Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kesumba di Tanah Perlawanan

15 Februari 2022   13:19 Diperbarui: 18 Februari 2022   00:40 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi batu nisan.| Sumber: Pixabay/Brenswaelz

Perahu berpenumpang tiga orang menyibak bentang air. Desau angin tidak begitu kencang. Menyapa wajah menyisir kulit raga. Lembut beraliran sopan. Jadi tidak perlu khawatir bila goyangan memukul badan perahu selama tak ada hujan badai. 

Dan memang, saat ini baru masa peralihan dari musim kemarau ke penghujan. Sebuah bukit kecil penuh rerimbun perdu tegak ditengah waduk arah yang dituju. Suara mesin perahu memutar bersama terawang pandang Supar. Ingatannya merengkuh peristiwa 33 tahun yang lalu.

***

"Ganti rugi yang sangat terlalu! Masa' 250 rupiah permeter?" Kartodikromo bersuara lantang ditengah balai desa. "Logika saudagar saja tak sampai. Kami akan kesulitan membeli tanah dengan ganti rugi sebesar itu."

Protesnya didukung warga desa yang lain. Hiruk pikuk menguasai rembuk desa. Sebuah teriakan disertai pukulan dimeja menghadirkan kesenyapan.

"Ini demi pembangunan!." Suara aparat memberangus suara ketidaksetujuan.

"Iya, kami tahu. Masalahnya, ganti ruginya terjun bebas", jawab Kartodikromo. "Janji 3000 rupiah permeter sudah kami genggam, pak. Itupun sebenarnya masih jauh dari harapan. Tanah sebelah saja kisaran harganya sepuluh ribu rupiah per meternya"

"Ini sudah keputusan! Kalian mau melawan kebijakan pemerintah!? Kalian sisa-sisa gerombolan PKI ya!" Kata-kata itu begitu hebat. Mampu merobohkan suara lantang Kartodikromo. 

Supar menatap kakaknya yang menahan amarah. Wajahnya memerah, tangannya mengepal hingga urat tersembul lekat. 

Kartodikromo yang dahulu hidupnya sederhana, lurus, pelahan-lahan bersinggungan dengan kemauan politik pemerintah. Pembangunan waduk Kedungombo cikal bakal kekecewaan serta perlawanan terhadap ketidakadilan.

Hari-hari selanjutnya intimidasi gentayangan mencari warga yang tidak mau menyerahkan tanahnya. Subversif dan PKI menjadi senjata untuk menekuk para pencari keadilan. Siapa yang tidak keder, takut, bergidik?

"Kita jangan takut!", Teriak Kartodikromo. "Jangan biarkan mereka mengusik lahan penghidupan kita."

"Tetapi aparat kian hari tambah brutal. Banyak dari kita digebuki. Bahkan penculikan juga menimpa warga."

"Apakah kita akan menyerah?" Ucapan Kartodikromo seolah-olah umpan bagi jiwa-jiwa pengecut. Wajah-wajah lugu menunduk pahit. Mereka membenarkan pendapat laki-laki asal Kedungbubrah. Tetapi juga mengkuatirkan sepak terjang pihak pemerintah.

"Bagi yang setuju pendapatku masuklah dalam barisanku." Kartodikromo telah membuat keputusan.

Perlawanan kelompok Kartodikromo membuat pemerintah naik pitam. "Tandai bagi mereka yang melawan. Kalau perlu sikat habis!" Jalinan yang dilakukan Kartodikromo ternyata mendapat sambutan dari desa lain. 

Mereka bahu membahu ditambah bantuan para aktivis luar daerah. Beberapa penggerak pro demokrasi sengkuyung, memberi energi perjuangan. Nama Kartodikromo berkibar. 

Aparat makin meningkatkan tekanan. Pos-pos penjagaan didirikan dititik tertentu guna mengantisipasi para penyusup yang bikin agitasi. Suasana desa mencekam. 

Curiga berarak timbul ke atas. Kewaspadaan dipupuk biar tak layu. Obor perlawanan menyala kencar-kencar. Hingga suatu hari jasad Kartodikromo ditemukan didekat rerimbun bambu. Penuh luka lebam dengan tulang tengkorak retak.

***

Isak tangis Sularmi menyelinap lirih di antara nisan kayu yang lapuk. Jinten menatap nanar gundukan tanah. Sesekali pandangannya mengunci sosok Simbok. 

Kedepan, cobaan apalagi yang akan dialami perempuan itu. Pikirannya berlompatan liar. Kejadian tersebut mengusik jiwanya. Dia tidak bisa menerima kematian bapaknya yang tragis.

Tragedi Kartodikromo memberi pukulan berat bagi warga dusun. Intimidasi pun terus bergerak tiada ampun. Kekalutan menerkam siapa pun dibarisan perlawanan. 

Pikiran dihantui teror yang tak habis-habis. Kabar tentang penduduk yang hilang ingatan dan bunuh diri mengiris batin. 

Supar terpaksa mengambil jalan pintas. Minggat. Keluar dari dusun bersama anak istrinya, raib entah ke mana. Rumah dikosongkan, harta benda ditinggalkan. Mesin teror bergerak seiring jadwal pembangunan yang kian dekat.

"Jika ganti rugi tidak diambil, jangan kecewa kalau kalian akan kesulitan dikemudian hari." Tak ada pilihan yang mengenakkan. Bagai buah simalakama. Sampai semua protes digulung tanpa peri.

***

Gambar diolah pakai Picsart
Gambar diolah pakai Picsart

"Sejak kapan tanaman ini tumbuh? Siapa yang menanam?" Selalu saja keheranan muncul dibenak warga bila melintas di pekuburan di mana Kartodikromo dikebumikan. 

Selama bukit kecil digunakan sebagai makam desa, belum pernah mereka melihat perdu setinggi 3 meteran menguasai areal itu. Sebuah keanehan. Atau selama ini mereka kurang perhatian? 

Tanaman itu tambah subur bila para penghuni baru dikubur disitu. Buahnya yang mirip rambutan bergelantungan menyapa siapa pun dari kejauhan. Warnanya menyala sebagai tanda kekuatan.

"Kalau waduk jadi, makam ini tinggal kenangan. Air akan menenggelamkan." Suara kekuatiran menimbun dihati warga dusun. "Mau dipindah kita tak punya lahan pengganti."

"Aku malah tidak sampai mikir itu. Yang aku pikirkan tentang ganti rugi atau transmigrasi."

Setiap Pahing, Sularmi mendatangi nisan suaminya. Karena disetiap penangggalan Jawa itulah jasad suaminya diketemukan. Membawa kendi dan sedikit bunga mawar untuk disebarkan di atas pusaranya. Hingga waktupun tiba. Dam raksasa waduk Kedungombo selesai dibangun dengan ditandai gelontoran air berjuta-juta kubik. 

Pelahan tetapi pasti dusun mereka tenggelam. Beruntungnya, lahan rumah Kartodikromo tak semuanya diterjang limpahan air. Hanya beberapa meter berjarak dari tepian. 

Memang, sebagian besar tanah miliknya dipaksa merunduk di bawah hamparan air. Sularmi masih bisa bertahan walau haknya sempit. Bersama Jinten, dia menanami lahan sisa. Cukup atau tidak hanya itu yang bisa dia lakukan.

Pemakaman menjadi pulau tersendiri. Beberapa nisan tenggelam, tetapi yang di atas tak tersentuh. Termasuk nisan Kartodikromo. di bawah rindangnya pohon Kesumba, kuburan itu menarik perhatian. 

Apalagi jika berbunga dan bertaburan buah. Warna merah dan kuning membuat pulau itu bak mahligai dikejauhan. Sularmi dipaksa mendayung perahu bersama Jinten bila jadwal ziarah melintas. Awalnya dia takut, tetapi tekad dan rasa cinta membuat dia tertempa. Kayuhan dayung menjadi kebiasaan.

***

Sepeda Gazelle milik Supar, pakliknya, dituntun masuk rumah. Benda warisan yang dia selamatkan sebelum air menenggelamkannya. Bagi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri dikota tetangga, sepeda itu peninggalan yang sungguh berharga. 

Dua minggu atau tiga minggu sekali dia menjenguk Simboknya. Gazelle menemani mewujudkan langkahnya. Rumahnya menyendiri, jauh dari rumah tetangga. 

Entah sekarang masuk wilayah mana, karena Kedungbubrah sudah hilang dari peta. Kabarnya, ada desa baru yang terbentuk hasil dari lahan perhutani yang dijadikan ganti rugi.

"Kamu, Ten?" Simbok menoleh sesaat sebelum melanjutkan kesibukannya.

