Kaki-kaki muda berloncatan terbang di atas tubuh-tubuh yang terkapar. Jinten melesat kencang mengikuti rekan-rekannya. Gerak mereka membuat aparat terpecah konsentrasinya, dan tambah emosi. Sabetan tongkat kian sadis. Teriakan kesakitan membaluti demo. Tubuh-tubuh sempoyongan dihajar puluhan pukulan benda tumpul.Â
Mahasiswa bahu membahu menolong rekan mereka. Hujan batu merebak. Lontaran-lontaran terlihat di atas dua kelompok yang sedang perang kepentingan. Aparat kalangkabut. Jinten terus berlari kedepan. Mendekati gedung pemerintahan, terlihat para petinggi ketakutan.Â
Mereka berteriak-teriak seperti akan diterkam macan. Telunjuk mereka memberi tahu aparat akan mahasiswa penyusup yang lolos dari pantauan. Sepasukan aparat pelapis muncul dari samping kanan kiri gedung. Serentak menyongsong dengan terjangan bebas. Hantaman tak berkesudahan mendarat disekujur badan.Â
Tak terkecuali Jinten. Tubuhnya jadi bulan-bulanan. Bak buk! Bak buk! Limbung, berayun-ayun mirip daun Kesumba diterpa sang bayu. Darah menetes dari hidung dan mulut.
Panas menambah penderitaannya. Matanya berkunang-kunang. Antara sadar dan melayang, dirinya masih merasakan pukulan-pukulan lanjutan menyasar kepala. dia terhempas digulung angkara. Diam...selamanya.
***
Gundukan baru terbentuk dihalaman rumah Sularmi. Jasad Jinten terkubur bersama perjuangan dan citanya. Sebenarnya, Sularmi ingin agar anaknya dijadikan satu dengan Kartodikromo. tetapi saran orang-orang mengurungkan niat itu.
"Lebih baik di sini saja, mbok. Disamping tidak menyulitkan, juga dikhawatirkan, pekuburan di sana akan hilang digerus air."
Sularmi menatap lekat gundukan bertabur kembang. Air matanya sudah terkuras. Sekepal tanah dia genggam kemudian diremas, ditaburkan di atas pusara anaknya.Â
Hembusan angin yang mempermainkan helai-helai rambutnya kian mengiris batin. Dia harus melalui hari-hari panjang sendirian. Harapan untuk hidup tenang bersama anak dan suaminya buyar. Merelakan mereka pergi dengan cara tragis.
***