"Aku malah tidak sampai mikir itu. Yang aku pikirkan tentang ganti rugi atau transmigrasi."
Setiap Pahing, Sularmi mendatangi nisan suaminya. Karena disetiap penangggalan Jawa itulah jasad suaminya diketemukan. Membawa kendi dan sedikit bunga mawar untuk disebarkan di atas pusaranya. Hingga waktupun tiba. Dam raksasa waduk Kedungombo selesai dibangun dengan ditandai gelontoran air berjuta-juta kubik.Â
Pelahan tetapi pasti dusun mereka tenggelam. Beruntungnya, lahan rumah Kartodikromo tak semuanya diterjang limpahan air. Hanya beberapa meter berjarak dari tepian.Â
Memang, sebagian besar tanah miliknya dipaksa merunduk di bawah hamparan air. Sularmi masih bisa bertahan walau haknya sempit. Bersama Jinten, dia menanami lahan sisa. Cukup atau tidak hanya itu yang bisa dia lakukan.
Pemakaman menjadi pulau tersendiri. Beberapa nisan tenggelam, tetapi yang di atas tak tersentuh. Termasuk nisan Kartodikromo. di bawah rindangnya pohon Kesumba, kuburan itu menarik perhatian.Â
Apalagi jika berbunga dan bertaburan buah. Warna merah dan kuning membuat pulau itu bak mahligai dikejauhan. Sularmi dipaksa mendayung perahu bersama Jinten bila jadwal ziarah melintas. Awalnya dia takut, tetapi tekad dan rasa cinta membuat dia tertempa. Kayuhan dayung menjadi kebiasaan.
***
Sepeda Gazelle milik Supar, pakliknya, dituntun masuk rumah. Benda warisan yang dia selamatkan sebelum air menenggelamkannya. Bagi mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri dikota tetangga, sepeda itu peninggalan yang sungguh berharga.Â
Dua minggu atau tiga minggu sekali dia menjenguk Simboknya. Gazelle menemani mewujudkan langkahnya. Rumahnya menyendiri, jauh dari rumah tetangga.Â
Entah sekarang masuk wilayah mana, karena Kedungbubrah sudah hilang dari peta. Kabarnya, ada desa baru yang terbentuk hasil dari lahan perhutani yang dijadikan ganti rugi.
"Kamu, Ten?" Simbok menoleh sesaat sebelum melanjutkan kesibukannya.