"Assalamualaikum...!"Â
"Wa'alaikum Salam", jawab emakku.
Aku hampiri beliau yang sedang menyusun barang di toko kami. Semenjak ayahku meninggal 3 tahun lalu, emaklah yang kemudian bekerja, dari toko kecil inilah aku hidup. Aku merupakan anak satu satunya beliau. Segera kuhampiri beliau, dan kucium tangannya. Kuturunkan tas di punggungku, dan hendak membantu mengangkat sekardus gula yang hendak disusun ibuku di atas.
" Udah ga usah, makan sana ibu sudah masakin makanan kesukaan kamu, habis itu istirahat aja tidur, biar nanti malem belajarnya ga ngantuk", kata ibu.Â
Emak memang ga pernah mau jika aku membantunya, emak selalu mengerjakan pekerjaannya sendirian. Beliau hanya memintaku untuk belajar dan jadi anak pintar, begitu beliau bilang. Dan benar saja, aku tumbuh menjadi anak yang cerdas, bahkan selalu menjadi peringkat pertama di kelasku. Aku menjadi anak kebanggan emak, di setiap obrolan pasti beliau selalu memamerkan kepintaran aku di depan tetangga.
Keberuntunganku di dunia pendidikan semakin menyertaiku, aku diterima di sebuah perguruan tinggi negeri di ibukota tanpa tes. Jurusan kedokteran, sebuah jurusan yang diminati oleh orang orang di negeri ini. Aku berangkat ke ibukota sendirian, dengan mengantongi beberapa lembar uang. Semua pendidikanku berjalan lancar, uang bulananpun selalu dikirim ibuku tepat waktu tanpa aku ketahui bagaimana ibuku pontang panting membiayaiku hidup di kota besar ini. Yang aku tau setiap berkirim surat kepada ibuku, beliau selalu bilang,Â
" Kamu sekolah aja yang bener Le, biar jadi orang sukses, ga usah mikirin biaya".
Begitu selalu nasehat emak. Perkataan emak seperti candu buatku yang terus terngiang di telingaku "Sukses" itu satu satunya tujuanku. Dan untungnya aku termasuk mahasiswa yang pandai, sehingga aku sering mendapatkan beasiswa.
Kuliahku selesai sempurna tanpa kendala yang berarti dan nilai yang memuaskan. Aku menjadi seorang dokter muda di sebuah rumas sakit ternama di ibukota. Status mentereng yang begitu banyak diirikan orang. Sudah satu bulan aku kerja di rumah sakit ini.
"Kriiinnngggggg....."tiba tiba telfon di ruanganku berbunyi".Â
"Assalamualaikum".
" Wa'alaikumsalam", jawabku. Dari seberang sana kudengar suara seseorang yang begitu aku kenal.Â
"Emak?" Kataku.
"Iya le ini emak. Gimana sehat kamu le?"Â Kata emak.
"Sehat mak. loh emak telfon darimana ini?" Tanyaku.
"Minjem telfon anak tetangga le".
"Ya ampunnnnn", pikirku. Padahal telfon dari hp ke telfon rumah mahal, pasti emak ga tau itu.
"Emak kangen denger suaramu, makanya waktu kamu kasih nomer telfon ini emak langsung pinjem hp si Rudi anaknya bu Karsih". Aku mengangguk angguk dengar celotehan emak.
" Le ya ampuuunnnn, orang orang waktu emak ceritain kalo kamu udah kerja di rumah sakit, pada seneng le, mereka memuji muji emak, beruntung punya anak sepinter kamu. Makasih ya le kamu udah buat bangga emak".Â
Aku tersenyum senyum mendengarkan cerita emak, sambil sebentar sebentar melirik jam di dinding ruanganku. Emakku terus bercerita, mulai dari cerita Bu Herman yang anaknya barusan nikah, kemudian Pak Joko yang terkena struk, sampai ayam ayam kami yang katanya telur telurnya dimakani tikus. Aku sedikit pusing mendengar ibuku bicara tidak berhenti henti, aku semakin was was sebentar lagi akan ada pasien yang harus segera kuperiksa, tapi emakku seolah tidak memberiku ruang untuk bicara.
"Le kamu tau itu pohon rambutan yang ada di perempatan jalan itu?"
"Eh mak, egh anu amit ini saya ada pasien", aku memotong pembicaraannya.
"Hee ada pasien to, udah suruh nunggu dulu aja, bilangin dokternya lagi telfonan sama emaknya, gitu".
"Ga bisa mak, ini rumah sakit, aku harus patuh aturan rumah sakit", jawabku lagi.
"Hooooo.....ya udah kalo gitu, besok emak telfon lagi ya, masih banyak yang pengen emak ceritain ke kamu", kata emak.
"Nggih mak", jawabku. Telfon segera ditutup, pasti ada sedikit kecewa di hati emak. Tapi demi profesionalisme aku ga mau semua ini jadi masalah. Akhirnya aku kembali berkutat dengan kegiatanku hingga sore hari. Hingga setiap sampai di kontrakan aku pasti akan langsung terkapar karena kelelahan.
Besok paginya akupun kembali beraktifitas, melayani semua pasien yang duduk antri di depan ruanganku, baru saja memeriksa pasien 3 orang, tiba tiba telfon di mejaku kembali berdering.
"Kriiingggg....."Â Pikirku siapa yang telfon pagi pagi begini, mana pasien sedang banyak antri di luar lagi, aku mengisyaratkan pada perawat untuk menunda pasien selanjutnya.
"Hallo selamat pagi..."Â Kataku.
"Assalamualaikum...!"
Terdengar suara emak di sebrang sana.Â
Wa'alaikum salam Mak, kok pagi pagi telfon ada apa?" Tanyaku, karena sudah tidak asing dengan suaranya.
"Ga le, kemarin kan mak belum selesai ngobrolnya, jadi emsk sekarang telfon lagi", dengan nada bicaranya yang polos.
Kembali emak bicara tanpa henti, penuh semangat menceritakan hal hal yang menurutku ga begitu penting.
" Mak....."Â Kataku memotong pembicaraannya.
"Apa le?"Â Sahut emak.
"Emak jangan keseringan telfon kesini ya, aku lagi kerja mak, banyak pasien di depan".
"lho ini kan telfon di ruanganmu, emang ada yang marah". Tanya emakku polos.
"Ini kan  fasilitas rumah sakit, kalo pasien terlalu lama menunggu aku yang lagi telfonan sama emak,  bisa dimarah atasan aku mak".
Kataku sedikit emosi, dan emak berusaha mengerti. Akhirnya telfon segera kututup. "Biarlah", pikirku minggu depan aku akan pulang, aku berencana membelikan emak hp dengan uang gaji pertamaku, agar emak tak lagi terus terusan menelfonku di RS.
Hari ini merupakan kepulanganku pertamakali ke rumah semenjak aku kuliah di perantauan. Memang aku ga pernah pulang, selain aku memang hidup prihatin disana, waktu liburanku juga kuisi dengan bekerja paruh waktu agar bisa dapat uang tambahan buatku.
Setelah turun di terminal kecil di kotaku. Aku berganti angkot. Masih 1 jam lagi menuju desaku. Kuperhatikan kiri dan kanan jalan, pemandangan yang masih sama ketika bebeĺrapa tahun lalu kutinggalkan kota ini. Beberapa sawah milik penduduk yang sepertinya baru saja dipanen, menyisakan bertumpuk tumpuk jerami di sisi sisi jalan.
Angkot berhenti di tempat pemberhentian. Aku segera turun, dan mencari ojeg karena angkot tidak masuk ke desaku. Tak lama akupun mendapatkan ojeg. Setelah tawar menawar akupun segera naik ke ojeg tersebut, pengemudinya seorang bapak bapak yang aku perkirakan sudah berusia 60an tahun. Yah usia yang sudah cukup uzur untuk beliau harus berjibaku dengan kendaraan lain di jalan.
Di perjalanan aku memulai percakapan dengannya. Mulai dari keluarganya, hingga kenapa diusia sekarang masih tetap mengojeg. Tuntutan ekonomi, sebuah alasan yang logis yang membuat dia terus melakukan profesi tersebut.
