Sementara itu di malam berikutnya Raden Sekartanjung tiba-tiba saja bertanya kepada istrinya, "Apakah fajar masih jauh Dinda?"
Nyi Mas Ayu termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan suara yang dalam ia menjawab, "Ayam jantan sudah berkokok lewat tengah malam Kang Mas. Sebentar lagi kita akan sampai keujung malam ini."
Raden Sekartanjung tersenyum. Terdengar suaranya tensendat, "Rasa-rasanya malam ini terlalu panjang. Betapa cerahnya matahari terbit di esok pagi."
"Kang Mas, kita sudah jauh melewati tengah malam. Kita sudah berada di awal hari yang baru. Tetapi matahari belum menampakkan cahayanya."
Nyi Mas Ayu mengerutkan keningnya. Nampak sepercik ketegangan di wajahnya yang cantik. Perlahan-lahan ia mendekati Raden Sekartanjung. Seolah-olah diluar sadarnya ia meraba pergelangan kaki suaminya yang terbaring lemah itu.
"Kaki ini masih cukup hangat," berkata Nyi Mas Ayu didalam hatinya. "Nampaknya segalanya masih berjalan wajar. Tapi bisa saja keadaan Kanda Adipati berubah gawat, meskipun masih dapat merasakan rabaanku ini."
Namun demikian, sepercik kecemasan telah melonjak di hati Nyi Mas Ayu. Ia tidak tahu pasti apakah sebenarnya yang akan terjadi. Tetapi rasa-rasanya perasaannya telah terguncang oleh kegelisahan.
Ketika langit menjadi merah oleh cahaya fajar dan ayam berkokok terakhir kalinya di malam itu, Raden Sekartanjung mengerutkan keningnya. Yang menungguinya saat itu adalah istrinya yang gelisah, yang duduk di atas dingklik kayu di sudut ruangan.
"Dinda..," desis Raden Sekartanjung, "kau dengar ayam jantan berkokok?"
"Ya Kang Mas Adipati," jawab Nyi Mas Ayu sambil bergeser mendekat.
"Itu pertanda bahwa hari baru akan datang."