Kedepan, cobaan apalagi yang akan dialami perempuan itu. Pikirannya berlompatan liar. Kejadian tersebut mengusik jiwanya. Dia tidak bisa menerima kematian bapaknya yang tragis.
Tragedi Kartodikromo memberi pukulan berat bagi warga dusun. Intimidasi pun terus bergerak tiada ampun. Kekalutan menerkam siapa pun dibarisan perlawanan.Â
Pikiran dihantui teror yang tak habis-habis. Kabar tentang penduduk yang hilang ingatan dan bunuh diri mengiris batin.Â
Supar terpaksa mengambil jalan pintas. Minggat. Keluar dari dusun bersama anak istrinya, raib entah ke mana. Rumah dikosongkan, harta benda ditinggalkan. Mesin teror bergerak seiring jadwal pembangunan yang kian dekat.
"Jika ganti rugi tidak diambil, jangan kecewa kalau kalian akan kesulitan dikemudian hari." Tak ada pilihan yang mengenakkan. Bagai buah simalakama. Sampai semua protes digulung tanpa peri.
***
"Sejak kapan tanaman ini tumbuh? Siapa yang menanam?" Selalu saja keheranan muncul dibenak warga bila melintas di pekuburan di mana Kartodikromo dikebumikan.Â
Selama bukit kecil digunakan sebagai makam desa, belum pernah mereka melihat perdu setinggi 3 meteran menguasai areal itu. Sebuah keanehan. Atau selama ini mereka kurang perhatian?Â
Tanaman itu tambah subur bila para penghuni baru dikubur disitu. Buahnya yang mirip rambutan bergelantungan menyapa siapa pun dari kejauhan. Warnanya menyala sebagai tanda kekuatan.
"Kalau waduk jadi, makam ini tinggal kenangan. Air akan menenggelamkan." Suara kekuatiran menimbun dihati warga dusun. "Mau dipindah kita tak punya lahan pengganti."