Tak terasa motor mulai memasuki desaku, aku mulai flash back dengan kondisi desa ini. Tepat di pinggir perempatan ada sebuah pohon rambutan besar sekali dan mungkin sekarang udah semakin rimbun pohon itu pikirku. Ternyata tebakanku salah, pohon itu sudah ditebang, yah pohon itu sudah hilang. "Berarti ini yang akan diceritakan ibuku tempo hari, tetapi tidak jadi karena kuputus ceritanya", pikirku.
Setelah memasuki gang, aku berhenti di depan rumahku. Setelah kubayar bapak itu langsung pamit pergi. Aku berdiri sebentar di depan rumahku. Masih seperti dulu, rumah peninggalan bapak yang tidak begitu besar, dengan lantai semen yang kulihat di terasnya sudah mulai terkelupas. Warung yang berada di sisi kiri depan rumahpun, aku lihat masih berisi sembako yang tidak seberapa penuh, hanya ada sedikit sayuran yang sepertinya menambah variasi dagangan emakku.
"Assalamualaikum", aku mulai memasuki rumah yang pintunya terbuka.
"Wa'alaikum salam", jawab emakku dari dalam. Kulihat beliau keluar dengan bajunya yang sedikit basah.
"Ya Alloh le, Ridho kamu pulang", seraya langsung memeluk tubuhku.
"Kamu kok ga ngabarin mau pulang, kalo ngabarin kan emak bisa bikin makanan kesukaanmu". Kata emak.
"Gimana kerjaanmu? Seragam doktermu mana? Emak pengen lihat. Terus pasienmu gimana kamu tinggal pulang?".Â
Berondongan pertanyaan emak seperti peluru senapan yang bertubi tubi, lebih dari 1 jam aku melayani pertanyaan emak, belum selesai pertanyaan emak kujawab tiba tiba telfonku berdering, dan kulihat salah satu senior dokter menelfon.
Segera kuputus obrolan emakku dan aku pindah ke teras depan agar lebih konsen menelfon. Selesai menelfon aku masuk kembali ke rumah, "Emak tidak ada, mungkin emak sedang di belakang", pikirku. Aku segera masuk kamar, kamar yang dulunya aku tempati. Masih seperti yang dulu, lemari kayu dan dipan dengan kasur kapuk di atasnya, sedikit usang tapi masih rapih dan bersih, emakku memang type wanita yang rajin sekali jika menyangkut urusan yang satu ini.
Perlahan kurebahkan tubuhku, terdengar suara bergemericit, mungkin baut baut dipan sudah mulai usang karena usianya yang sudah tua. Pikiranku mulai menerawang jauh dipenuhi dengan beban beban yang kutinggalkan di rumah sakit kemarin, hingga akhirnya aku berhasil tidur dan melupakan sejenak pikiran pikiranku.
Sorenya aku terbangun, dan keluar dari kamarku menuju teras. Kulihat warung emakku tutup. "Tumben masih sore emak sudah tutup, biasanya baru malam hari emak menutup warung" pikirku.
Aku cari emak di belakang, ternyata emak sedang sibuk memasak di dapur.
" Mak....kok warung udah tutup tumben?"Â
" Iya emak mau masakin makanan kesukaan kamu biar makanmu enak". Kata emakku.
Aku lihat ada sebaskom penuh ayam yang baru dibersihkan, emak memang selalu memanjakanku dengan masakannya. Dulu beliau selalu bilang kalo aku makannya enak, kenyang, maka badanku sehat, otak bisa semakin konsentrasi buat belajar.
"Siapa mak yang motong ayam tadi?" Tanyaku.
"Tadi emak minta tolong Pak Kardi tetangga sebelah", jawab emak.
"Kok emak ga nyuruh aku tadi?" Kataku.
"Kamu kan masih capek le, udah di depan sana, pak dokter kok bau asep", seraya menyuruhku ke depan. Ada nada bangga dibalik kata katanya tadi.
