jika aku bisa mencoba jalur lainnya. Tetap saja aku merasa kecewa, mengapa hanya aku yang tidak lolos diantara teman-temanku yang mendapatkan kesempatan ini.Malas atau tidak, aku terpaksa harus belajar untuk tes nanti.
Akan tetapi, semenjak pengumuman itu aku semakin malas untuk belajar. Yang diketahui oleh ayah dan ibuku selama ini adalah aku belajar dengan bersungguh-sungguh. Nyatanya, aku setiap hari bermain bersama Anton. Kami menghabiskan waktu bersama. Anton sudah menyuruhku untuk langsung pulang ke rumah setelah pulang sekolah. Ia juga mengingatkanku untuk belajar dengan bersungguh-sungguh.
Anton sudah tidak memikirkan untuk tes masuk perguruan tinggi negeri karena ia orang tua Anton menyuruhnya untuk melanjutkan usaha milik ayah Anton. Aku berbicara pada Anton jika aku akan meminta kedua orang tuaku agar langsung mengizinkanku masuk ke perguruan tinggi swasta. Namun, Anton menasehatiku.
"Enggak, Va. Â Kamu tetep harus coba gimanapun hasilnya nanti. Walau mau kamu kuliah di negeri ataupun swasta itu sama aja, seenggaknya kamu udah coba buat bersaing dengan ribuan orang di luar sana. Masuk di universitas impian, di tempat orang lain juga ingin berada di posisi kamu nantinya."
Tetap saja, aku tidak peduli dengan perkataan Anton kala itu. Masuk kuping kanan keluar kuping kiri.
Aku terus bermalas-malasan. Tak terasa, pelaksanaan tes masuk perguruan tinggi tersisa empat belas hari. Saat itu, aku sedang membuka sosial media dan melihat Putri memposting twibbon. Ya, seperti biasa ciri khas mahasiswa baru.
Mulai saat itu aku bertekad untuk belajar tes masuk perguruan tinggi negeri. Aku sudah gagal satu kali dalam satu jalur seleksi masuk. Kali ini aku tidak boleh gagal lagi. Aku harus membuat kedua orang tuaku bangga begitupun dengan orang sekitarku.
Empat belas hari aku manfaatkan untuk belajar. Saat pelaksanaan tes tiba, aku berangkat ke tempat tes. Sebelumnya aku berpamitan kepada mereka dan meminta mereka mendoakan aku selama tes. Selama tes berjalan, aku merasakan sedikit kebingungan banyak hal yang tidak aku pelajari. Pikiranku buyar, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.
 Aku merasa menyesal telah membuang-buang waktu saat dulu. Waktu yang bisa kugunakan untuk belajar meskipun tidak lama. Aku sudah pasrah dengan hasilnya nanti. Setidaknya aku sudah mencoba.
Pengumuman tes pun tiba. Aku masih belum siap untuk melihat hasilnya. Ya, aku takut akan gagal lagi saat ini. Dua hari kemudian aku sudah siap untuk melihat hasilnya. Tenyata, aku gagal lagi kali ini. Putri, Hasan, dan Anton menanyakan bagaimana hasilnya melalui grup chat kami di salah satu aplikasi pesan singkat. Aku tidak menjawab pesan dari mereka, aku malu untuk mengatakan hal ini kepada mereka. Sudah gagal untuk yang kedua kalinya.
Aku mengurung diri di dalam kamar. Ibu dan ayah terus membujukku untuk keluar kamar. Awalnya aku tidak akan keluar dari kamarku ini. Akan tetapi, aku merasa kasihan karena mereka terus membujukku.Â
Saat aku keluar ibu memelukku dengan erat
" Nak, sudah dulu ya. Ibu ingin ngomong sama kamu."
Aku hanya mengangguk sambil menangis.
" Eva, kamu gak boleh ngurung diri di kamar gini. Kalo kamu sedih kamu bisa cerita. Ada ayah sama ibu di sini."
" Kami gak marah, mau kamu gagal. Yang terpenting itu, bagaimana kamu menghadapi dunia perkuliahan yang nantinya akan berbeda saat kamu masih SMA. Kamu serius ngejalaninnya, gak setengah-setengah."
