Mohon tunggu...
Rusman
Rusman Mohon Tunggu... Guru - Libang Pepadi Kab. Tuban - Pemerhati budaya - Praktisi SambangPramitra
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

"Hidupmu terasa LEBIH INDAH jika kau hiasi dengan BUAH KARYA untuk sesama". Penulis juga aktif sebagai litbang Pepadi Kab. Tuban dan aktivis SambangPramitra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

6. Rusman: Raden Sekartanjung, Adipati Tuban yang Terbunuh

21 September 2018   23:20 Diperbarui: 1 Maret 2019   14:43 1019
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Raden Ngangsar menarik nafas dalam dalam, ia merasa benar-benar dihadapkan pada seorang kakak yang telah mapan dalam pikiran dan hatinya. Jika ia mengenang bagaimana keperkasaan kakaknya saat berada di medan peperangan yang merupakan seorang ksatria sejati, maka ketika maut itu sendiri datang mendekat iapun sama sekali tidak meronta.

"Ia sebenarnya adalah seorang kakak dan panutan hidupku," berkata Raden Ngangsar dalam hatinya, "kini kalau akhirnya ia harus kembali ketempatnya yang abadi, itu adalah karena keserakahanku. Betul-betul seorang yang biadap aku ini. Apa yang telah aku lakukan terhadap saudaraku sendiri. Oh, ma'afkan aku Ramanda Balewot."

Raden Ngangsar yang masih berurai air mata itu mengangkat wajahnya yang tertunduk ketika ia mendengar kakandanya berkata, "Sudahlah. Sekarang berceriteralah tentang dirimu. Tentang apa yang akan kau lakukan terhadap peninggalan ayahanda, jika aku nanti dipanggil-Nya."

Raden Ngangsar termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah-wajah yang tegang pula di dalam bilik itu.

Sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian katanya, "Jangan begitu kakanda. Semuanya akan baik-baik saja. Kakanda akan segera sembuh."

"Kau harus siap. Bukankah kau tahu sendiri, keponakanmu Pemalat masih belum dewasa." namun kemudian nada suaranya menjadi dalam, "Yang salah aku sendiri, karena selama ini aku tidak membimbingmu secara sungguh-sungguh."

Raden Ngangsar bergeser sedikit. Jawabnya, "Jangan begitu Kanda, selama ini kau adalah saudaraku yang telah banyak memikirkan aku. Justru aku menyesal karena selama ini sering mengabaikan petuah-petuahmu."

Raden Sekartanjung tersenyum, "Aku yang salah juga kalau saat ini kaupun belum punya pilihan yang tepat siapa calon pendamping hidupmu, "katanya lemah pula, "Oh, dinda. Aku merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik bagimu."

Raden Ngangsar melihat mata yang cekung itu menjadi redup. Namun hanya sesaat, karena Raden Sekartanjungpun kemudian berkata, "Kau tentu belum beristirahat, dinda. Beristirahatlah."

Namun ketika suatu saat Raden Ngangsar duduk sendiri didalam bilik Raden Sekartanjung, maka kakaknya yang sudah sangat lemah itu sempat memberikan beberapa pesan kepadanya.

"Aku titip keponakanmu keduanya, dinda. Anakmu Pemalat adalah bocah yang keras hati," berkata Raden Sekartanjung hampir berbisik, "jika cara membimbing ibunya keras pula, maka di dalam kesehariannya kelak akan banyak sekali terjadi persoalan-persoalan. Untunglah kau sebagai pamannya mempunyai sifat yang agak lain. Mudah-mudahan kau berhati seluas samudra. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak boleh menentukan sifat. Jika perlu kau sekali-sekali harus bersikap keras pula terhadap anak itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun