Mata Kuliah Etika dan Hukum Kesehatan
Etika dalam Kesehatan Digital dan Kecerdasan Buatan: Studi Kasus Manufaktur Robot Bedah Digugat karena Sebabkan Pasien Kanker Usus Besar Meninggal
Dosen Pembimbing:
Dr. Anis Irmawati, drg., M. KeKes.
Disusun Oleh:
Kelompok 3- ETIK 20
1. Alyanisa Kamilia Moza (151241161)
2. Anggun Nabila Yulinar Pratiwi (132241029)
3. Deanara Aretha Panadi (161241278)
4. Endah Sri Wahyuni (132241021)
5. Felicia Tandiono (161241037)
6. Leandro Kevan Herlambang (111241104)
7. Meliana Oktavia Ramadhani (413241013)
8. Sela Yafi Harrisandi (191241155)
9. Septi Nur Kholisatun Nisa' (414241036)
SURABAYA
2024
ABSTRAK
Latar Belakang: Etika dan hukum dalam penggunaan teknologi kesehatan digital dan kecerdasan buatan (AI) di dunia kesehatan. Berfokus pada kasus gugatan terhadap produsen robot bedah da Vinci, yang dituduh menyebabkan luka bakar fatal pada organ pasien dan berujung pada kematian. Ditelaah pelanggaran etika dan hukum yang terkait dengan kasus tersebut, seperti kelalaian, kegagalan memberikan informasi yang cukup, kurangnya pelatihan, dan produk yang tidak aman. Perlu kerangka hukum dan regulasi yang komprehensif untuk memastikan keamanan, keamanan, dan aksesibilitas teknologi kesehatan digital di Indonesia.
Objektif: Untuk memahami peranan etika dalam kesehatan digital dan kecerdasan buatan serta mengevaluasi penerapannya dalam kasus manufaktur robot bedah da Vinci yang menyebabkan pasien kanker usus besar meninggal.
Diskusi: Membahas implikasi etika dan hukum dari kasus tersebut dengan mengkaji prinsip-prinsip etika kesehatan yang dilanggar, seperti prinsip keadilan, prinsip non-maleficence, prinsip beneficence, dan prinsip veracity. Makalah ini juga mengkaji regulasi terkait penggunaan AI dalam kesehatan yang diterapkan di berbagai negara, termasuk di Indonesia, dan menganalisis bagaimana regulasi tersebut dapat diterapkan dalam kasus robot bedah da Vinci.
Kesimpulan: Kemajuan teknologi kesehatan digital dan kecerdasan buatan membawa dampak positif dalam meningkatkan efisiensi dan aksesibilitasnya. Akan tetapi, diperlukan pengawasan, pelatihan, transparansi, dan regulasi yang lebih baik di Indonesia untuk mencegah terjadinya kasus robot bedah da Vinci.
Kata Kunci: Kesehatan digital; Robot bedah da Vinci; Kecerdasan buatan
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi digital dan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk sektor kesehatan. AI telah menunjukkan kemampuan luar biasa dalam revolusi bidang kesehatan, memungkinkan analisis data yang kompleks dan pengambilan keputusan yang lebih akurat, serta membuka peluang baru untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan mempermudah akses kesehatan bagi semua orang (Thaariq et al., 2024). Penerapan teknologi digital dan AI dalam bidang kesehatan membawa berbagai manfaat, namun juga menimbulkan tantangan etis dan hukum yang perlu diperhatikan. World Health Organization (WHO) telah mengeluarkan enam prinsip utama untuk penggunaan etis kecerdasan buatan dalam kesehatan, yaitu melindungi otonomi, mempromosikan keselamatan dan kesejahteraan manusia, memastikan transparansi, mendorong akuntabilitas, memastikan kesetaraan, dan mempromosikan alat yang responsif dan berkelanjutan (Aris, 2024). Regulasi dan standarisasi menjadi aspek krusial dalam implementasi teknologi kesehatan digital. Di tingkat global, berbagai lembaga seperti Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat telah mengembangkan kerangka regulasi untuk mengawasi perangkat medis berbasis teknologi (Hackett & Gutman, 2005). Sementara itu, Uni Eropa telah menerapkan General Data Protection Regulation (GDPR) untuk melindungi data pribadi pasien dalam sistem kesehatan digital (GDPR, 2016). Di Indonesia, regulasi layanan kesehatan digital masih dalam tahap pengembangan dan menghadapi berbagai tantangan. Lukitawati & Novianto (2023) mengidentifikasi beberapa isu penting terkait regulasi layanan kesehatan digital di Indonesia, termasuk kebutuhan akan kerangka hukum yang komprehensif untuk melindungi privasi data pasien dan menjamin kualitas layanan. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi menjadi salah satu landasan hukum dalam melindungi data kesehatan pasien di era digital (Kementerian Komunikasi dan Informatika, 2022). Pentingnya regulasi dan standarisasi dalam teknologi kesehatan digital juga tercermin dalam kasus-kasus yang terjadi di lapangan. Seperti kasus robot bedah da Vinci yang menyebabkan komplikasi fatal pada pasien, menunjukkan bahwa inovasi teknologi kesehatan harus diimbangi dengan pengawasan ketat dan standar keamanan yang tinggi (Tempo, 2024). Hal ini menegaskan pentingnya sertifikasi dan standarisasi produk kesehatan, seperti CE Marking yang diterapkan di Uni Eropa (AS Indonesia, 2019). Berdasarkan isu-isu tersebut, diperlukan pemahaman mendalam tentang aspek etika dan hukum dalam penerapan teknologi kesehatan digital dan AI. Hal ini mencakup kerangka etis yang mempertimbangkan keadilan dan pemerataan akses teknologi kesehatan (Prathomwong & Singsuriya, 2022), serta perlindungan data dan privasi pasien (Nehemia & Hendrayana, 2024). Pemahaman ini penting untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi kesehatan dapat memberikan manfaat optimal bagi masyarakat sambil tetap menjaga aspek keamanan dan etika
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana dampak penerapan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI)terhadap layanan kesehatan, baik dari segi manfaat maupun tantangan etis dan hukum?
2. Apa saja kerangka etika dan regulasi yang diperlukan untuk memastikan penerapan teknologi kesehatan digital dan AI berjalan dengan aman dan beretika?
3. Bagaimana kasus-kasus seperti robot bedah da Vinci mencerminkan pentingnya pengawasan, regulasi, dan standar keamanan dalam teknologi kesehatan digital?
4. Apa saja tantangan yang dihadapi Indonesia dalam mengembangkan regulasi layanan kesehatan digital?
C. Tujuan
1. Mengidentifikasi manfaat dan tantangan penerapan teknologi digital dan AI dalam sektor kesehatan.
2. Menganalisis kerangka etika dan regulasi yang diperlukan untuk implementasi teknologi kesehatan digital secara aman dan beretika.
3. Mengevaluasi kasus-kasus nyata seperti robot bedah da Vinci untuk menyoroti pentingnya pengawasan dan standarisasi teknologi kesehatan.
4. Mengkaji tantangan dan peluang dalam pengembangan regulasi kesehatan digital di Indonesia.
D. Manfaat
1. Menyediakan rekomendasi yang dapat digunakan oleh pembuat kebijakan untuk mengembangkan regulasi kesehatan digital yang komprehensif.
2. Membantu penyedia layanan kesehatan memahami pentingnya pengawasan dan pelatihan dalam penggunaan teknologi baru
3. Meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya perlindungan data pribadi dan keamanan dalam layanan kesehatan digital.
4. Mendukung terciptanya akses teknologi kesehatan yang adil dan merata bagi
seluruh lapisan masyarakat.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kesehatan Digital dan Kecerdasan Buatan
1. Kesehatan Digital
Kesehatan digital adalah bidang pengetahuan dan praktik yang terkait dengan pengembangan dan penggunaan teknologi digital untuk meningkatkan kesehatan. Kesehatan digital berhubungan erat dengan perkembangan teknologi AI. AI dalam kesehatan adalah istilah umum untuk menggambarkan penerapan algoritma pembelajaran mesin dan teknologi kognitif dalam kegiatan medis. Kesehatan digital menggunakan bentuk rutin dan inovatif dari teknologi informasi dan komunikasi untuk memenuhi kebutuhan kesehatan dan memberikan intervensi kesehatan yang efektif dari jarak jauh ( Laksono, 2022).
Sistem yang diaktifkan secara digital, terdiri dari sistem kesehatan yang mengadopsi teknologi untuk membantu meningkatkan kualitas, pengiriman, dan manajemen perawatan pasien, berpotensi untuk mengubah model layanan kesehatan di masa depan untuk menyelaraskan layanan primer dan sekunder dengan manajemen mandiri sebagai pilar utama. Kesehatan digital mencakup kesehatan elektronik (eHealth), seperti perangkat lunak mandiri dan berbasis web, kesehatan seluler (mHealth) seperti aplikasi (apps) ponsel cerdas dan program pesan teks, teknologi informasi kesehatan, telekesehatan atau telekonsultasi (telehealth / telemedicine), rekam medis elektronik (EMR), dan area yang muncul seperti penggunaan ilmu komputasi lanjutan dalam data besar, genomik, dan kecerdasan buatan (Laksono, 2022).
Kesehatan digital, yang mencakup program layanan kesehatan digital, adalah konvergensi teknologi digital dengan kesehatan, perawatan kesehatan, kehidupan, dan bagi masyarakat untuk meningkatkan efisiensi pemberian perawatan kesehatan dan membuat obat-obatan lebih personal dan tepat. Kesehatan digital memiliki cakupan yang luas dan mencakup penggunaan perangkat yang dapat dikenakan, kesehatan seluler, telehealth atau telemedicine, dan teknologi informasi kesehatan.
2. Kecerdasan Buatan
Kecerdasan buatan adalah simulasi dari kecerdasan yang dimiliki oleh manusia yang dimodelkan di dalam mesin dan diprogram agar bisa berpikir seperti halnya manusia. Artificial Intelligence (AI) atau dikenal dengan kecerdasan buatan dalam bahasa Indonesia merupakan salah satu cabang ilmu komputer yang bertujuan untuk mengembangkan sistem dan mesin yang dapat melakukan tugas-tugas yang biasanya membutuhkan kecerdasan manusia ( Nehemia & Hendayana, 2024).
AI dapat melakukan berbagai tugas seperti mengenali gambar, menulis puisi, membuat prediksi berbasis data, merespons percakapan manusia, membuat gambar dan teks orisinal, serta membuat saran cerdas untuk analitik. Artificial Intelligence (AI) telah menunjukan kemampuannya yang luar biasa dalam revolusi di bidang kesehatan. Teknologi ini untuk memungkinkan analisis data yang kompleks dan pengambilan keputusan yang lebih akurat, membuka peluang baru untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan dan mempermudah akses kesehatan bagi semua orang ( Thaariq, 2024). Selain itu, menurut Halim & Mudjihartono (2022) Kecerdasan buatan juga merupakan sebuah bidang studi dan desain agen cerdas, yang di mana agen cerdas adalah sistem yang memahami lingkungan dan mengambil langkah - langkah untuk memaksimalkan peluang keberhasilan.
Kecerdasan buatan (AI) dalam dunia kesehatan merujuk pada penerapan teknologi yang memungkinkan sistem komputer untuk menganalisis data medis dan memberikan dukungan dalam diagnosis, perawatan, dan manajemen kesehatan.
B. Prinsip Dasar Etika Kesehatan
Dalam Prinsip Dasar Etika Kesehatan terkait Kecerdasan Buatan atau AI dapat
dijelaskan dengan 2 kelompok utama prinsip etika, yaitu:
1. Prinsip Umum
Prinsip umum adalah pedoman etis yang mendasari pengambilan keputusan dan praktik dalam bidang kesehatan, terutama dalam konteks penerapan teknologi digital dan AI. Prinsip umum terdiri dari empat prinsip inti yang bertujuan untuk mempromosikan keadilan dan martabat manusia dalam konteks pengunaan teknologi digital dan kecerdasan buatan (AI). Empat prinsip inti tersebut adalah Martabat Manusia (Human Dignity) yaitu Mengharuskan penghormatan terhadap nilai dan individualitas setiap orang , Keadilan (Justice) yaitu Menekankan pentingnya distribusi sumber daya kesehatan yang adil untuk mengurangi disparitas dalam akses layanan kesehatan, Tidak Merugikan (Non-maleficence) yaitu Menyiratkan kewajiban untuk menghindari tindakan yang dapat membahayakan pasien, memastikan bahwa semua intervensi tidak menyebabkan kerugian., dan Manfaat (Beneficence) yaitu Mendorong tindakan yang bertujuan untuk memberikan manfaat maksimal bagi pasien dan masyarakat, termasuk upaya untuk meningkatkan kesehatan secara keseluruhan. (Prathomwong & Singsuriya, 2022).
2. Prinsip Manajemen
Prinsip manajemen berfungsi untuk mendukung penerapan prinsip umum. Ini mencakup pengelolaan isu-isu etis dalam konteks penggunaan teknologi digital dan AI dalam kesehatan. Prinsip-prinsip ini dirancang untuk memastikan bahwa teknologi digunakan secara etis, dengan mempertimbangkan dampak sosial dan kesehatan. Terdiri dari seperangkat pedoman yang dirancang untuk mendukung penerapan prinsip-prinsip umum etika kesehatan.
C. Perkembangan Pedoman dan Kerangka Hukum Penggunaan Kesehatan Digital dan Kecerdasan Buatan di Dunia Kesehatan
Di tingkat Internasional, berbagai kebijakan telah ditetapkan untuk mengatur penggunaan kesehatan digital. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah meluncurkan Strategi Global Kesehatan Digital 2020-2025 dengan tujuan memperkuat sistem kesehatan melalui teknologi digital, melibatkan semua pihak mulai dari pasien hingga penyedia layanan. Strategi ini dirancang agar dapat diterapkan di berbagai negara, termasuk negara-negara dengan keterbatasan akses teknologi, barang, dan layanan digital. Menurut Lukitawati (2023) ada Uni Eropa yang telah memperketat perlindungan data pribadi dalam sektor kesehatan digital melalui Peraturan Perlindungan Data Umum (GDPR), ada Singapura dengan sistem National Electronic Health Record (NEHR) yang diluncurkan pada tahun 2011 dan beralih ke private cloud untuk menyimpan data kesehatan. Negara lain seperti Korea Selatan dan Thailand juga memiliki model kesehatan digital yang kuat.
Di negara Indonesia sendiri, Sebelum terjadinya pandemi Covid-19, Indonesia telah memulai tahap awal pembentukan kerangka peraturan untuk telemedis. Inovator seperti Halodoc dan Alodokter berada di garis depan, mempelopori transformasi layanan kesehatan digital di negara ini. Sebelum dikeluarkannya peraturan khusus telemedis oleh pemerintah, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) telah menerapkan praktik telemedis antar fasilitas kesehatan. Inisiatif yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Telemedis Melalui Fasilitas Pelayanan Kesehatan ini bertujuan untuk memfasilitasi konsultasi antar fasilitas kesehatan di Indonesia untuk tujuan diagnosis, rekomendasi terapi, dan rencana pencegahan penyakit
Saat pandemi COVID-19 melanda, kebutuhan akan layanan kesehatan jarak jauh atau telemedis meningkat drastis. Pembatasan aktivitas masyarakat membuat akses layanan kesehatan tatap muka menjadi sulit. Sayangnya, layanan telemedis yang ada saat itu masih terbatas dalam hal cakupan dan jenis layanan yang ditawarkan. Akibatnya, penanganan penyakit non-COVID-19 menjadi terkendala. Setelah pandemi mereda, pemerintah berupaya mengembangkan layanan telemedis lebih lanjut, namun terkendala oleh kurangnya regulasi yang komprehensif. Beberapa peraturan yang sebelumnya dibuat untuk menanggapi pandemi telah dihapus, dan belum ada kerangka hukum yang kuat untuk mendukung pengembangan layanan kesehatan digital di Indonesia.
D. Kerangka Hukum dan Kebijakan Pelayanan Kesehatan Digital dan Penggunaan Kecerdasan Buatan di Dunia Kesehatan
Regulasi terkait kesehatan digital dan penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam dunia kesehatan di Indonesia masih dalam tahap pengembangan. Meskipun belum ada peraturan khusus yang secara eksplisit mengatur AI dan kesehatan digital di sektor kesehatan, terdapat beberapa regulasi dan kebijakan yang relevan yang dapat memberikan kerangka hukum untuk penggunaannya. Beberapa peraturan terkait TIK yang berhubungan dengan Telemedicine di Indonesia, yaitu :
Pasal 28C ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
UU No 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan
UU No. 29/2004 tentang Praktik Kedokteran
UU No. 19/2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik;
UU No. 44/2009 tentang Rumah Sakit;
PP No. 46/2014 tentang Sistem Informasi Kesehatan;
PP No. 47/2016 tentang Fasilitas Pelayanan kesehatan;
PMK No. 269/2008 tentang Rekam Medis;
PMK No. 2052/2011 tentang Ijin Praktik dan Pelaksanaan Praktik Kedokteran;
PMK No. 90/2015 tentang Penyelengaraan Pelayanan Kesehatan di Fasilitas Pelayanan Kesehatan Kawasan Terpencil dan Sangat Terpencil;
PMK No. 46/2017 tentang Strategi e‐Kesehatan Nasional;
PMK No. 20/2019 tentang Penyelenggaraan Telemedicine Antar Fasilitas Pelayanan Kesehatan;
Permenkominfo No. 4/2016 tentang Sistem Manajemen Pengamanan Informasi;
Permenkominfo No. 20/2016 tentang Perlindungan Data Pribadi dalam Sistem Elektronik;
Kepmenkes No. 409/2016 tentang Rumah Sakit Uji Coba Program Pelayanan Telemedicine Berbasis Video Conference dan Teleradiologi;
Kepmenkes No. 650/2017 tentang Rumah Sakit dan Puskesmas Penyelenggara Uji Coba Program Pelayanan Telemedicine;
Kepmenkes No. 4829/2021 tentang Pedoman Pelayanan Kesehatan Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19).
Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia Nomor 74 Tahun 2020 tentang Kewenangan Klinis dan Praktik Kedokteran Melalui Telemedicine Pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di Indonesia;
Surat Edaran No. HK.02.01.MENKES/303/2020 tentang Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan Melalui Pemanfaatan Teknologi Informasi dan Komunikasi Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19.