Yah emakku memang selalu saja ada alasan untuk menolak bantuanku, sehingga emak selalu mengerjakan pekerjaan seorang diri, ada saja yang beliau kerjakan, begitu sibuk. Masih juga diselingi melayani pembeli, hingga aku dan emakku jarang sekali mengobrol. Malamnya selesai makan, aku duduk duduk di teras, emak datang mendekat. Baru sebentar duduk tiba tiba telfonku berdering.
 "Siapa le?"  Tanya emak.  "Temen kerjaku mak". Kami membicarakan kasus salah satu pasien di rumah sakit. Emakku kulihat masih di sampingku, seolah menunggu telfonku berhenti. Tiba tiba emak mengisyaratkan sesuatu dengan gerakan tangannya. Aku mengernyitkan dahiku, seolah berfikir maksud isyarat emak. Emak mengulangi kembali sambil diiringi gerakan mulutnya yang mengeja sesuatu. Aku baru paham beliau pamit ke dalam. Mungkin beliau tau pembicaraan kami serius, makanya emak masuk ke dalam. Hampir 2 jam temanku menelfon, aku lihat jam di hpku pukul 9 malam. Aku segera masuk, kulihat emak sudah tidur di kamarnya. Tidak sedikitpun ada perasaan menyesal karena sudah membiarkan emak menungguku menelfon, yah karena aku memang tidak pernah terbiasa mengobrol dengan emakku, jadi itu kuanggap hal biasa. Aku langsung menuju kamar dan terdidur.
Paginya aku bangun kulirik jam teryata sudah jam 7, setelah sholat subuh tadi aku memang melanjutkan tidurku sehingga bangun kesiangan. Samar samar kudengar suara banyak orang mengobrol. Kudekatkan telingaku ke arah suara itu, sepertinya ada di depan rumah ini. Sambil mengerjap ngerjapkan mata kubuka pintu kamarku. Kulihat banyak orang di ruang tamu, ada sekitar 8- 10 orang, ada sebagian orang yang kukenal dan merupakan tetangga rumahku. Terdengar suara seorang ibu ibu, "Ealahhhhhh itu pak dokternya udah bangun", sambil menunjuk ke arahku.
Emak tergopoh gopoh menuju ke arahku,
"Le ini tetangga tetangga kita pada mau berobat sama kamu", kata emak. "Sana kamu mandi, sarapan, terus langsung kesini ya", kata emak tanpa diberi waktu aku menjawab kata katanya.
"Hhhhhhhh....", aku menarik nafas panjang. "Padahal aku ingin istirahat di sini", bathinku.
Selesai makan aku langsung menuju ruang tamu, dan ternyata sudah semakin banyak orang disana.
Dengan bangganya emak memperkenalkan aku kepada mereka, akhirnya aku periksa satu persatu mereka, padahal saat itu aku tidak membawa peralatan medisku, maka aku hanya mendengarkan keluh kesah mereka saja dan kemudian kuberikan resep obatnya, tanpa kupungut biaya sepeserpun.
Orang orang terus berdatangan, hingga menjelang siang hari, kulirik jam sudah menunjukkan pukul 1 siang, tapi kulihat masih banyak orang di depan.
"Akhirnya selesai juga", bathinku. Tepat pukul 2 siang. Aku segera makan, sudah terlambat tapi perutku harus kuisi karena sudah begitu keroncongan.
 Selesai makan aku dekati emak.
"Kok orang orang tadi pada kesini semua to mak?" Tanyaku.
"Iya emak yang cerita kalo kamu dateng, mereka minta pengen diperiksa sama dokter Ridho", katanya dengan nada bangga.
"Ya udah emak suruh dateng, kasian kamu tau sendiri dokter disini jauh harus naik angkot dulu, mana mahal lagi bayarnya".Â
Ya ga ada yang salah perkataan emakku, dokter di daerahku paling dekat 10 km,itupun kalau mereka ada uang buat kesana, maklum orang orang di daerahku tergolong ekonomi menengah ke bawah, jadi terlalu berat untuk pergi ke dokter. "Tapi kenapa emak ga berfikir kalo aku pengen istirahat", bathinku.
