Hari-hari selanjutnya intimidasi gentayangan mencari warga yang tidak mau menyerahkan tanahnya. Subversif dan PKI menjadi senjata untuk menekuk para pencari keadilan. Siapa yang tidak keder, takut, bergidik?
"Kita jangan takut!", Teriak Kartodikromo. "Jangan biarkan mereka mengusik lahan penghidupan kita."
"Tetapi aparat kian hari tambah brutal. Banyak dari kita digebuki. Bahkan penculikan juga menimpa warga."
"Apakah kita akan menyerah?" Ucapan Kartodikromo seolah-olah umpan bagi jiwa-jiwa pengecut. Wajah-wajah lugu menunduk pahit. Mereka membenarkan pendapat laki-laki asal Kedungbubrah. Tetapi juga mengkuatirkan sepak terjang pihak pemerintah.
"Bagi yang setuju pendapatku masuklah dalam barisanku." Kartodikromo telah membuat keputusan.
Perlawanan kelompok Kartodikromo membuat pemerintah naik pitam. "Tandai bagi mereka yang melawan. Kalau perlu sikat habis!" Jalinan yang dilakukan Kartodikromo ternyata mendapat sambutan dari desa lain.Â
Mereka bahu membahu ditambah bantuan para aktivis luar daerah. Beberapa penggerak pro demokrasi sengkuyung, memberi energi perjuangan. Nama Kartodikromo berkibar.Â
Aparat makin meningkatkan tekanan. Pos-pos penjagaan didirikan dititik tertentu guna mengantisipasi para penyusup yang bikin agitasi. Suasana desa mencekam.Â
Curiga berarak timbul ke atas. Kewaspadaan dipupuk biar tak layu. Obor perlawanan menyala kencar-kencar. Hingga suatu hari jasad Kartodikromo ditemukan didekat rerimbun bambu. Penuh luka lebam dengan tulang tengkorak retak.
***
Isak tangis Sularmi menyelinap lirih di antara nisan kayu yang lapuk. Jinten menatap nanar gundukan tanah. Sesekali pandangannya mengunci sosok Simbok.Â