Tuhan, kumohon dengarkan. Jangan bawa tuan pun puan paling aku sayang. Setidaknya tidak sekarang, Tuhan. Kumohon, berbaik hati lah.
--
Ini cerita lama si tokoh Aku. Tentang bagaimana ia pada tiap penghujung malam bersimpuh bersujud. Tentang dunia yang ia pikir akan membuncah tepat saat itu. Tentang kupu-kupu di perut yang ia kira sudah mati membangkai. Tentang kopi tuan yang tak lekang diteguk, pun teh hijau puan nan tak kunjung disentuh. Tentang pagi berteman pilu, tak lupa malam berpeluk peluh.
"Yakin mau ambil kisah ini?"
"Tentu. biarkan aku nikmati luka nya lagi"
--
Pagi itu pukul delapan pagi, bintang surya paling besar yang manusia kenal tak kunjung menyapa. Dengan enggan baru munculkan sinar saat bumi hampir siang. Tak lama, segerombolan burung yang aku tak tahu jenis apa itu menyapa; jauh dari kata ramah. Semakin didengar, semakin yakin bukan sapaan walau tak ramah. Lebih seperti teriakan pemecah cermin bahkan. Layaknya mereka hendak kenalkan hal yang aku tak idam.
Dijalankan bak rutinitas baru, duduk tidak terlalu manis dengan pandangan terbilang pudar lurus ke sebuah layar persegi panjang bersuara di hadapan. Sudah banyak gelas bertumpuk terhitung sejak pagi sapa dunia. Anaknya memang kalau masuk kamar harus ditemani satu gelas berisi.
"Salma Putri Aditian?"
"Hadir, bu"