E. Peraturan tentang Penggunaan Kecerdasan Buatan di Dunia Kesehatan
Penggunaan kecerdasan buatan (AI) dalam bidang kesehatan diatur oleh berbagai peraturan dan pedoman yang bervariasi di setiap negara, dengan tujuan untuk memastikan bahwa teknologi tersebut digunakan secara aman dan efektif. Beberapa peraturan utama yang mengatur penggunaan AI dalam kesehatan meliputi:
1. Regulasi Perangkat Medis Digital:
a. FDA (Food and Drug Administration) di Amerika Serikat : FDA ialah lembaga pengawas obat dan makanan Amerika Serikat yang mengatur regulasi terkait produk yang dipasarkan di negara tersebut. Pengawasan FDA terhadap perangkat medis, termasuk perangkat diagnostik in vitro (IVD atau uji laboratorium), di Amerika Serikat merupakan hasil langsung dari disahkannya Amandemen Perangkat Medis tahun 1976 (Hackett, 2005). AI yang digunakan dalam diagnosis atau pengobatan dianggap sebagai perangkat medis dan harus mendapatkan persetujuan dari FDA. Proses ini mencakup penelitian awal, pengujian pada manusia, dan evaluasi risiko untuk memastikan bahwa produk tersebut memenuhi standar keselamatan dan efektivitas (Hackett,2005).
b. CE Marking di Uni Eropa: Perangkat medis berbasis AI yang dijual di Eropa harus memenuhi standar keselamatan dan efektivitas yang ditetapkan oleh European Medicines Agency (EMA) dan mendapatkan tanda CE. CE marking adalah pernyataan dari produsen bahwa produk mereka memenuhi semua persyaratan peraturan Eropa, khususnya Regulation (EU) 2017/745 tentang perangkat medis (MDR) dan Regulation (EU) 2017/746 tentang perangkat medis in vitro (IVDR). Penandaan CE adalah standar Eropa untuk sertifikasi produk. Istilah ‘CE’ adalah singkatan Prancis untuk “Conformite Europene”, yang dalam bahasa Inggris disebut “European Conformity”. Tanda CE, yang ditempelkan pada suatu produk atau kemasannya, dianggap sebagai bukti bahwa suatu produk telah memenuhi persyaratan standar Eropa yang diselaraskan.
c. BPOM di Indonesia: BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) mengatur perangkat medis dan aplikasi berbasis AI yang digunakan dalam diagnosa atau pengobatan di Indonesia. Peraturan BPOM No. 8 Tahun 2024 menetapkan tata laksana persetujuan pelaksanaan uji klinik untuk berbagai produk kesehatan, termasuk obat dan pangan olahan. BPOM mengadakan seminar dan konsultasi publik pada 10/9/2024 untuk menggali potensi pemanfaatan AI dalam proses pendaftaran produk, terutama pangan olahan. Kegiatan ini bertujuan untuk mengidentifikasi tantangan serta mencari solusi dalam integrasi AI dalam sistem e-registrasi berbasis pendekatan risiko (risk-based approach). Walaupun, tidak secara spesifik menjelaskan terkait kesehatan/medis, namun hal ini menunjukkan BPOM mempertimbangkan penggunaan AI dalam sektor kesehatan.
2. Perlindungan Data Pribadi
a. GDPR (General Data Protection Regulation) di Eropa: General Data Protection Regulation (GDPR) adalah undang-undang privasi yang diberlakukan oleh Uni Eropa pada 25 Mei 2018. Menjamin perlindungan data pribadi pasien yang digunakan dalam sistem berbasis AI, dengan prinsip privasi dan kontrol terhadap data. Data pribadi mengacu pada informasi yang berkaitan dengan alam yang teridentifikasi atau dapat diidentifikasi orang (selanjutnya disebut “subjek data”), orang alami yang dapat diidentifikasi adalah orang yang dapat diidentifikasi, secara langsung atau tidak langsung, melalui cara seperti penugasan pengenal online ( GDPR, 2016). Peraturan GDPR dijelaskan dalam Pasal 24 No. 2 GDPR terkait tanggung jawab pengontrol yang berbunyi “Apabila proporsional dalam kaitannya dengan aktivitas pemrosesan, tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 harus mencakup penerapan kebijakan perlindungan data yang tepat oleh pengontrol”.
b. UU Perlindungan Data Pribadi di Indonesia (UU PDP): Mengatur penggunaan data pribadi dalam sektor kesehatan, termasuk penggunaan AI yang memerlukan persetujuan eksplisit dari pasien. UU PDP mendefinisikan data pribadi sebagai informasi yang dapat mengidentifikasi individu, baik secara langsung maupun tidak langsung. Hal ini terdapat pada Undang-Undang nomor 27 Tahun 2022 tentang Pelindungan Data Pribadi (UU PDP) bahwa pelindungan data pribadi merupakan salah satu hak asasi manusia yang merupakan bagian dari pelindungan diri pribadi maka perlu diberikan landasan hukum untuk memberikan keamanan atas data pribadi, berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam konteks kesehatan, UU PDP mengatur bahwa data pribadi mencakup informasi sensitif seperti riwayat kesehatan, hasil tes laboratorium, dan data medis lainnya. Ini menjadikan perlindungan data pribadi di sektor kesehatan sangat penting karena informasi ini dapat digunakan untuk mengidentifikasi individu secara langsung.
3. Standar Kualitas dan Keamanan Teknologi Kesehatan Digital
a. Pedoman World Health Organization (WHO) dan International Medical Device Regulators Forum (IMDRF), mengembangkan pedoman etika dan keamanan untuk penggunaan AI dalam sektor kesehatan, termasuk masalah transparansi, tanggung jawab, dan pengawasan. Untuk WHO sendiri telah mngeluarkan enam prinsip utama untuk penggunaan etis kecerdasan buatan dalam kesehatan. Enam prinsip yang dikemukakan oleh para ahlinya adalah melindungi otonomi, mempromosikan keselamatan dan kesejahteraan manusia, memastikan transparansi, mendorong akuntabilitas, memastikan kesetaraan, dan mempromosikan alat yang responsif dan berkelanjutan. Pedoman etika ini juga berfokus pada pentingnya melibatkan profesional medis dalam proses pengambilan keputusan berbasis AI dan memastikan bahwa AI tidak menggantikan peran dokter atau tenaga medis.
b. ISO/IEC 27001 dan ISO 13485, ISO/IEC 27001 adalah standar internasional untuk Sistem Manajemen Keamanan Informasi (ISMS). Standar ini memberikan kerangka kerja untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengelola risiko keamanan informasi, serta menetapkan kebijakan dan prosedur yang diperlukan untuk melindungi kerahasiaan, integritas, dan ketersediaan informasi. Sertifikasi ISO 27001 telah diadopsi oleh berbagai platform kesehatan digital, seperti Good Doctor dan SATUSEHAT, untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap perlindungan data pengguna. Misalnya, SATUSEHAT berhasil mendapatkan sertifikasi ini, yang menandakan bahwa pengelolaan data kesehatan di platform tersebut telah memenuhi standar internasional. Langkah-langkah yang diambil termasuk penggunaan teknologi enkripsi dan kontrol akses yang ketat untuk melindungi informasi pasien.
4. Pengawasan dan Regulasi Praktik Medis Digital
a. Telemedicine Regulations : banyak negara, termasuk Indonesia, mulai mengembangkan regulasi untuk telemedicine atau layanan kesehatan jarak jauh, yang memungkinkan pasien berkonsultasi dengan dokter secara virtual. Di Indonesia, Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 20/2019 tentang Telemedicine mengatur praktik telemedicine, termasuk dalam hal penggunaan aplikasi untuk konsultasi medis jarak jauh. Pada Pasal 1 Angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 20 Tahun 2019 berbunyi Telemedicine adalah pemberian pelayanan kesehatan jarak jauh oleh profesional kesehatan dengan menggunakan teknologi informasi dan komunikasi, meliputi pertukaran informasi diagnosis, pengobatan, pencegahan penyakit dan cedera, penelitian dan evaluasi, dan pendidikan berkelanjutan penyedia layanan kesehatan untuk kepentingan peningkatan kesehatan individu dan masyarakat.
b. Regulasi tentang Konsultasi Online : Aplikasi yang menyediakan layanan konsultasi medis online harus memenuhi standar yang ditetapkan oleh Kementerian Kesehatan atau badan regulator lainnya, termasuk aturan tentang sertifikasi tenaga medis dan prosedur klinis yang aman. Hal ini dijelaskan pada Peraturan Pemerintah No 28 tahun 2024 yang berbunyi “Telemedisin adalah pemberian dan fasilitasi layanan klinis melalui telekomunikasi dan teknologi komunikasi digital”.
5. Regulasi tentang Inovasi dan implementasi Teknologi Kesehatan Digital
a. Pedoman Etika Penggunaan AI dalam Kesehatan: Artificial Intelligence (AI) yang digunakan dalam kesehatan digital telah diatur oleh berbagai badan etika dan teknis. WHO telah menyusun pedoman yang mencakup enam prinsip etis utama dalam penggunaan AI di bidang kesehatan, termasuk perlindungan otonomi pasien, peningkatan kesejahteraan, transparansi, tanggung jawab, inklusivitas, dan pengembangan teknologi yang berkelanjutan. Pedoman ini bertujuan untuk membantu semua pemangku kepentingan mulai dari pasien hingga penyedia layanan untuk mengintegrasikan norma-norma etika dalam setiap aspek pelayanan kesehatan.
b. Inovasi dan Uji Coba Klinis: Teknologi kesehatan digital telah mengalami perkembangan yang signifikan, membawa inovasi yang meningkatkan efisiensi, aksesibilitas, dan kualitas layanan kesehatan. Beberapa inovasi seperti Telemedicine atau konsultasi jarak jauh antara pasien dan dokter, ada Rekam Medis Elektronik (EMR) yang menggantikan pencatatan manual dengan sistem digital, kemudian Kecerdasan Buatan (AI) yang digunakan untuk menganalisis data medis dan membantu dalam mendiagnosis penyakit, lalu ada Wearable Devices yaitu alat yang dapat dipakai seperti jam tangan pintar yang menghubungkan kondisi kesehatan seperti detak jantung dan tekanan darah, dan Blockchain untuk meningkatkan keamanan data medis dengan memungkinkan penyimpanan dan berbagi informasi secara aman. Teknologi digital biasanya harus menjalani uji coba klinis untuk memastikan bahwa teknologi tersebut aman dan efektif. Proses ini melibatkan beberapa tahap seperti prototipe pengembangan, uji coba awal, uji coba skala lebih besar, analisis data, regulasi dan persetujuan, implementasi dan pemantauan.
6. Regulasi di Indonesia:
a. Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) No. 4/2019: Menetapkan Standar Teknis Pemenuhan Mutu Pelayanan Dasar pada Standar Pelayanan Minimal Bidang Kesehatan. Permenkes No. 4/2019 bertujuan untuk meningkatkan mutu pelayanan dasar di fasilitas kesehatan, dengan mengacu pada Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang ditetapkan oleh pemerintah. Peraturan ini didasarkan pada beberapa undang-undang, yaitu UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang kesehatan, Pasal 36 Ayat(1) yang berbunyi “Pemerintah menjamin ketersediaan, pemerataan, dan keterjangkauan perbekalan kesehatan, terutama obat esensial.” Pasal 36 Ayat(2) berbunyi “Dalam menjamin ketersediaan obat keadaan darurat, Pemerintah dapat melakukan kebijakan khusus untuk pengadaan dan pemanfaatan obat dan bahan yang berkhasiat obat.” Selanjutnya Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2018 tentang Standar Pelayanan Minimal yang berbunyi “SPM ditetapkan dan diterapkan berdasarkan prinsip kesesuaian kewenangan, ketersediaan, keterjangkauan, kesinambungan, keterukuran, dan ketepatan sasaran.”
b. Peraturan lainnya: Regulasi terkait penerapan teknologi kesehatan digital di Indonesia mencakup beberapa peraturan yang mengatur penggunaan dan penyelenggaraan layanan kesehatan berbasis teknologi. Peraturan di Indonesia terkait penerapan teknologi kesehatan digital bertujuan untuk memastikan bahwa penggunaan teknologi dalam pelayanan kesehatan tidak hanya efektif tetapi juga aman dan sesuai dengan standar yang ditetapkan. Dengan adanya kerangka hukum yang jelas, diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas layanan kesehatan serta memberikan perlindungan bagi pasien dan tenaga medis. Peraturan seperti UU Kesehatan menjadi dasar hukum utama untuk pengaturan layanan kesehatan, termasuk telemedis dan teknologi kesehatan digital. Permenkes No.20 Tahun 2019 yang mengatur penyelenggaraan pelayanan telemedis antar fasilitas pelayanan kesehatan. Peraturan ini menjelaskan definisi telemedis dan menetapkan pedoman untuk penyelenggaraan layanan kesehatan melalui teknologi komunikasi digital, termasuk diagnosis, pengobatan, dan pendidikan berkelanjutan bagi tenaga medis. Keputusan Menteri Kesehatan tentang Penerapan SPBE yang mengatur transformasi digital dalam pelayanan kesehatan, termasuk penerapan sistem pemerintahan berbasis elektronik untuk meningkatkan kualitas layanan dan transparansi dalam pengelolaan data kesehatan. PP No. 28 Tahun 2024 pengatur pelaksanaan UU Kesehatan yang mencakup teknologi kesehatan, termasuk pengembangan dan evaluasi teknologi kesehatan yang digunakan dalam pelayanan medis.
Secara umum, peraturan yang mengatur AI dalam kesehatan berfokus pada tiga aspek utama: keamanan pasien, perlindungan data pribadi, dan penggunaan teknologi dengan cara yang etis dan akuntabel. Namun, regulasi ini masih terus berkembang seiring dengan kemajuan teknologi AI dalam sektor kesehatan.
STUDI KASUS
Manufaktur Robot Bedah Digugat karena Sebabkan Pasien Kanker Usus Besar Meninggal
Robot bedah da Vinci telah menyebabkan luka bakar di bagian usus kecil seorang pasien kanker usus besar. Gugatan pun dilayangkan ke manufaktur robot. Harvey Sultzer, seorang laki-laki di Amerika Serikat, pada 6 Februari 2024, melayangkan gugatan pada Intuitive Surgical, karena robot bedah buatan manufaktur tersebut, telah menyebabkan lubang terbakar pada organ dalam istrinya Sandra Sultzer, yang sakit kanker usus besar. Kejadian ini telah menyebabkan kematian Sandra.
Sultzer mengatakan istrinya mengalami masalah kesehatan sebagai dampak dari operasi yang dilakukan robot bedah tersebut. Sandra menjalani operasi di rumah sakit Baptist Health Boca Raton Regional pada September 2021 untuk mengobati kanker usus besarnya atau kanker kolon. Operasi dengan robot bedah bernama da Vinci ini, dikendalikan dari jarak jauh.Menurut iklan Intuitive Surgical, robot bedah da Vinci ini memungkinkan tindakan yang presisi melampaui tangan manusia yang dirancang untuk ketangkasan alami bagi dokter bedah hanya dengan sayatan kecil sehingga memungkinkannya prosedur invasif seminimal mungkin.
Dalam gugatan yang dilayangkan itu, Sandra meninggal pada Februari 2022 sebagai akibat langsung luka yang dideritanya setelah melakukan operasi dengan robot bedah tersebut. Dituliskan pula dalam gugatan, Intuitive Surgical tahu robot da Vinci memiliki masalah insulasi yang bisa menyebabkan kerusakan pada organ dalam. Namun pihak perusahaan tidak memberi tahu keluarga.
Disebutkan pula, Intuitive Surgical sebenarnya sudah menerima ribuan laporan mengenai luka dan kecacatan terkait robot bedah tersebut. Namun Intuitive Surgical tidak meneruskannya ke Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat. Gugatan hukum itu mengklaim kalau Intuitive Surgical gagal melatih dokter cara menggunakan sistem robot da Vinci dan menjual robot-robot bedah itu ke rumah sakit yang belum berpengalaman dalam mengoperasikan robot bedah.
Sultzer menggugat Intuitive Surgical sebesar lebih dari USD75 ribu (Rp 1,1 miliar) atas tuduhan kelalaian, tanggung jawab produk, termasuk kecacatan desain dan gagal dalam memberikan peringatan, hilangnya konsorsium dan ganti rugi. Robot bedah da Vinci merupakan salah satu angkatan pertama dalam robot bedah yang diluncurkan Intuitive Surgical pada 1999. Setelah menerima persetujuan dari badan obat dan makanan Amerika Serikat, robot bedah itu disebut memiliki sejumlah kelemahan.
DISKUSI
A. Keterkaitan dengan Nilai Pancasila
Mengacu pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, isu ini mengemukakan pertanyaan mendasar mengenai harga diri kehidupan manusia. Perusahaan teknologi medis memiliki kewajiban etis yang tidak terpisahkan untuk menjaga keamanan pasien sebagai hadiah terpenting. Dalam situasi Sandra Sultzer, ketidakmampuan Intuitive Surgical untuk memberikan informasi yang jelas mengenai risiko penggunaan robot bedah secara nyata telah melanggar prinsip penghormatan terhadap kehidupan.
Pada sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, situasi ini menyoroti pelanggaran hak asasi manusia dalam sektor kesehatan. Perusahaan tidak hanya gagal dalam melindungi pasien, tetapi juga secara sistematis mengesampingkan keselamatan seseorang untuk kepentingan teknologi dan keuntungan bisnis. Ketidaktransparan dalam menyampaikan informasi risiko operasi robot bedah menggambarkan betapa jauh praktik itu dari prinsip keadilan dan kemanusiaan.
Walaupun terjadi di Amerika Serikat, peristiwa ini memiliki arti yang universal yang berkaitan dengan sila ketiga, Persatuan Indonesia. Ini mengingatkan kita akan signifikansi solidaritas kemanusiaan yang melintasi batas-batas geografis. Peristiwa ini memberikan pelajaran internasional mengenai etika dalam inovasi teknologi medis, di mana kemajuan teknologi harus selalu sejalan dengan empati dan tanggung jawab sosial.
B. Pelanggaran Etika Dan Hukum Kesehatan
Prinsip etika dan hukum kesehatan dapat dianggap dilanggar, baik oleh produsen robot bedah maupun oleh pihak medis yang menggunakan perangkat tersebut. Prinsip-prinsip etika kesehatan yang terlibat dalam situasi ini meliputi:
1. Prinsip Justice / Keadilan
Prinsip ini berkaitan dengan memberikan perlakuan yang adil dan setara kepada semua pasien tanpa diskriminasi. Dalam konteks ini, keadilan juga mengacu pada pemberian akses terhadap teknologi medis yang aman dan efektif, serta memastikan bahwa teknologi tersebut tidak hanya tersedia untuk kalangan tertentu, tetapi dapat digunakan dengan aman oleh siapa saja.