Malamnya aku bilang ke emak." Mak besok minggu aku pulang ya, aku cuma punya jatah 1 hari ijinnya", kataku.Â
"loh kok cepet bener, emak aja belum sempat ngobrol sama kamu le", kata emak sedikit kecewa.
"Maaf mak, aku kan pegawai baru jadi ga bisa ijin lama", kataku.
"Ini ada hp buat emak, kalau emak mau telfon pake hp ini aja", kataku. "Emak jangan telfon ke kantorku lagi ya", kataku.Â
"Dibuang aja yang nomer kantor kemarin", kataku.
"Oh jadinya no kantor kamu ganti yang ini le?"Â Kataku emakku tidak paham.
Aku iyakan saja pertanyaan emak, maklum emak pasti tidak paham dengan benda elektronik seperti ini.
Lalu aku kasih tau caranya emak menelfon, setelah paham emak aku suruh mempraktekannya.
"Ooohhhhhh iya le ada suaranya iya emak denger suaramu", teriak beliau kegirangan.
Aku sedikit lega setelah tau emak sudah bisa menggunakannya. Selanjutnya aku sibuk mengotak atik hpku, memeriksa media sosialku. Sedangkan emakku sibuk di warung, karena sepertinya malam ini warung sedikit ramai. Esoknya aku berangkat pagi pagi sekali. Kucium tangan emak dan beliau memelukku erat.
"Hati hati ya le moga moga kamu jadi orang sukses amiiinnn....", pesan yang sama yang selalu disampaikan emakku. Dalam hati aku berkata" Ya mak aku akan jadi orang sukses".
Aku segera berlalu dengan ojeg yang dikemudikan tetanggaku.
Di dalam bus aku duduk di samping jendela, cukup nyaman untukku bisa melihat pemandangan. Tiba tiba kantuk menyerangku, baru beberapa saat terlelap hp di kantungku berbunyi. Kulihat emak menelfon.
" Iya mak", kataku.
"Le hei ya ampunnnnn, akhirnya emak bisa telfon, emak tadi lupa caranya, emak pencet pencet tapi ga bisa bisa le", kata emak tanpa berhenti.
 "Iya mak, ya udah ditutup nanti uangnya habis", kataku lagi.
"Lho ini ada uangnya to le?"Â
" iya mak", kataku lagi.
"Ya udah le, eh iya le besok lagi kalo pulang bawa ya baju doktermu", kata emak.
"Emak pengen lihat kamu pake seragam dokter", ujarnya.
"Nggih mak", kataku lagi sambil menarik nafas.
Esok paginya aku sampai di ibukota, kulirik jam 05.00, berarti aku tidak akan sempat istirahat. Aku harus segera menuju kantor agar tidak terkena macet. Sampai kontrakan aku langsung buru buru mandi dan siap siap berangkat, tanpa sempat sarapan lagi, aku langsung menstarter motorku.
Bulan berganti bulan, tahun berganti tahun, semua kulalui dengan kesibukanku yang benar benar menyita perhatianku. Terlebih hidup di ibukota membuat tenagaku terkuras karena setiap hari harus berjibaku dengan ribuan kendaraan lain.. di tahun kedua aku ingin melanjutkan S2ku. Membuatku semakin sibuk, gelar spesialis penyakit dalam yang sudah kuimpikan ingin segera kuraih. Emakku begitu bangga, dan masih seperti kebiasaanya, setiap aku pulang ataupun telfon, beliau selalu menceritakan hal hal yang menurutku ga penting. Sering kuputus obrolannya, karena terkadang sedang lelah, sibuk, atau terkadang sedang asyik dengan androidku.
Setelah lulus S2 posisiku di RS semakin naik. Ekonomiku semakin membaik. Akupun sudah memiliki kendaraan roda 4. Setiap pulang ke rumah, pasti emak minta mengajakku keliling desa sembari menyapa tetangga, emakku begitu bangga dengan keberadaanku.
"Mak, kataku suatu hari", aku mau nikah, kataku.
"Nikah le, ya ampuuunnn", kata emak "Orang mana le?"Â Kata emak lagi.
"Orang Bandung mak", kataku lagi.
Rere namanya, seorang dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di Jakarta. Wanita karier dengan 3 title di belakang namanya. Sesosok wanita cerdas, sesuai kriteriaku. Dan pasti emak setuju dengan pilihanku, wanita yang sukses dan mandiri.
"Bawa sini le, kenalin emak", kata emak.
"Ga bisa mak, Rere sibuk, dia ngajar di kampus, besok emak aja ya yang ikut aku, biar nanti Aku kenalin sama Rere".
Akhirnya aku ajak emak ke rumahku, emak begitu kagum melihat rumah yang aku miliki. Malamnya aku ajak Rere ke rumah, emak sepertinya suka dengan Rere, karena tau begitu cantik dan menawannya calon menantunya. Yah walaupun aku lihat tadi Rere tidak begitu respek dengan emakku, maklum emakku orang desa dengan tampilan seadanya, tapi itu bukan masalah besar bagiku, yang penting emak setuju.
Emak berada di rumahku 2 hari. Saat di perjalanan pulang emak berkata.
"Le nanti kita buat pesta meriah di rumah ya waktu pernikahan kamu, emak pengen ngundang tetangga desa semuanya biar ramai". Kata emak seraya menerawang membayangkan pernikahan anaknya nanti.
"Waduh mak ga bisa", kataku.
"Lho ngapa le?" Tanya emakku.
"Mak aku dan Rere sama sama sibuk, kalau pesta di desa itu makan waktu lama mak, belum perjalanan pulang perginya", kataku lagi. " Kalian kan bisa ijin", kata emakku lagi.
"Iya mak tapi mungkin paling lama 4 hari, ga mungkin cukup mak!" Kataku lagi.
Emakku mengangguk angguk, "Ya udahlah le terserah kamu kata emak sedikit kecewa".
Aku dan Rere memang sudah merencanakan pernikahan kami di gedung, dan ga mau terlalu ribet, semua urusan sudah kami serahkan pada wedding organizer semua.
Pernikahan berjalan lancar. Kami beraktivitas seperti biasa. Dan emakku tetap seperti dulu, menelfonku dan lagi lagi menceritakan sesuatu yang ga penting, dan parahnya cerita itu selalu diulang dari waktu ke waktu sampai aku hafal semua. Suatu hari aku membawa emakku untuk tinggal bersamaku, aku berfikir dengan begitu emak ga sendirian lagi, ada aku dan Rere yang bisa menemaninya. Dan ada 2 orang pembantu yang bisa diajaknya cerita tanpa harus menelfonku setiap waktu untuk mendengar cerita ceritanya.
Selama emak di rumahku, situasi tidak berubah, aku dan Rere begitu sibuk. Pulang selalu larut malam, ga sempat lagi mengobrol dengan emakku, setiap pulang emak selalu sudah masuk ke kamarnya. Palingan kami hanya berbicara sebentar pagi harinya, itupun kemudian emak aku tinggal lagi kerja bersama dua orang pembantu di rumah.
Minggu pagi emak menghampiriku yang sedang menikmati secangkir kopi ditemani androidku di kursi taman.
"Le...."Â kata emak.
"Emak mau pulang, emak ga betah disini". Kata emak lagi.
"lho kenapa mak? emak kan enak di sini ga capek capek lagi ngurus rumah, semua udah ada yang ngerjain?"
"Iya bener le, tapi emak kesepian, tiap hari kamu dan istrimu sibuk kerja, mungkin cuma 1 jam kamu nemenin emak, itupun kamu langsung pergi ke kantor, hampir ga ada waktu kalian ngobrol dengan emak, istrimupun sama, cuek, tiap di rumah mainan hp terus, kalau ga ya telfonan sama temennya". Lanjutnya polos. Aku terdiam, aku baru sadar, benar aku ga pernah ada waktu buat emak, aku begitu sibuk dengan karierku, aku begitu sibuk mengejar cita citaku untuk jadi orang sukses seperti yang emak mau. Sedangkan istriku, dia memang bukan type orang yang senang ngobrol, apalagi mengobrol dengan emakku membicarakan hal yang ga penting, pasti dianggapnya buang buang waktu saja .
