Ujung perahu menabrak tanah lendut. Kaki Supar menapak rerumputan basah. Dia harus hati-hati jangan sampai menginjak nisan-nisan yang lapuk. Salah langkah akan bernasib...
"Wadoh!" Teriakan memaksa Supar menengok kearah suara tersebut.
"Tanahnya rapuh."
"Ati-ati, No." Kakinya kejeblos hingga dengkul. Celana kotor. Dengan dibantu Kamidi-tukang perahu-akhirnya Marno lepas dari jebakan lumpur.
Supar menyuruh keduanya untuk segera mengeluarkan peralatan beserta ubo rampe. Dengan diawali suluk salam dan doa bergeraklah mereka menggali kuburan Kartodikromo.Â
Supar berencana untuk memindahkan tulang belulang Kartodikromo ke daratan agar bisa bersatu dengan istri dan anaknya. Kesumba menaungi mereka dari sengat matahari. Daunnya yang rimbun bergoyangan, seolah mendendangkan lantun kesedihan .
"Betapa tragisnya keluarga kangmasku." Tidak terasa pelupuk matanya tergenang cairan. Dan akhirnya tumpah melapisi pipi. Kepulangan Supar ketempat asalnya dipicu kabar dari tayangan televisi tentang penemuan jasad perempuan tua yang terapung-apung ditemukan oleh pemancing.Â
Selama melarikan diri, dia menetap di Bekasi sambil berjualan bakso. Hidupnya tenteram bersama Marno dan Kartinah-anak dan istrinya. Melihat ciri serta daerah temuan dia berkeyakinan kalau jasad itu kakak iparnya, Sularmi. Dengung firasatnya mengatakan itu benar.
Akhirnya pekerjaan selesai. Bungkusan kain kafan dinaikkan ke perahu kembali menuju daratan. Disatukanlah ketiganya dalam satu liang lahat. Prosesnya berjalan lancar.
Berjalannya waktu, pulau kecil itu hilang. Air menggerusnya bak cabikkan naga pertala. Apalagi dimusim hujan, daya gerogotnya tambah menakutkan.Â
Entah karena apa, sejak tulang belulang Kartodikromo dipindah, pohon Kesumba berangsur-angsur mati. Daunnya kering, rontok bergilir. Tinggal dahan beserta ranting yang jadi pijakan burung-burung pengincar ikan.[]