2. Prinsip Beneficence / Kewajiban Untuk Melakukan Kebaikan
Prinsip ini mengharuskan para profesional medis dan produsen untuk bertindak demi kebaikan pasien, memastikan bahwa teknologi yang digunakan membawa manfaat yang lebih besar daripada risiko yang ada. Teknologi medis seperti robot bedah harus terbukti dapat memberikan manfaat signifikan bagi pasien, tanpa menimbulkan bahaya yang lebih besar. Jika robot bedah menyebabkan cedera serius atau kematian, ini menunjukkan bahwa teknologi tersebut mungkin tidak memberikan manfaat yang sebanding dengan resikonya dalam kasus tertentu sehingga perlu dipertimbangkan lebih lanjut dalam pengoperasiannya.
3. Prinsip Non Maleficence / Tidak Menyebabkan Kerugian
Prinsip ini menyatakan bahwa seorang profesional medis harus selalu bertindak untuk menghindari kerugian atau cedera pada pasien. Ini juga termasuk memastikan bahwa alat atau teknologi medis yang digunakan tidak menyebabkan lebih banyak kerugian daripada manfaat. Robot bedah menyebabkan luka bakar atau cedera yang tidak disengaja pada pasien, dan ini berujung pada kematian, maka prinsip non-maleficence jelas dilanggar.
4. Prinsip Veracity (Kebenaran)
Prinsip ini menekankan kewajiban untuk memberikan informasi yang jujur dan akurat kepada pasien, termasuk tidak menyembunyikan fakta terkait potensi risiko atau kekurangan dalam teknologi medis. Dalam kasus tersebut, produsen robot bedah tidak mengungkapkan potensi cacat atau malfungsi yang mungkin terjadi dengan teknologi mereka. Seharusnya produsen memberitahu tahu pengguna tentang potensi malfungsi perangkat yang teridentifikasi, dan rumah sakit harus memastikan bahwa pasien diberi informasi yang cukup sebelum menyetujui penggunaan perangkat dalam prosedur medis.
Selain itu, etika dan hukum kesehatan telah diatur sedemikian rupa demi menghindari kasus-kasus seperti ini terjadi. Berikut adalah pelanggaran etika dan pasal-pasal hukum yang dilanggar dalam kasus robot bedah Da Vinci:
1. Kelalaian dalam Pengawasan dan Pengendalian Alat Kesehatan
Pelanggaran Etika: Manufaktur robot bedah, Intuitive Surgical, dianggap lalai dalam mengawasi dan mengendalikan kualitas produk medis yang dipasarkan. Mereka tidak memberikan informasi yang cukup kepada konsumen dan keluarga pasien mengenai masalah yang ada dengan produk tersebut, termasuk insulasi yang dapat menyebabkan kerusakan pada organ dalam.
Pasal yang Dilanggar:
a. Pasal 74 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2023 menyebutkan bahwa "Setiap produk alat kesehatan harus memenuhi standar keselamatan dan kualitas yang ditetapkan."
b. Pasal 74 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023 juga mengatur kewajiban produsen alat kesehatan untuk memberikan informasi yang jelas terkait potensi risiko yang dapat ditimbulkan oleh produk tersebut.
2. Kegagalan untuk Memberikan Peringatan atau Informasi yang Cukup
Pelanggaran Etika: Intuitive Surgical dianggap gagal memberikan peringatan atau informasi yang cukup mengenai masalah dengan robot bedah da Vinci, meskipun telah menerima ribuan laporan terkait kerusakan dan kecacatan pada produk tersebut. Selain itu, pasien (Sandra Sultzer) tidak diberikan penjelasan yang cukup mengenai risiko dan potensi kelemahan teknologi robot bedah, serta kegagalan dalam memberikan persetujuan yang diinformasikan (informed consent).
Pasal yang Dilanggar:
a. Pasal 57 UU No. 17 Tahun 2023 menyatakan bahwa setiap tindakan medis harus dilaksanakan setelah mendapatkan persetujuan yang jelas dari pasien setelah diberikan informasi lengkap mengenai prosedur dan risiko yang ada.
b. Pasal 75 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2023 mewajibkan produsen atau pihak yang bertanggung jawab atas alat kesehatan untuk memberikan informasi dan peringatan kepada pengguna mengenai bahaya atau risiko yang ditimbulkan dari produk tersebut.
3. Kurangnya Pelatihan bagi Tenaga Kesehatan
Pelanggaran Etika: Intuitive Surgical diduga tidak memberikan pelatihan yang memadai kepada dokter mengenai cara menggunakan sistem robot bedah tersebut, yang bisa berisiko menyebabkan kesalahan medis atau kecelakaan.
Pasal yang Dilanggar: Pasal 75 ayat (2) UU No. 17 Tahun 2023 menekankan bahwa produsen alat kesehatan harus memberikan pelatihan yang memadai untuk penggunaan alat tersebut, untuk menghindari kesalahan atau kecelakaan yang membahayakan pasien.
4. Produk dengan Kecacatan Desain (Produk Tidak Aman)
Pelanggaran Etika: Ada klaim bahwa desain robot bedah da Vinci memiliki cacat yang bisa menyebabkan kerusakan serius pada organ tubuh pasien. Produk yang cacat ini diduga menyebabkan luka bakar yang fatal pada pasien. Intuitive Surgical diketahui telah menerima ribuan laporan terkait insiden luka atau kecacatan yang disebabkan oleh robot bedah tersebut, tetapi tidak melaporkan masalah ini ke Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) atau otoritas terkait. Selain itu, mereka tidak mengambil tindakan korektif setelah mengetahui adanya masalah.
Pasal yang Dilanggar:
a. Pasal 56 UU No. 17 Tahun 2023 menegaskan bahwa setiap alat kesehatan yang digunakan dalam pelayanan medis harus memenuhi standar keselamatan yang dapat melindungi pasien dari risiko yang tidak diinginkan.
b. Pasal 66 UU No. 17 Tahun 2023 mengatur bahwa pemberi layanan kesehatan (termasuk produsen alat kesehatan) wajib melaporkan insiden yang mengancam keselamatan pasien kepada otoritas berwenang dan mengambil tindakan korektif yang diperlukan.
c. Pasal 72 ayat (1) UU No. 17 Tahun 2023 menyatakan bahwa alat kesehatan yang diproduksi harus bebas dari kecacatan yang membahayakan keselamatan pasien. Jika ditemukan cacat, produsen wajib menarik atau menarik produk tersebut dari peredaran dan mengganti kerugian yang ditimbulkan.
5. Tanggung Jawab atas Kerugian yang Diderita Pasien
Pelanggaran Etika: Pihak keluarga pasien menggugat Intuitive Surgical karena kelalaian yang menyebabkan kematian Sandra Sultzer. Ini mencakup klaim terhadap kelalaian dan tanggung jawab produk.
Pasal yang Dilanggar: Pasal 83 UU No. 17 Tahun 2023 mengatur mengenai tanggung jawab hukum produsen dalam kasus kecelakaan atau kerusakan yang disebabkan oleh alat kesehatan, yang harus memberi ganti rugi atau kompensasi bagi korban.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Kemajuan teknologi kesehatan digital dan kecerdasan buatan (AI) telah membawa dampak positif dalam meningkatkan efisiensi dan aksesibilitas pelayanan kesehatan. Teknologi seperti telemedicine, aplikasi kesehatan, dan perangkat AI mampu memberikan diagnosis yang lebih akurat serta mempercepat proses perawatan pasien. Namun, perkembangan ini juga menghadirkan tantangan besar, terutama terkait dengan isu etika dan hukum.
Kasus robot bedah da Vinci menunjukkan bagaimana kurangnya pengawasan, pelatihan, serta transparansi dapat berujung pada pelanggaran etika dan membahayakan pasien. Selain itu, regulasi di Indonesia mengenai kesehatan digital masih belum komprehensif, sehingga berpotensi menimbulkan risiko lebih besar jika tidak segera diperbaiki. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, penyedia layanan kesehatan, dan masyarakat untuk menciptakan kerangka hukum yang kokoh serta menerapkan prinsip etika yang kuat dalam penggunaan teknologi kesehatan digital dan AI.
B. Saran
1. Penguatan Regulasi
Pemerintah perlu mempercepat pengembangan regulasi yang komprehensif terkait teknologi kesehatan digital dan AI. Regulasi tersebut harus mencakup perlindungan data pasien, persyaratan kualitas produk, serta tanggung jawab hukum produsen.
2. Peningkatan Pelatihan dan Edukasi
Penyedia layanan kesehatan harus memberikan pelatihan intensif kepada tenaga medis mengenai penggunaan teknologi baru, termasuk AI dan perangkat digital lainnya. Ini penting untuk meminimalkan risiko kesalahan medis akibat kurangnya pemahaman teknis.
3. Transparansi dan Pengawasan
Perusahaan teknologi kesehatan wajib memastikan transparansi terkait potensi risiko alat medis mereka dan melaporkan masalah secara berkala kepada otoritas terkait. Pengawasan yang lebih ketat diperlukan untuk menjaga kualitas dan keamanan produk.
4. Kolaborasi Lintas Sektor
Semua pihak, mulai dari pemerintah, tenaga kesehatan, hingga masyarakat, harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem kesehatan digital yang beretika, aman, dan inklusif.
5. Penerapan Prinsip Etika
Dalam setiap inovasi teknologi, prinsip dasar etika seperti keadilan, martabat manusia, dan tidak merugikan harus selalu menjadi landasan utama.
DAFTAR PUSTAKA
Aris N. (2024, December 9). WHO mengeluarkan prinsip-prinsip etika dalam AI kesehatan. Koran Jakarta. https://koran-jakarta.com/who-mengeluarkan-prinsip-prinsip-etika-dalam-ai-kesehatan
AS. Indonesia. (2019). Sertifikasi CE Marking. Diakses pda tanggal 9 Desember 2024, https://ias-indonesia.org/sertifikasi-ce-marking/
DQS Global. (n.d.). Sertifikasi CE untuk perangkat medis. Diakses pada tanggal 9 Desember 2024, https://www.dqsglobal.com/id-id/informasi/pusat-pengetahuan-dqs/sertifikasi-ce-untuk-perangkat-medis
GDPR, G. D. P. R. (2016). General data protection regulation. Regulation (EU) 2016/679 of the European Parliament and of the Council of 27 April 2016 on the protection of natural persons with regard to the processing of personal data and on the free movement of such data, and repealing Directive 95/46/EC.
Hackett, J. L., & Gutman, S. I. (2005). Introduction to the Food and Drug Administration (FDA) regulatory process. Journal of proteome research, 4(4), 1110-1113.
Halim, W., & Mudjihartono, P. (2022). Kecerdasan Buatan dalam Teknologi Kedokteran: Survey Paper. Konstelasi: Konvergensi Teknologi Dan Sistem Informasi, 2(1)
Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia. (2022). Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi. Di akses pada tanggal 9 Desember 2024, https://jdih.kominfo.go.id/produk_hukum/view/id/832/t/undangundang+nomor 7+tahun+2022.
Lukitawati, R., & Novianto, W. T. (2023). Regulasi Layanan Kesehatan Digital di Indonesia: Tantangan Etis dan Hukum. Ajudikasi: Jurnal Ilmu Hukum, 7(2), 391- 414.
Nehemia, J. P., & Hendrayana, M. R. (2024). Tantangan Dan Manfaat AI Dalam Perlindungan Data Kantor: Mengoptimalkan Keamanan Informasi. Jurnal Transformasi Bisnis Digital, 1(3), 13-27.
Prathomwong, P., & Singsuriya, P. (2022). Ethical framework of digital technology, artificial intelligence, and health equity. Asia Social Issues, 15(5), Article 252136. https://doi.org/10.48048/asi.2022.252136
Tempo. (2024, Februari 6). Manufaktur robot bedah digugat karena sebabkan pasien kanker usus besar meninggal. Tempo.co. Diakses pada 15 Desember 2024, dari https://www.tempo.co/internasional/manufaktur-robot-bedah-digugat-karena-sebabkan-pasien-kanker-usus-besar-meninggal--87211
Thaariq, M. A., Baskara, M. D. M., Chaniago, R. A., Christin, D., & Ernawati, I. (2024, August). Systematic Literature Review: Analisis Penerapan Kecerdasan Buatan Dalam Bidang Kesehatan. In Prosiding Seminar Nasional Mahasiswa Bidang Ilmu Komputer dan Aplikasinya (Vol. 5, No. 1, pp. 168-173).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H