Ayah mengelus kepalaku dan hangatnya pelukan ibu membuatku menjadi tenang.
Mereka menawariku untuk mengikuti ujian mandiri salah satu universitas, yaitu universitas yang aku tuju setelah aku gagal kemarin. Awalnya aku ragu karena aku masih takut jika kegagalan itu datang kembali menghampiri dan keberuntungan masih tidak berpihak kepadaku.
Berkali-kali aku diyakinkan oleh keduanya. Hingga aku memilih untuk mengikuti ujian mandiri tersebut. Aku menceritakan hal ini kepada Putri, Hasan, dan Anton.
" Wah kami seneng dengar kabar kamu masih semangat gini, Va. Tetap semangat belajar ya!"
 Aku tersenyum." Makasih ya, San. Terima kasih banyak kalian udah tetep nemenin aku bahkan kalian tetep nyemangatin di saat aku gagal,"
" Aku minta maaf ya, Va. Dulu aku malah ngajak kamu main terus bukannya belajar. Duh, merasa bersalah banget nih aku."
" Udah, gapapa ko. Aku juga yang memang malas."
Mereka menemani setiap aku ingin belajar di rumah. Dukungan dari kedua orang tuaku dan mereka membuatku jauh lebih bersemangat.
Aku terus belajar, rasanya tidak ingin kegagalan ini datang kepadaku untuk yang kesekian kalinya. Dari matahari terbit hingga matahari terbenam dan langit berganti menjadi gelap.
Bahkan, saat pelaksaan ujian mandiri pun mereka mengantarkanku ke universitas yang letaknya berada di Jatinangor ini. Selesai ujian, aku terus berdoa agar aku bisa di terima di universitas tujuanku ini. Harapanku untuk diterima sangatlah besar.
Betapa terkejutnya aku ketika melihat pengumuman, jika ternyata aku diterima menjadi mahasiswa baru di universitas tersebut. Semua orang terdekatku ikut bahagia medengar kabar jika aku berhasil lolos. Bahagiaku melambung tinggi sampai ke angkasa saat itu.
Rasanya, semua kegagalan dan kekecewaan yang sudah aku rasakan ini terbayar oleh keberhasilanku. Aku masih tidak percaya jika akhirnya bisa lolos di perguruan tinggi yang sudah menolakku dua kali di dua jalur yang kucoba sebelumnya.
Jika melihat kebelakang, aku menyesal telah membuang-buang waktuku untuk hal yang tidak perlu. Contohnya, bermain. Disaat teman-temanku yang lain sedang memperjuangkan mimpinya menjadi kenyataan, aku lebih memilih untuk bermain. Teman-temanku yang bahkan lebih mampu dari diriku, mereka masih saja bekerja keras untuk mewujudkan mimpi mereka. Perjuangan mereka memang tidaka sia-sia, tidak seperti diriku.
Memang berat disaat harus mempersiapkan untuk masuk ke perguruan tinggi,akan tetapi  di satu sisi aku mendapatkan tugas yang menggunung dan rasa malas yang sudah bersahabat dengan diri ini. Lelah sudah pasti. Tak lupa, kebingungan untuk membagi waktu antara sekolah dan mempersiapkan diri melanjutkan ke perguruan tinggi.
Akan tetapi, jika aku tidak membuat mimpiku menjadi nyata, aku tidak tahu sampai kapan rasa kecewa dan penyesalan akan terus menghantui kehidupanku.
Setidaknya, walau nantinya kita gagal, kita sudah berjuang untuk membuat mimpi itu menjadi nyata. Â Berbeda hal dengan kita berdiam diri, tidak berjuang sama sekali, tetapi berharap mimpi itu akan terwujud. Teruslah bermimpi teruskan mimpimu yang akan terus menjadi mimpi.
Kini aku bangga dapat memakai jas almamater yang diinginkan oleh ribuan orang di luar sana. Mereka ingin berada di posisiku.
Melihat Putri dan Hasan yang sama-sama memakai jas kebanggaan. Anton yang kini sukses melanjutkan usaha keluarganya dan aku yang kini juga memakai jas almamater impian. Â Hal ini membuatku merasa senang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H