Hari itu hari jum'at wage, ialah hari yang penuh berkah dan sekaligus menjadi hari libur bagi aktivitas Kanjeng Adipati Tuban dan seluruh punggawa kadipaten. Adipati Sekartanjung melestarikan tradisi libur jum'at yang sudah terlaksana secara turun temurun, yaitu sejak Ki Arya Teja memimpin Kadipaten yang disegani di pesisir utara ini.
Cuaca semakin cerah dan sinar mentaripun semakin terasa panas. Seperti biasa dari menara Masjid Besar Kedaton ada petugas yang telah mmulai melantunan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Suaranya melengking keras, pertanda bahwa Tuban saat itu sudah bersiap untuk menyambut aktivitas ibadah Sholat Jum'at.
Namun kesucian hari Jum'at ini telah dinodai oleh dua orang yang diam-diam telah bertemu di sebuah tempat yang cukup sepi. Seorang pemuda nampak mengulurkan sebuah benda terbungkus kain putih kepada seseorang yang sudah berusia lanjut. Tidak banyak yang mereka bicarakan, nampaknya di samping terburu oleh waktu juga mungkin telah ada kata sepakat di antara mereka.
Dan agaknya pertemuan dua orang itulah yang menjadi biang bagi kegaduhan yang luar biasa di siang hari itu. Tiba-tiba saja Tuban telah digegerkan oleh dua peristiwa mengerikan yang terjadi dan siapapun pasti tidak akan mengira kejadian biadab itu.
Belum lagi sholat Jum'at di Masjid Besar itu selesai ketika seseorang yang tidak dikenal telah tega berbuat jahat bahkan sangat jahat kepada Sang Adipati Tuban. Adipati yang terkenal sakti itu sedang melaksanakan ibadah sebagaimana jama'ah lainnya, dan tentu saja dia telah menanggalkan semua kebesaran ilmunya.
Seseorang yang amat sakti telah menusuk punggung sang adipati beberapa kali dengan sebuah keris.
"Augh.. ! Keluhan pendek Raden Sekartanjung. Cukup mengagetkan orang yang ada di kanan kiri pemimpin Tuban itu.
"Mampuslah kau adipati sombong!" Suara itu lirih namun cukup jelas di telinga Den Mas Tanjung.
Tentu saja suasana ibadah di Masjid Besar Kedaton itu menjadi gaduh. Sebagian masih melanjutkan sholatnya mengikuti sang Imam, namun orang-orang yang ada di kanan-kiri sang adipati segera berbuat untuk menolong junjungannya.
Segera saja tubuh Raden Sekartanjung menjadi oyong-oyongan serta mendapatkan pertolongan secukupnya. Tabib istana yang kebetulan juga tengah melakukan ibadah segera berbuat sesuatu. Sementara si pembuat onar telah kabur dengan membawa senjata yang ia gunakan. Tak seorangpun tahu siapa yang telah berbuat, karena peristiwa itu terjadi begitu cepat dan dilakukan dengan rencana yang masak pula.
Teka-teki besar segara menyelimuti kehidupan masyarakat Tuban dan seluruh punggawa kadipaten. Siapa gerangan yang tega dan berani senekat itu, berbuat sangat biadab kepada Raden Sekartanjung yang dicintai rakyatnya itu.
Namun hal yang terjadi di hari berikutnya ternyata tidak kalah mengejutkan. Tuban kembali digegerkan oleh peristiwa yang mengerikan. Di pagi hari yang masih agak gelap di sudut kota telah ditemukan sesosok mayat yang ternyata terbunuh dengan menggunakan sebuah keris. Anehnya korban yang sudah berusia lanjut itu terbunuh dengan keris Kyai Layon, senjata pusaka milik keraton Tuban.
"Ada mayat .., ada mayat!" teriak seorang pedagang yang hendak pergi ke pasar. Kontan teman-temannya yang berjalan tidak jauh dari lelaki itu segera mengeributi pula.
Keadaan itu segera terdengar oleh petugas kadipaten, dan tidak lama kemudian seorang perwira jaga disertai beberapa orang prajurit dating dan mengamankan mayat tersebut.
Sungguh merupakan peristiwa yang misterius bagi sebagian besar orang Tuban, meskipun tidak bagi Raden Sunan dan Raden Ngangsar sebab ternyata orang yang terbunuh itu tidak lain adalah Ki Guru Ngangsar.
Tuban sedang berduka dan dicekam ketakutan yang luar biasa, meskipun sebagian masyarakat masih bisa mengucap syukur karena junjungan mereka Raden Sekartanjung ternyata masih bisa diselamatkan.
Setelah dua peristiwa besar itu, kini Sang Adipati mendapatkan perawatan yang sungguh-sungguh di biliknya. Tabib istana yang laki-laki maupun perempuan tak henti-hentinya menjaga dan merawat, di samping para pengawal yang menjaganya dengan sangat ketat pula.
Sedangkan Permaisuri dan Raden Ngangsar secara bergantian menunggui kakaknya pula. Raden Ngangsar terperanjat ketika tiba-tiba ia mendengar kakandanya berbisik, "Masuklah."
Dengan ragu-ragu Raden Ngangsar melangkah masuk. Hatinya menjadi semakin berdebar-debar ketika ia kemudian melihat Kakandanya memiringkan kepalanya.
Seleret senyum membayang diwajah yang pucat itu. Kemudian terdengar suaranya parau dikerongkongan, "Kau ada di sini Dinda Ngangsar."
Rasa-rasanya dada Raden Ngangsar bagaikan bergetar. Suara Raden Sekartanjung yang lemah, dalam dan parau itu. bagaikan pertanda yang baru padanya tentang keadaan kakak kandungnya itu.
Perlahan-lahan Raden Ngangsar melangkah mendekati tubuh kakaknya. Sementara di dalam kamar terdapat juga kakak iparnya Nyi Mas Ayu dan seorang wanita setengah tua yang merupakan tabib istana. Sementara si jejaka kecil Pangeran Pemalat masih tetap berdiri diluar. Ia telah dipesan ibundanya untuk berada di dekat pintu kamar saja. "Kecuali kalau ibu panggil karena ayahanda memerlukanmu,"begitu pesan ibunda yang diingat Pangeran kecil ini. Lagipula adik Salampe yang sedang bersama pengasuh mungkin ingin mengajaknya bermain pula.
Raden Ngangsarpun kemudian duduk disebuah kursi kayu disisi pembaringan Raden Sekartanjung. sementara yang lain berdiri selangkah di belakang Raden Ngangsar.
"Kakanda," tiba-tiba saja Raden Ngangsar berdesis. Ada sesuatu yang terasa menghangati kerongkongannya.
Raden Sekartanjung tersenyum. Katanya, "Bagaimana keadaanmu dinda, apakah kau baik-baik saja?"
Raden Ngangsar mengangguk. Mau tidak mau air mata telah membasahi pipinya. Jawabnya, "Ya kakanda, aku baik-baik saja. Kau harus segera sembuh kakanda, kasihan anak-anak yang masih kecil."
"Jangan menangis Dinda, "kata Raden Sekartanjung lemah, "Kau seorang lelaki. Bukankah Ramanda Balewot mengajarkan pada kita untuk bisa tegar menghadapi segala cobaan?"
"Ya kanda. Ma'afkan adikmu ini, yang tidak bisa menjaga keselamatanmu," jawab Raden Ngangsar sambil menangis.
Raden Sekartanjung menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, "Lukaku memang parah. Kau berada agak jauh dari tempatku sholat waktu itu. Tetapi segala sesuatu tentang hidup seseorang tergantung sekali kepada Yang Maha Kuasa. Dan aku tidak akan ingkar akan setiap keputusan yang diambil-Nya tentang diriku. Sekarang, besok atau lusa."
"Ah,"desah Raden Ngangsar, "Kita semua di sini tentu akan berusaha banyak untuk menyembuhkan kakanda."
Raden Sekartanjung tersenyum. Katanya, "Aku sangat berterima kasih kepada segala pihak. Kepadamu juga. Dinda permaisuri yang telah berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meringankan penderitaanku. Kepada paman dan bibi tabib. Kepada semuanya yang telah merawat aku dengan sebaik-baiknya selama aku sakit ini."
"Kakanda akan sembuh." potong Raden Ngangsar.
Tetapi Raden Sekartanjung tersenyum pula. Dengan suara tertahan ia berkata, "Jangan seperti kanak-kanak Dinda Ngangsar, seolah-olah kita dapat menahan putaran hidup tentang diri kita masing-masing. Tetapi itu bukan berarti aku tidak mau berusaha. Aku masih tetap minum dan makan semua obatku. Memang segalanya dapat terjadi. Dan aku akan menerima apa saja dengan hati yang lapang."
Raden Ngangsar menarik nafas dalam dalam, ia merasa benar-benar dihadapkan pada seorang kakak yang telah mapan dalam pikiran dan hatinya. Jika ia mengenang bagaimana keperkasaan kakaknya saat berada di medan peperangan yang merupakan seorang ksatria sejati, maka ketika maut itu sendiri datang mendekat iapun sama sekali tidak meronta.
"Ia sebenarnya adalah seorang kakak dan panutan hidupku," berkata Raden Ngangsar dalam hatinya, "kini kalau akhirnya ia harus kembali ketempatnya yang abadi, itu adalah karena keserakahanku. Betul-betul seorang yang biadap aku ini. Apa yang telah aku lakukan terhadap saudaraku sendiri. Oh, ma'afkan aku Ramanda Balewot."
Raden Ngangsar yang masih berurai air mata itu mengangkat wajahnya yang tertunduk ketika ia mendengar kakandanya berkata, "Sudahlah. Sekarang berceriteralah tentang dirimu. Tentang apa yang akan kau lakukan terhadap peninggalan ayahanda, jika aku nanti dipanggil-Nya."
Raden Ngangsar termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya wajah-wajah yang tegang pula di dalam bilik itu.
Sejenak ia berdiam diri. Namun kemudian katanya, "Jangan begitu kakanda. Semuanya akan baik-baik saja. Kakanda akan segera sembuh."
"Kau harus siap. Bukankah kau tahu sendiri, keponakanmu Pemalat masih belum dewasa." namun kemudian nada suaranya menjadi dalam, "Yang salah aku sendiri, karena selama ini aku tidak membimbingmu secara sungguh-sungguh."
Raden Ngangsar bergeser sedikit. Jawabnya, "Jangan begitu Kanda, selama ini kau adalah saudaraku yang telah banyak memikirkan aku. Justru aku menyesal karena selama ini sering mengabaikan petuah-petuahmu."
Raden Sekartanjung tersenyum, "Aku yang salah juga kalau saat ini kaupun belum punya pilihan yang tepat siapa calon pendamping hidupmu, "katanya lemah pula, "Oh, dinda. Aku merasa gagal menjadi seorang kakak yang baik bagimu."
Raden Ngangsar melihat mata yang cekung itu menjadi redup. Namun hanya sesaat, karena Raden Sekartanjungpun kemudian berkata, "Kau tentu belum beristirahat, dinda. Beristirahatlah."
Namun ketika suatu saat Raden Ngangsar duduk sendiri didalam bilik Raden Sekartanjung, maka kakaknya yang sudah sangat lemah itu sempat memberikan beberapa pesan kepadanya.
"Aku titip keponakanmu keduanya, dinda. Anakmu Pemalat adalah bocah yang keras hati," berkata Raden Sekartanjung hampir berbisik, "jika cara membimbing ibunya keras pula, maka di dalam kesehariannya kelak akan banyak sekali terjadi persoalan-persoalan. Untunglah kau sebagai pamannya mempunyai sifat yang agak lain. Mudah-mudahan kau berhati seluas samudra. Tetapi itu bukan berarti bahwa kau tidak boleh menentukan sifat. Jika perlu kau sekali-sekali harus bersikap keras pula terhadap anak itu."
Raden Ngangsar menunduk. Ia mengerti sepenuhnya maksud kakaknya. Maka iapun kadang-kadang berpikir agar Yang Maha Kuasa kalau perlu tidak usah memberinya keturunan. Aku bertekad untuk mengasuh keponakan-keponakanku sampai tuntas, sebagai bentuk penyesalan atas kesalahanku.
Namun selanjutnya terdengar Raden Sekartanjung berkata selanjutnya, "Tetapi Dinda, kaupun harus berpikir pula tentang masa depanmu. Seingatku kau belum pernah berbicara serius tentang wanita yang mengikatmu. Jika dinda terlalu berlarut dengan suasana kehidupan di masa muda, maka hal itu tidak baik di hari esokmu ."
Masih banyak yang dikatakan oleh Raden Sekartanjung. Namun jika ada orang lain yang memasuki bilik itu, maka iapun terdiam dan berbaring tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Tetapi jika mereka telah meninggalkan bilik itu, Raden Sekartanjung melanjutkan pesan-pesannya kepada Raden Ngangsar sebagai bekal hidupnya dimasa depan.
"Aku juga sudah memberikan banyak nasehat kepada Nyi Mas Permaisuri," berkata Raden Sekartanjung, "tetapi iapun harus selalu diperingatkan setiap kali. Dan itu adalah tugasmu, karena kau adalah saudaranya pula satu-satunya."
Raden Ngangsar mennandang wajah kakaknya itu. Ia sangat berterima kasih atas segala pesan-pesannya. Tetapi iapun menyadari, bahwa Raden Sekartanjung harus banyak beristirahat.
Karena itu. maka dengan hati-hati ia kemudian berkata, "Kakanda, aku sangat senang mendengar petunjuk-petunjukmu. Tetapi aku mohon kau untuk dapat beristirahat agar keadaan kakanda menjadi bertambah baik."
Dan ketika Raden Sekartanjung tersenyum dan menganggukkan kepala, maka Raden Ngangsar segera keluar bilik kakaknya. Nyai tabib segera menggantikan kedudukannya.
Namun Raden Ngangsar mengerutkan keningnya ketika di malam berikutnya ia dipanggil lagi oleh Raden Sekartanjung. Kakaknya itu bertanya, "Kau belum tidur dinda?"
Raden Ngangsar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil melangkah mendekat ia menjawab, "Belum Kanda."
"Apakah masih ada tamu disini?"
"Tidak kanda, hanya para pengawal istana yang ada. Sedang kakanda Nyi Mas Ayu sedang menemani anak-anak."
Raden Sekartanjung berdesis lembut. Dan Raden Ngangsarpun melanjutkannya, "Tapi saat aku bertemu Eyang Sunan beliau menyatakan insyaAllah petang ini berkenan pula menjenguk kakanda."
"Eyang sunan? "Raden Sekartanjung mengulang dengan suaranya yang dalam.
"Ya, kakanda."
"Oh, bukankah aku sudah mencegah agar sakitku ini jangan diberitakan kemana-mana."
"Ma'af kanda, justru beliau yang menanyakan padaku bagaimana keadaan kakanda."
Sejenak Raden Sekartanjung terdiam. Terbayang olehnya seorang tua yang bijaksana. Semua yang dikatakan beliau selalu menjadi pedoman bagi orang lain. Aku harus bersiap menyambut kehadirannya, pikirnya.
Ternyata apa yang dikatakan Raden Ngangsar benar juga. Tidak lama setelah itu Nyi Mas Ayu Permaisuri mengabarkan kehadiran orang yang dihormati oleh keluarga kadipaten.
Raden Sekartanjung lantas tersenyum. Katanya: "Ya dinda Ayu, aku sudah bersiap datang ke pendapa untuk bertemu beliau," berkata Adipati Tuban itu, "Ayo dinda ayu, bimbinglah aku ke sana. Keadaanku cukup baik untuk menerima kehadiran eyang sekarang."
Raden Ngangsar termangu-mangu sejenak. Ia tahu benar, bahwa keadaan Raden Sekartanjung benar benar gawat. Wajahnya seakan-akan menjadi semakin pucat, sedangkan nafasnya rasa-rasanya menjadi semakin sendat.
Tetapi Raden Ngangsar tidak mengatakan sesuatu. Ia masih melihat wajah Raden Sekartanjung yang dihiasi dengan senyum sambil memandanginya. Sehingga karena itulah, maka iapun kemudian melangkah meninggalkan kakaknya sejenak untuk melihat ke pendapa.
Namun belum sempat ia berdiri, anak muda itu tertegun ketika di depan pintu kamar tiba-tiba saja telah muncul seorang kakek yang tersenyum hangat memandang ke arah mereka.
Eyang sunan diantar oleh Nyi Mas Permaisuri berdiri dimulut pintu bersama orang-orang lainnya.
Secerah kegembiraan nampak diwajah Raden Sekartanjung melihat kedatangan orang yang dia hormati. Namun sebaliknya, wajah Eyang Sunanlah yang kemudian menjadi muram melihat Raden Sekartanjung yang perkasa itu terbaring dengan wajah yang pucat dan tubuh yang nampaknya sangat lemah.
Bagaimanapun juga orang tua ini teringat sebab dari keadaan Raden Sekartanjung itu. Disaat terakhir Raden Sekartanjung bertempur di Muara sungai Kradenan di tepi pantai. Dengan demikian, maka Raden Sunan berkesimpulan bahwa cucunya ini mengalami keadaan yang gawat adalah karena membela kepentingan kadipaten.
Raden Sunan yang kemudian duduk disebuah kursi kayu disebelah pembaringan Raden Sekartanjung itupun menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara yang dalam ia bertanya, "Bagaimana keadaan cucunda saat ini?"
Raden Sekartanjung masih tersenyum. Sebelum menjawab ia justru bertanya tentang keselamatan perjalanan Eyang Sunan.
"Alhamdulillah, perjalananku tidak menjumpai kesulitan apapun cucunda," jawab Raden Sunan.
Raden Sunan meraba tangan Raden Sekartanjung yang lemah itu. Terasa tangan itu sangat dingin dan lemah. Bahkan rasa-rasanya tubuh Raden Sekartanjung tinggal kulit yang membalut tulang.
Namun Raden Sekartanjung nampaknya benar-benar orang yang tabah. Meskipun keadaannya nampak sangat gawat, tetapi ia masih saja tersenyum. Seperti ketabahannya dimedan perang.
Untuk beberapa saat lamanya Raden Sunan masih berbincang dengan Raden Sekartanjung dan sekali-sekali orang tua itu juga memberikan dorongan dan harapan bagi yang sedang sakit. Tetapi setiap kali Raden Sekartanjung hanya tersenyum saja. Dan Raden Sunanpun memakluminya.
Tapi ketika kemudian Raden Sunan meminta kehadiran Nyi Mas Permaisuri dan Raden Ngangsar ke dalam bilik itu, nampak mereka berempat membicarakan hal yang sungguh penting selama berjam-jam. Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas suasana menjadi cair saat Eyang Sunan keluar dari bilik dan mendapatkan kedua Pangeran yang masih belum dewasa. Kedua anak itu berangkulan menangis di pangkuan Eyang Sunan, di temani ibunya yang tidak kuasa pula membendung air matanya.
Sementara itu di malam berikutnya Raden Sekartanjung tiba-tiba saja bertanya kepada istrinya, "Apakah fajar masih jauh Dinda?"
Nyi Mas Ayu termangu-mangu sejenak. Kemudian dengan suara yang dalam ia menjawab, "Ayam jantan sudah berkokok lewat tengah malam Kang Mas. Sebentar lagi kita akan sampai keujung malam ini."
Raden Sekartanjung tersenyum. Terdengar suaranya tensendat, "Rasa-rasanya malam ini terlalu panjang. Betapa cerahnya matahari terbit di esok pagi."
"Kang Mas, kita sudah jauh melewati tengah malam. Kita sudah berada di awal hari yang baru. Tetapi matahari belum menampakkan cahayanya."
Nyi Mas Ayu mengerutkan keningnya. Nampak sepercik ketegangan di wajahnya yang cantik. Perlahan-lahan ia mendekati Raden Sekartanjung. Seolah-olah diluar sadarnya ia meraba pergelangan kaki suaminya yang terbaring lemah itu.
"Kaki ini masih cukup hangat," berkata Nyi Mas Ayu didalam hatinya. "Nampaknya segalanya masih berjalan wajar. Tapi bisa saja keadaan Kanda Adipati berubah gawat, meskipun masih dapat merasakan rabaanku ini."
Namun demikian, sepercik kecemasan telah melonjak di hati Nyi Mas Ayu. Ia tidak tahu pasti apakah sebenarnya yang akan terjadi. Tetapi rasa-rasanya perasaannya telah terguncang oleh kegelisahan.
Ketika langit menjadi merah oleh cahaya fajar dan ayam berkokok terakhir kalinya di malam itu, Raden Sekartanjung mengerutkan keningnya. Yang menungguinya saat itu adalah istrinya yang gelisah, yang duduk di atas dingklik kayu di sudut ruangan.
"Dinda..," desis Raden Sekartanjung, "kau dengar ayam jantan berkokok?"
"Ya Kang Mas Adipati," jawab Nyi Mas Ayu sambil bergeser mendekat.
"Itu pertanda bahwa hari baru akan datang."
"Ya Kang Mas."
"Dan umurku masih akan bertambah dengan sehari lagi."
"Ah," desis permaisuri, "Kang Mas masih akan melihat saat-saat matahari terbit dihari-hari berikutnya."
Raden Sekartanjung tertawa. Katanya, "Dinda, aku sama sekali tidak cemas melihat kenyataanku sekarang ini. Justru aku sadar, betapa kecilnya seseorang dihadapan Yang Maha Kuasa. Dan akupun pasrah, kapan aku harus menghadap-Nya."
Nyi Mas Ayu tertegun. Tetapi ketika ia akan berbicara suaminya mendahuluinya, "Mungkin orang lain perlu kata-kata penghibur, seolah-olah maut masih akan menjauhinya. Tetapi maut bagiku bukan sesuatu yang mencemaskan. Karena aku tahu, jika saatnya datang, tidak seorangpun akan dapat menghindar."
Nampak permaisuri itu semakin menunduk.
"Wong Ayu.., "bisik Raden Sekartanjung seraya memegang tangan istrinya.
"Ya Kang Mas, "jawab permaisuri sambil mencium tangan suaminya.
"Ingatlah betul apa yang diarahkan Eyang Sunan. Beliaulah sebenarnya pemilik negeri Tuban seisinya. Karena itu kita wajib mendengar petuah beliau."
"Ya Kang Mas."
"Jagalah anak-anakmu. Percayakan pada Dinda Ngangsar untuk membantu mengasuhnya, "berkata Raden Sekartanjung lagi, "Kalian harus tetap tinggal di lingkungan istana ini. Setidaknya di kaputren timur masih cukup luas untuk kalian tempati."
"Kang Mas.., "bisik permaisuri yang kini justru semakin terisak tangisnya.
"Aku yakin dinda, Eyang Sunan pasti tidak akan tega melepaskan anak-anak kita," berkata begitu tangan Raden Sekartanjung sambil membelai rambut dan kening istrinya, "kau harus tetap bersabar cah ayu."
Wanita yang cantik dan lembut itu semakin menjadi-jadi tangisnya. Wajahnya yang semakin nampak sayu segera ia tundukkan ke dada dan wajah suaminya.
"Istriku," berkata Raden Sekartanjung kemudian, "bukalah pintu bilik ini. Aku ingin melihat, apakah cahaya fajar hari ini cukup cerah."
Seolah-olah di luar sadar Nyi Mas Ayupun mengusap air matanya dan kemudian berdiri dan membuka pintu. Udara yang dingin memercik diwajahnya dan menyusup ke dalam bilik itu.
"Segarnya udara pagi," berkata Raden Sekartanjung.
Nyi Mas Ayu tidak menjawab. Tetapi untuk beberapa saat iapun tiba-tiba telah terpukau oleh warna-warna merah yang membayang di langit. Ketika ia melangkah kepinggir serambi, maka iapun melihat bintang-bintang yang menjadi semakin suram.
Wanita itupun kembali mendekati suaminya. Tetapi betapa terkejutnya ketika dia mendapatkan kenyataan yang berbeda. Kini Raden Sekartanjung tengah memejamkan mata dengan nafasnya yang tersenggal-senggal. Tentu saja hal ini sangat membuat gugup sang permaisuri.
"Kang Mas.., Kang Mas Adipati ..!" berkata wanita itu sambil meraba-raba wajah suaminya. Hatinya agak ringan saat suaminya membuka mata sambil tersenyum lemah.
"Istriku .., "bisik Raden Sekartanjung hampir tak terdengar.
"Kang Mas ...."
"Tempatkan kepalaku di atas pangkuanmu, sayang!"
"Ya, ya Kang Mas, " segera saja Nyi Mas Ayu menuruti permintaan suaminya. Tetapi sesaat wajah yang tampan itu sudah berada di pangkuannya, hal yang tak ia duga sama sekali terjadi.
Hati Nyi Mas Ayu terkesiap ketika Raden Sekartanjung tersenyum sambil berkata pelan sekali: "Terimakasih sayang, aku mencintaimu. Berhati-hatilah."
Dan mata Adipati Tuban yang sakti itupun terpejam untuk selamanya.
Kontan gegerlah istana Tuban mendengar tangisan yang meledak dari dalam bilik Sang Adipati.
"Kang Maaas ... !" Jeritan dari seorang istri yang kehilangan suami yang amat dicintainya. Tentu tak dapat dikendalikan lagi.
Orang-orang yang ada di sekitar pendapa terperanjat dan segera menghambur ke arah bilik Adipati. Namun terlambat, karena yang mereka dapatkan adalah dua sosok suami istri yang saling berpelukan. Sang suami telah menjadi jenazah sedangkan si istri telah dalam kondisi pingsan. ***
Keterangan :
- Kisah ini imajinasi belaka, namun diilhami dari kisah-kisah seblumnya.
- Penulis adalah pemerhati sejarah dan praktisi pendidikan di Tuban
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H