"Maaf mak, tapi aku kan cuma seorang pegawai, aku harus patuhi aturan di tempat kerjaku".
"Iya le mak paham, kamu sekarang udah jadi orang hebat, mak bangga sama kamu kok", kata emak membesarkan hatiku.
Akhirnya aku turuti kemauan emakku, karena kalau di desa mungkin emak mempunyai lebih banyak teman. Banyak tetangga di sana yang masih sering main ke rumah untuk sekadar ngobrol, tidak seperti disini.
Esoknya emakku pulang diantarkan supir. Karena aku harus pergi kerja. Kupandangi emak dari jauh, ada sedikit perasaan sedih di hatiku, sedih tak ada waktu buat emak. Dalam hati aku berjanji suatu hari nanti aku harus bisa menemani emak tanpa harus terikat oleh aturan tempat kerjaku.
Hari terus berjalan, aku sudah memiliki 2 anak. Dengan uang hasil tabunganku dan istri, aku berencana membuat klinik agar waktuku bisa lebih santai dibanding menjadi seorang pegawai. Klinik pengobatan penyakit dalam. Aku yakin dengan pengalaman dan namaku yang sudah tidak asing di dunia medis, Kinikku pasti ramai pikirku.
Akhirnya pembangunan klinik selesai, aku tetap bekerja sembari mulai buka praktek di rumah, agar saat aku keluar kerja nanti klinikku sudah ramai. Satu tahun, waktu yang tidak begitu lama kurintis, klinik sudah ramai, akhirnya aku sepakat dengan istriku untuk keluar kerja. Semua berkas sudah disetujui, aku begitu lega sebentar lagi aku pasti bisa punya banyak waktu buat emakku. Punya banyak waktu menemaninya ngobrol.
Tiba hari perpisahan aku dan teman kantorku, kami mengadakannya di sebuah restoran mewah di salah satu pusat kota. Aku berangkat berdua dengan istriku. Hp sengaja kumatikan karena aku tidak mau terganggu. Acara berjalan lancar, karena keasyikan ngobrol, kami pulang jam 12 malam. Sampai rumah aku langsung tertidur karena begitu lelah.
Paginya aku terbangun, dan aku ingat dari semalam kumatikan hpku. Akhirnya segera kutekan tombol on pada hpku, terdengar suara notifikasi berkali kali, dan segera kulihat ternyata ada panggilan 10x tidak terjawab dari emakku. "Ada apa emak menelfon sebanyak ini?" Pikirku. Aku langsung menelfon balik.
"Hallo...!"Â Terdengar suara laki laki di sebrang sana.
"Bukan suara emak? Dimana emak?" Bathinku.
"Maaf ini siapa ya?ibu saya dimana?" Tanyaku lagi.
" Le ini pak Kardi, emakmu masuk rumah sakit semalem kena jantung!.
Ternyata itu suara tetanggaku, dan aku terkejut dengar kabar itu.
" Sekarang emak dimana pak?" Seruku.
" Di ruang icu le", pak Kardi menyebut nama rumah sakit di daerahku.
Aku langsung memberitahu istriku bahwa aku harus segera pulang, aku berangkat tanpa ditemani istriku, karena dia mesti dapat ijin dulu dari kampusnya.
Aku memacu mobilku dengan perasaan gelisah, memikirkan kondisi emak. Jantung, penyakit yang sangat ditakuti dan salah satu penyakit mematikan. Esok paginya aku sampai di daerahku, dan segera menuju rumah sakit yang disebutkan oleh tetanggaku.
Kulewati koridor rumah sakit, sepi cuma segelintir orang yang lalu lalang, maklum rumah sakit ini tergolong rumah sakit kecil, dan belum banyak fasilitasnya. Aku segera memasuki ruang icu, berbekal ijin dokter, aku dibolehkan memasuki ruangan emakku.
Kulihat emak terbaring lemah di ranjang rumah sakit, masih dibalut kebayanya yang sedikit lusuh. Ada selang infus dan tabung oksigen di sampingnya. Aku sentuh wajahnya, kulitnya yang mulai banyak keriput, dan baru kusadari emakku sudah terlihat begitu tua karena baru kali ini aku memandangnya begitu dekat. Bulir bulir air mataku perlahan jatuh. " Kasihan emak", bathinku.
Perlahan emak membuka kedua matanya.
"Le Ridho kamu di sini?"Â
"Iya mak!" Kataku.
"Semalem ga tau kenapa nafas emak sesak banget le, emak telfon kamu tapi ga bisa bisa, jadi emak manggil pak Kardi", katanya dengan suara pelan.
"Maaf ya udah merepotkan kamu, kamu jadi pulang kesini".Â
"Ga papa mak", Kataku lagi.Â
"Le nanti tolong bayarin arisan emak ke Bu Prapti ya, sekalian bilangin titipan dia udah emak beliin ada di warung di atas lemari yang ada gulanya". Kata emak.
"Terus kalo kamu pulang, tanya kuncinya sama pak Kardi semalem dia yang emak titipin, jangan lupa kalo malem kandangnya dikasih lampu biar telurnya ga dimakanin tikus".
Emak lagi lagi memberitahu masalah tikus, hal yang sudah sering diceritakannya.
"Iya mak, emak jangan banyak bicara dulu, nanti emak aku bawa ke kota aja ya, disana biar ditangani dokter jantung yang bagus ya", kataku lagi.Â
Aku sudah berencana emak akan kupindahkan ke rumah sakit jantung di kotaku, dan disana nanti akan kuberikan perawat khusus untuk merawat emak agar lebih maksimal.
"Ga usah le, emak disini aja, emak pengen istirahat di sini aja". Kata emak lagi.
"Iya mak, emak istirahat dulu ya", kataku lagi.
Tiba tiba nafas emak tersengal sengal, aku begitu panik, segera aku melakukan pertolongan semampuku. Beberapa saat emak terdiam, keperiksa denyut nadinya. Kutekan tekan dadanya, ternyata tetap nihil. Emak tetap diam. Aku berteriak teriak panik memanggil dokter. Mereka segera berdatangan. Tapi semua sudah terlambat, yah emak sudah meninggal.
"Emakkkkk......"Â Jeritanku memenuhi seluruh penjuru rumah sakit.
Begitu menyesalnya aku. Aku yang seorang dokter yang setiap hari mengobati pasienku justru tidak mampu mengobati emakku sendiri. Emak, orang pertama yang harusnya aku perhatikan kesehatannya justru sering kuabaikan. Orang yang pertama yang harusnya aku perhatikan asupan gizinya justru tidak pernah tau apa yang beliau makan. Bahkan aku juga tidak pernah tau caranya mencari istri yang baik buat emak. Istri yang bisa setiap hari bisa menemaninya di dapur.Â
Istri yang setiap hari mau duduk mendengarkan cerita ceritanya, istri yang bisa sabar dengan semua tingkah lakunya. Yang aku aku tau istriku harus sesosok orang sama cerdasnya denganku. Sesosok orang yang bisa nyambung jika kuajak ngobrol semua topik denganku. Yang aku tau bagaimana aku bisa menjadi orang sukses dan memiliki pendamping yang sama suksesnya sepertiku, seperti harapan emakku.
Padahal aku baru saja mempunyai rencana rencana indah buat emak. Padahal aku baru saja mulai mempunyai waktu luang untuk emak. Waktu untuk setiap saat menemaninya ngobrol, waktu yang setiap saat bisa mendengarkan cerita ceritanya bukan hanya 1 jam seperti kata emak, tapi ber jam jam. Padahal aku baru saja berfikir sebentar lagi tidak akan lagi kuputus telfonnya karena sibuk dengan pasien pasien dan terikat dengan aturan aturan di tempat kerjaku. Banyak rencana rencana yang belum terwujud, namun semua menguap dan hilang seiring kepergian emakku.
Emak, aku berfikir selama ini aku adalah orang hebat dengan segala keberuntunganku, dengan segala kesuksesanku. Ternyata aku salah, aku tidak lebih hanya sebatas orang yang gagal, yah ternyata aku hanya orang yang gagal.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H