Mohon tunggu...
Sri Romdhoni Warta Kuncoro
Sri Romdhoni Warta Kuncoro Mohon Tunggu... Buruh - Pendoa

• Manusia Indonesia. • Penyuka bubur kacang ijo dengan santan kental serta roti bakar isi coklat kacang. • Gemar bersepeda dan naik motor menjelajahi lekuk bumi guna menikmati lukisan Tuhan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Cerpen: Kesumba di Tanah Perlawanan

15 Februari 2022   13:19 Diperbarui: 18 Februari 2022   00:40 847
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi batu nisan.| Sumber: Pixabay/Brenswaelz

Kaki-kaki muda berloncatan terbang di atas tubuh-tubuh yang terkapar. Jinten melesat kencang mengikuti rekan-rekannya. Gerak mereka membuat aparat terpecah konsentrasinya, dan tambah emosi. Sabetan tongkat kian sadis. Teriakan kesakitan membaluti demo. Tubuh-tubuh sempoyongan dihajar puluhan pukulan benda tumpul. 

Mahasiswa bahu membahu menolong rekan mereka. Hujan batu merebak. Lontaran-lontaran terlihat di atas dua kelompok yang sedang perang kepentingan. Aparat kalangkabut. Jinten terus berlari kedepan. Mendekati gedung pemerintahan, terlihat para petinggi ketakutan. 

Mereka berteriak-teriak seperti akan diterkam macan. Telunjuk mereka memberi tahu aparat akan mahasiswa penyusup yang lolos dari pantauan. Sepasukan aparat pelapis muncul dari samping kanan kiri gedung. Serentak menyongsong dengan terjangan bebas. Hantaman tak berkesudahan mendarat disekujur badan. 

Tak terkecuali Jinten. Tubuhnya jadi bulan-bulanan. Bak buk! Bak buk! Limbung, berayun-ayun mirip daun Kesumba diterpa sang bayu. Darah menetes dari hidung dan mulut.

Panas menambah penderitaannya. Matanya berkunang-kunang. Antara sadar dan melayang, dirinya masih merasakan pukulan-pukulan lanjutan menyasar kepala. dia terhempas digulung angkara. Diam...selamanya.

***

Gundukan baru terbentuk dihalaman rumah Sularmi. Jasad Jinten terkubur bersama perjuangan dan citanya. Sebenarnya, Sularmi ingin agar anaknya dijadikan satu dengan Kartodikromo. tetapi saran orang-orang mengurungkan niat itu.

"Lebih baik di sini saja, mbok. Disamping tidak menyulitkan, juga dikhawatirkan, pekuburan di sana akan hilang digerus air."

Sularmi menatap lekat gundukan bertabur kembang. Air matanya sudah terkuras. Sekepal tanah dia genggam kemudian diremas, ditaburkan di atas pusara anaknya. 

Hembusan angin yang mempermainkan helai-helai rambutnya kian mengiris batin. Dia harus melalui hari-hari panjang sendirian. Harapan untuk hidup tenang bersama anak dan suaminya buyar. Merelakan mereka pergi dengan cara tragis.

***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun