"Iya, mbok," Jinten meneguk air dari kendi dilanjut menempelkan bokong pada dipan bambu. Matanya menatap hamparan tanaman jagung serta singkong. Dikejauhan bentang cokelat air waduk membingkai pemandangan. Kecipak air menabrak tepian.
"Piye kuliahmu, le?
"Ya begitulah, mbok. Banyak tugas dan kegiatan." Tangannya meraih Blanggreng, mencuilnya sebelum dimasukkan kemulut. Gurih dan empur. Singkong goreng bikinan simboknya memang juara.
"Katanya di kota sering demo. Opo bener?"
"Simbok ngerti seko ngendi?"
"Radio."
Jinten tersenyum, "Bener, mbok." Mulutnya masih mengunyah. Tidak rela kalau perutnya belum berteriak, berhenti.
"Kowe melu demo? Koyo almarhum bapakmu?"(kamu ikut demo? Seperti almarhum bapakmu?). Ada ungkapan kekuatiran dibalik kalimatnya. "Rasah melu-melu yo, le. Kuliah wae sing bener"(tidak usah ikut-ikutan ya, le. Kuliah saja yang benar).
"Iya, mbok."
Gerakan mahasiswa sudah satu setengah tahun membuncah. Menyuarakan protes atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di negeri para pejuang.Â
Goncangan tambah seru manakala krisis moneter menghantam beberapa negeri Asia. Rupiahpun dibuat tak berdaya dihadapan hegemoni dolar paman Sam. Seperti mendapat stimulus. Gerakan tergenggam dengan jargon, Tiada hari tanpa demo.