"Iya, mbok," Jinten meneguk air dari kendi dilanjut menempelkan bokong pada dipan bambu. Matanya menatap hamparan tanaman jagung serta singkong. Dikejauhan bentang cokelat air waduk membingkai pemandangan. Kecipak air menabrak tepian.

"Piye kuliahmu, le?

"Ya begitulah, mbok. Banyak tugas dan kegiatan." Tangannya meraih Blanggreng, mencuilnya sebelum dimasukkan kemulut. Gurih dan empur. Singkong goreng bikinan simboknya memang juara.

"Katanya di kota sering demo. Opo bener?"

"Simbok ngerti seko ngendi?"

"Radio."

Jinten tersenyum, "Bener, mbok." Mulutnya masih mengunyah. Tidak rela kalau perutnya belum berteriak, berhenti.

"Kowe melu demo? Koyo almarhum bapakmu?"(kamu ikut demo? Seperti almarhum bapakmu?). Ada ungkapan kekuatiran dibalik kalimatnya. "Rasah melu-melu yo, le. Kuliah wae sing bener"(tidak usah ikut-ikutan ya, le. Kuliah saja yang benar).

"Iya, mbok."

Gerakan mahasiswa sudah satu setengah tahun membuncah. Menyuarakan protes atas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di negeri para pejuang. 

Goncangan tambah seru manakala krisis moneter menghantam beberapa negeri Asia. Rupiahpun dibuat tak berdaya dihadapan hegemoni dolar paman Sam. Seperti mendapat stimulus. Gerakan tergenggam dengan jargon, Tiada hari tanpa demo.

***

Jam menunjukkan pukul 12 kurang sembilan menit. Panas mendapat kuasa memanggang kepala-kepala tanpa pelindung. Jalan di depan gedung pemerintah penuh para pengunjuk rasa. 

Gabungan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi tumplek jadi satu. Kekuatan yang cukup solid guna menggempur kaki tangan penguasa negeri yang otoriter. Seperti demo-demo sebelumnya, tuntutan reformasi dijadikan inti utama. 

Petinggi-petinggi di dalam gedung dibuat gerah. Aksi unjuk rasa makin gila. Dan itu tiap hari. Yel-yel bersahutan sambung menyambung mengusik nurani. Tangan terkepal mengarah keatas. 

Keinginan massa bertemu para petinggi serta wakil rakyat tak kesampaian. Negosiasi alot. Aparat tak memperbolehkan. Massa mahasiswa berbaris rapi mendengarkan orasi dari rekan mereka. Setelah cukup lama pimpinan mahasiswa bertindak.

"Rekan-rekan...siap!" Aba-aba meletup. Instruksi diikuti tanpa panjang pikir.

"Dua langkah kedepan...jalan!" Bak garnisun perang, massa maju dengan gagah. Jarak dengan aparat makin menciut. Muka-muka terguyur keringat berpadu partikel debu.

"Berikutnya! Tiga langkah kedepan...jalan!" Aparat dan mahasiswa menebarkan aroma batin masing-masing. Napas-napas saling berbenturan terbungkus panas siang. Detak jantung berdegup berpacu kencang. Detik-detik terus berjalan walau semua tegak bersitatap.

"Rekan-rekan! Demi tuntutan hati nurani dan reformasi...seribu langkah majuuuu...jalan!" Suara gaduh akibat benturan dua gelombang besar yang berbeda persepsi terjadi. Saling dorong dengan teriakan serta sumpah serapah meninggi. 

Emosi berjingkat-jingkat menusuki hati. Baku hantam terjadi. Pihak massa yang bermodal kepalan tangan harus mengakui daya remuk tongkat aparat. Cuma karena didorong semangat juang untuk menunaikan tuntutan reformasi lah yang membuat mereka bertahan. 

Hebat. Kegaduhan mendapat tempat. Pagar betis akhirnya jebol. Beberapa aparat yang terkena lemparan batu ditambah jotosan, terjengkang. Inilah celah untuk maju menuju sasaran. 

Kaki-kaki muda berloncatan terbang di atas tubuh-tubuh yang terkapar. Jinten melesat kencang mengikuti rekan-rekannya. Gerak mereka membuat aparat terpecah konsentrasinya, dan tambah emosi. Sabetan tongkat kian sadis. Teriakan kesakitan membaluti demo. Tubuh-tubuh sempoyongan dihajar puluhan pukulan benda tumpul. 

Mahasiswa bahu membahu menolong rekan mereka. Hujan batu merebak. Lontaran-lontaran terlihat di atas dua kelompok yang sedang perang kepentingan. Aparat kalangkabut. Jinten terus berlari kedepan. Mendekati gedung pemerintahan, terlihat para petinggi ketakutan. 

Mereka berteriak-teriak seperti akan diterkam macan. Telunjuk mereka memberi tahu aparat akan mahasiswa penyusup yang lolos dari pantauan. Sepasukan aparat pelapis muncul dari samping kanan kiri gedung. Serentak menyongsong dengan terjangan bebas. Hantaman tak berkesudahan mendarat disekujur badan. 

Tak terkecuali Jinten. Tubuhnya jadi bulan-bulanan. Bak buk! Bak buk! Limbung, berayun-ayun mirip daun Kesumba diterpa sang bayu. Darah menetes dari hidung dan mulut.

Panas menambah penderitaannya. Matanya berkunang-kunang. Antara sadar dan melayang, dirinya masih merasakan pukulan-pukulan lanjutan menyasar kepala. dia terhempas digulung angkara. Diam...selamanya.

***

Gundukan baru terbentuk dihalaman rumah Sularmi. Jasad Jinten terkubur bersama perjuangan dan citanya. Sebenarnya, Sularmi ingin agar anaknya dijadikan satu dengan Kartodikromo. tetapi saran orang-orang mengurungkan niat itu.

"Lebih baik di sini saja, mbok. Disamping tidak menyulitkan, juga dikhawatirkan, pekuburan di sana akan hilang digerus air."

Sularmi menatap lekat gundukan bertabur kembang. Air matanya sudah terkuras. Sekepal tanah dia genggam kemudian diremas, ditaburkan di atas pusara anaknya. 

Hembusan angin yang mempermainkan helai-helai rambutnya kian mengiris batin. Dia harus melalui hari-hari panjang sendirian. Harapan untuk hidup tenang bersama anak dan suaminya buyar. Merelakan mereka pergi dengan cara tragis.

***

Ujung perahu menabrak tanah lendut. Kaki Supar menapak rerumputan basah. Dia harus hati-hati jangan sampai menginjak nisan-nisan yang lapuk. Salah langkah akan bernasib...

"Wadoh!" Teriakan memaksa Supar menengok kearah suara tersebut.

"Tanahnya rapuh."

"Ati-ati, No." Kakinya kejeblos hingga dengkul. Celana kotor. Dengan dibantu Kamidi-tukang perahu-akhirnya Marno lepas dari jebakan lumpur.

Supar menyuruh keduanya untuk segera mengeluarkan peralatan beserta ubo rampe. Dengan diawali suluk salam dan doa bergeraklah mereka menggali kuburan Kartodikromo. 

Supar berencana untuk memindahkan tulang belulang Kartodikromo ke daratan agar bisa bersatu dengan istri dan anaknya. Kesumba menaungi mereka dari sengat matahari. Daunnya yang rimbun bergoyangan, seolah mendendangkan lantun kesedihan .

"Betapa tragisnya keluarga kangmasku." Tidak terasa pelupuk matanya tergenang cairan. Dan akhirnya tumpah melapisi pipi. Kepulangan Supar ketempat asalnya dipicu kabar dari tayangan televisi tentang penemuan jasad perempuan tua yang terapung-apung ditemukan oleh pemancing. 

Selama melarikan diri, dia menetap di Bekasi sambil berjualan bakso. Hidupnya tenteram bersama Marno dan Kartinah-anak dan istrinya. Melihat ciri serta daerah temuan dia berkeyakinan kalau jasad itu kakak iparnya, Sularmi. Dengung firasatnya mengatakan itu benar.

Akhirnya pekerjaan selesai. Bungkusan kain kafan dinaikkan ke perahu kembali menuju daratan. Disatukanlah ketiganya dalam satu liang lahat. Prosesnya berjalan lancar.

Berjalannya waktu, pulau kecil itu hilang. Air menggerusnya bak cabikkan naga pertala. Apalagi dimusim hujan, daya gerogotnya tambah menakutkan. 

Entah karena apa, sejak tulang belulang Kartodikromo dipindah, pohon Kesumba berangsur-angsur mati. Daunnya kering, rontok bergilir. Tinggal dahan beserta ranting yang jadi pijakan burung-burung pengincar ikan.[]

*) Solo, 3 Februari 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun