Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Chemical Engineer

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mewujudkan Pembangunan Inklusif

26 Februari 2022   06:33 Diperbarui: 26 Februari 2022   09:41 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang rongsokan tengah istirahat di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (22/4/2020). Di tengah pandemi Covid-19 dalam situasi yang sangat berat, pemerintah mengumumkan akan terjadi peningkatan jumlah angka kemiskinan hingga 3,78 juta orang (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Ekonomi Indonesia selama 20 tahun terakhir bertumbuh dengan baik. Bahkan, Indonesia diprediksi akan menjadi kekuatan baru dalam perekonomian dunia. 

Pada tahun 2045, Indonesia diperkirakan akan menjadi negara dengan pendapatan domestik bruto terbesar kelima di dunia. Dengan kata lain, Indonesia akan menjadi negara maju.

Indonesia punya potensi dan peluang menjadi negara maju. Indonesia bisa memanfaatkan momentum 100 tahun kemerdekaan menjadi perayaan sebagai negara maju. Salah satu pilar dari visi Indonesia 2045 adalah pemerataan pembangunan. Hasil yang diharapkan dari pilar itu adalah pembangunan yang inklusif.

Pembangunan yang inklusif adalah pembangunan yang menyediakan akses dan kesempatan bagi setiap orang. 

Prinsipnya adil, merata dan berkualitas; untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengurangi ketimpangan. Namun, pertumbuhan ekonomi yang dicapai Indonesia selama 2 dekade terakhir belum sepenuhnya menyelesaikan masalah ketimpangan.

Pada dasarnya, ketimpangan adalah persoalan global. Setiap negara umumnya mengalami ketimpangan dalam bentuk dan tingkat yang berbeda- beda. Tingkat ketimpangan umumnya diukur dari rasio gini. 

Bank Dunia mencatat, rasio gini Indonesia tahun 2019 sebesar 0,382. Meski menurun dari tahun sebelumnya, angka rasio gini Indonesia belum bisa dikatakan baik.

Sebagai catatan, rasio gini Indonesia pernah menyentuh angka 0,28 pada tahun 2000. Bank Dunia mencatat, sejak tahun 2000 hingga 2019 tren rasio gini Indonesia cenderung meningkat. 

The United Nation University World Institute for Development Economic Research (UNU-WIDER) juga mencatat, ketimpangan di Indonesia selama 2 dekade terakhir meningkat tajam.

Tampaknya menurunkan rasio gini tetap sulit walaupun ekonomi bertumbuh dengan baik. 

Lalu, mengapa ketimpangan di Indonesia cenderung meningkat? Apa dampaknya? Apakah pembangunan yang inklusif bisa terwujud?

Ketimpangan

Tahun 2015 yang lalu, Bank Dunia melaporkan ada 4 penyebab ketimpangan di Indonesia. Meski laporan itu dibuat beberapa tahun yang lalu, hasil kajiannya masih relevan sampai saat ini. Penyebab pertama ketimpangan adalah distribusi kekayaan tidak merata.

Pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan pemerataan distribusi kekayaan atau pendapatan. Belum lama ini lembaga Oxfam melaporkan harta 10 orang paling kaya di dunia semakin meningkat di tengah pandemi Covid-19. Sementara, tingkat kemiskinan justru meningkat tajam.

Sistem ekonomi yang berlaku saat ini cenderung cacat. Akibatnya, distribusi kekayaan dari pertumbuhan ekonomi tidak merata. Indonesia juga demikian. 

Lembaga Oxfam melaporkan jumlah kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia masih lebih banyak jika dibanding dengan total 100 juta orang miskin di Indonesia.

Data Global Wealth Databook 2021 menunjukkan, jumlah orang Indonesia yang memiliki kekayaan lebih dari 1 juta USD meningkat dari 106.215 orang menjadi 171.740 orang. Sementara, dalam periode yang hampir sama, BPS mencatat per September 2020, jumlah penduduk miskin naik 0.97 persen (sekitar 2,76 juta orang) dibanding September 2019.

Semakin tidak merata distribusi kekayaan, ketimpangan akan cenderung meningkat. Tingkat ketimpangan distribusi kekayaan penduduk Indonesia tahun 2020 adalah 77,7 persen. 

Dengan kata lain, aset atau kekayaan nasional masih dimiliki dan dinikmati oleh segelintir orang saja. Faktanya, 5 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 55,5 persen kekayaan nasional (Credit Suisse, 2021).

Hal kedua yang menjadi pemicu terjadinya ketimpangan adalah ketahanan ekonomi rendah. Kemiskinan dan ketimpangan ibarat dua sisi koin yang tak terpisahkan. 

Studi yang dilakukan Abigail Mcknight (2018) menunjukkan ketimpangan berkorelasi positif dengan kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi.

Ilustrasi: pembangunan inklusif dapat mereduksi ketimpangan dan kemiskinan. Sumber: gettyimages/nurphoto
Ilustrasi: pembangunan inklusif dapat mereduksi ketimpangan dan kemiskinan. Sumber: gettyimages/nurphoto

Data Bank Dunia tahun 2020 menunjukkan, sekitar 53,2 persen orang Indonesia masih tergolong miskin dan rentan; belum merdeka dari kemiskinan. Artinya, 53,2 persen penduduk Indonesia masih rentan dan sensitif terhadap guncangan ataupun inflansi. Mereka yang paling merasakan dampak guncangan, misalnya pandemi Covid-19.

Pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang terjadi selama pandemi telah membatasi banyak orang, khususnya pekerja informal, untuk memperoleh pendapatan. 

Ketika tabungan yang dimiliki semakin tipis atau habis, ditambah minimnya bantuan dari pemerintah, tidak sedikit dari mereka pada akhirnya menjadi miskin.

Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia awal tahun 2020, BPS mencatat kemiskinan di Indonesia naik hampir 1 persen dari September 2019 menjadi 10,19 persen pada September 2020. 

Pandemi Covid-19 telah membuat hidup orang miskin dan rentan semakin terpuruk. Akibatnya, jurang pemisah antara orang kaya dan orang (rentan) miskin semakin lebar.

Minimnya pendapatan membatasi kesempatan atau peluang orang miskin untuk mengubah nasibnya. Ada kesenjangan kesempatan. Inilah faktor ketiga penyebab terjadinya ketimpangan. 

Hasil penelitian Mayang Rizki dkk (2019) dari SMERU Research Institute menunjukkan, anak yang lahir dan tumbuh dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa.

Salah satu sebabnya adalah mereka tidak memiliki kesempatan awal yang baik dan adil. Kondisi ekonomi orang tuanya membuat mereka tidak bisa menikmati pendidikan dan kesehatan yang baik. Tanpa memiliki akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas mereka akan terjebak dalam lubang kemiskinan.

Selain itu, pekerjaan yang tidak adil dan merata juga menjadi penyebab ketimpangan. Upah antara sejumlah pekerja terampil dengan sebagian besar pekerja kurang terampil masih timpang. 

Meningkatnya permintaan pekerja yang terampil tidak diikuti dengan ketersediaan pelatihan bagi pekerja untuk reskilling dan upskilling.

Data World Bank Enterprise Survey 2015 menunjukkan, hanya 7,7 persen perusahaan di Indonesia yang menyediakan pelatihan formal bagi pekerjanya. 

Ironisnya, anggaran untuk training formal, menurut APINDO Research Institute tahun 2019, tidak sampai 5 persen dari biaya produksi. Ini menunjukkan bahwa pekerja belum dianggap aset oleh banyak perusahaan.

Tanpa pelatihan formal, pekerja yang kurang terampil akan kesulitan memperoleh kenaikan upah. Di sisi lain, pekerja yang terampil mendapatkan upah yang baik. Selain karena minimnya pelatihan formal, kualitas dan tingkat pendidikan (calon) pekerja yang tidak merata juga memicu kesenjangan upah.

Mobilitas sosial

Ketimpangan yang masih cukup tinggi merupakan bukti pembangunan yang berlangsung selama ini belum inklusif. Selain menghambat pengentasan kemiskinan dan merusak kohesi sosial, ketimpangan juga berdampak negatif pada mobilitas sosial.

Ketimpangan menghambat kemampuan dan aksesibilitas sebagian orang untuk mengalami hidup yang lebih baik. 

Kemampuan yang dimaksud adalah setiap orang dapat melakukan sesuatu ataupun memiliki sesuatu yang diinginkan. Ini sangat mungkin bila akses untuk mendapatkan atau melakukannya tersedia untuk setiap orang secara adil dan setara.

Kemampuan dan akses tidak boleh dibatasi ataupun terbatas. Dibatasi, misalnya, seseorang sulit mendapatkan karir atau upah yang baik karena mengalami diskriminasi. Terbatas, misalnya, seseorang tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan karena tidak memiliki penghasilan. Mobilitas sosial seseorang sangat bergantung pada kapabilitas dan akses yang dimilikinya.

Dua tahun yang lalu, World Economic Forum merilis Social Mobility Index. Indeks mobilitas sosial mengukur sejauh mana kemampuan individu (anak) untuk mengalami kehidupan yang lebih baik dari orang tuanya. Indeks mobilitas sosial tersebut diukur dari 5 aspek: pendidikan, kesehatan, teknologi, pekerjaan, perlindungan sosial dan institusi.

Data The Global Mobility Index 2020 menunjukkan, indeks mobilitas sosial Indonesia berada diperingkat 67 dari 82 negara. Skor indeks mobilitas sosial Indonesia adalah 49,3. Bisa dikatakan, mobilitas sosial Indonesia termasuk rendah.

Kualitas pendidikan di Indonesia, mengacu pada skor PISA tahun 2018, masih kurang baik. Kemampuan pelajar Indonesia dalam hal matematika, membaca dan sains masih dibawah rata- rata. 

Selain kualitas tenaga pendidik masih rendah, buruknya kualitas pendidikan disebabkan oleh mutu pendidikan antar daerah, misalnya Jakarta dan Papua, belum merata alias timpang.

Data dari UNICEF (2020) menunjukkan, jumlah anak di Indonesia, khususnya dari keluarga miskin, yang belum mendapatkan layanan pendidikan dasar dan menengah per tahun 2018 sekitar 4,2 juta anak. Selain itu, ISEAS-Yusof Ishak Institute melaporkan, pandemi Covid-19 mengakibatkan 69 juta pelajar Indonesia kehilangan akses pendidikan.

Akses teknologi yang belum merata menjadi penyebab banyak pelajar kehilangan akses pendidikan. Data World Telecommunication 2020 menunjukkan, pengguna internet di Indonesia masih 54 persen dari populasi. 

Ironisnya, pengguna internet sebagian besar masih terkonsentrasi di kota besar dan pulau Jawa. Belum semua daerah memiliki infrastruktur internet.

Keterbatasan akses internet membuat banyak anak Indonesia, khususnya dari keluarga miskin, kesulitan belajar daring selama pandemi. 

Ditambah lagi, kapabilitas keluarga miskin sangat terbatas. Banyak yang tidak mampu membeli smartphone. Akibatnya, proses belajar di daerah yang minim atau tidak memiliki akses internet tidak maksimal. Bahkan, tidak sedikit yang berhenti.

Selain pendidikan, kualitas kesehatan individu sangat menentukan kualitas hidupnya. Untuk mendapatkan kesehatan yang baik diperlukan akses layanan kesehatan yang bermutu sejak dini alias bayi. 

Berdasarkan Studi Status Gizi Indonesia 2021, angka prevalensi bayi stunting di Indonesia masih 24,4 persen.

Persoalan stunting masih menghantui Indonesia. Orang yang mengalami stunting biasanya tingkat kecerdasannya tidak maksimal atau di bawah normal, produktivitasnya rendah dan rentan terhadap penyakit. 

Dampaknya, Indonesia tidak akan mendapatkan manfaat dari bonus demografi. Sebaliknya, bonus demografi akan menjadi “bencana” bagi Indonesia.

Kekurangan gizi yang dialami ibu hamil dan bayi menjadi salah satu penyebab bayi stunting. Penghasilan keluarga miskin sangat minim. Tanpa penghasilan yang memadai, ibu hamil dan balita dari keluarga miskin sulit mendapatkan makanan yang sehat dan bergizi. Padahal, makanan yang bergizi sangat penting bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi.

Akses layanan imunisasi juga masih timpang. Data State of Health Inequality in Indonesia 2017 menunjukkan, angka cakupan imunisasi pada keluarga miskin di Indonesia sangat rendah. Masih 39,8 persen. Tanpa layanan imunisasi, risiko kematian bayi sangat tinggi.

Secara keseluruhan akses layanan kesehatan yang bermutu juga masih timpang. Data Global Burden of Disease Study 2016 menunjukkan, indeks layanan dan kualitas kesehatan Indonesia masih 44,5 persen. 

Banyak masyarakat miskin dan rentan belum mendapatkan akses kesehatan yang baik. Sarana dan prasarana layanan kesehatan yang mumpuni belum merata antar daerah.

Kualitas kesehatan, pendidikan dan teknologi yang diterima atau dimiliki oleh anak sangat berpengaruh pada kesempatan dan kemampuannya ketika bekerja. Karena akses mendapatkan ketiga hal itu kurang atau tidak ada, maka kesempatan bekerja bagi anak yang tumbuh dari keluarga miskin juga terbatas.

Peluang mereka untuk mendapatkan pekerjaan yang menuntut keterampilan dan upah tinggi sangat kecil. Mereka cenderung mendapatkan pekerjaan yang bersifat informal dan upah yang rendah. 

Pekerjaan dengan upah tinggi biasanya mensyaratkan calon pekerja memiliki keterampilan atau setidaknya mempunyai ijazah dari perguruan tinggi.

Hasil penelitian SMERU Research Institute menunjukkan, pendapatan anak dari keluarga miskin ketika dewasa 87 persen lebih rendah dibanding anak dari keluarga yang tidak miskin. 

Selain itu, tingkat pengangguran terbuka di tanah air masih menjadi masalah yang serius. BPS mencatat tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2021 sekitar 6,49 persen.

Meski menurun, tingkat pengangguran di Indonesia cenderung fluktuatif. Oleh sebab itu, penyediaan lapangan pekerjaan dengan upah yang layak harus diwujudkan secara adil dan merata, termasuk kesempatan kerja bagi perempuan.

Perempuan punya hak yang sama untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkannya dan upah yang setara. Sayangnya, angka partisipasi angkatan kerja perempuan masih rendah dibanding laki- laki. 

BPS mencatat tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan di Indonesia tahun 2020 masih 50,72 persen, sedangkan laki- laki mencapai 85,87 persen.

Memperluas kesempatan kerja secara adil dan merata dengan upah yang layak berpotensi menurunkan angka pengangguran. Tanpa memiliki pekerjaan yang baik dengan upah yang layak sulit membayangkan seseorang bisa mengalami hidup sejahtera.

Kebijakan yang progresif

Harus diakui, meski ada kekurangan, pemerintah sudah melakukan upaya yang cukup baik. Namun, masih banyak pekerjaan rumah yang belum selesai.

Selain memperluas akses dan meningkatkan kualitas pendidikan, kesehatan, teknologi, dan kesempatan kerja secara adil dan setara, kebijakan yang progresif sangat penting dan mendesak. Bagaimanapun, negara punya kapasitas dan tanggung jawab mengupayakan peningkatan mobilitas sosial masyarakat.

Arah dan kebijakan pembangunan dari pemerintah sangat menentukan terciptanya akses dan kesempatan. Pemerintah sebagai regulator dituntut progresif dan bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme. 

Kebijakan yang diambil harus dalam rangka mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh masyarakat. Selain itu, dampak disrupsi teknologi juga perlu dicermati.

Disrupsi teknologi memaksa manusia beradaptasi dengan cara mendisrupsi dirinya sendiri. Cepat atau lambat, teknologi seperti kecerdasan buatan akan membentuk ulang tatanan dunia. 

Kita perlu mencermati konsekuensi dari implementasi kecerdasan buatan; otomatisasi tidak hanya mengubah lanskap pekerjaan manusia, tapi juga cara manusia bekerja.

World Economic Forum dalam Future of Jobs Report 2020 memprediksi, selain menghasilkan 97 juta jenis pekerjaan baru, kecerdasan buatan juga akan menghilangkan 85 juta jenis pekerjaan. Akan ada masa di mana beberapa (bahkan semua) pekerjaan manusia diambil alih oleh kecerdasan buatan. Masa transisi itu akan menjadi ujian bagi umat manusia.

Masa transisi menuju era kecerdasan buatan diprediksi akan mengguncang perekonomian negara dan dunia. Bila gagal mempersiapkan diri, Indonesia akan mengalami pukulan yang telak seperti halnya pandemi Covid-19; pengangguran, ketimpangan dan kemiskinan akan meningkat.

Selain upskilling dan reskilling sumber daya manusia, meningkatkan anggaran perlindungan sosial dan memperluas cakupannya sudah selayaknya dilakukan oleh pemerintah di era disrupsi. Perlindungan sosial dengan jumlah yang memadai bisa mengurangi dampak negatif otomatisasi (World Economic Forum, 2020).

Sayangnya, anggaran untuk perlindungan sosial di Indonesia masih kecil. Data World Social Protection Report 2020-22 menunjukkan, anggaran untuk perlindungan sosial hanya 1,3 persen dari produk domestik bruto (PDB). 

Selain itu, Bank Dunia juga mencatat cakupan perlindungan sosial dan ketenagakerjaan di Indonesia per 2019 masih rendah: 45 persen dari populasi.

Ketika pekerja dari keluarga miskin dan rentan terkena imbas otomatisasi, maka yang bisa menolong mereka menjalani masa transisi – minimal kebutuhan dasar – adalah perlindungan sosial dari pemerintah.

Amartya Sen, peraih Nobel Ekonomi, pernah mengatakan, pembangunan yang inklusif akan terwujud bila setiap orang memiliki kemampuan dan akses yang layak dan adil untuk memiliki hidup yang lebih baik (sejahtera). 

Menurut Bank Dunia, 53,2 persen penduduk Indonesia belum bebas dari kemiskinan. Artinya, kapabilitas sebagian masyarakat Indonesia masih terbatas.

Bank Dunia juga mencatat, kenaikan konsumsi 40 persen masyarakat miskin di tanah air selama 7 tahun (2003- 2010) kurang dari 2 persen. 

Sebaliknya, konsumsi 10 persen orang terkaya di Indonesia dalam periode yang sama mencapai 6 persen. Bahkan, BPS mencatat upah rata- rata angkatan kerja Indonesia dari berbagai bidang tahun 2020 hanya sekitar 2,7 juta rupiah per bulan.

Rendahnya tingkat konsumsi masyarakat miskin, salah satunya, disebabkan oleh minimnya pendapatan. Salah satu program yang layak dicoba oleh pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah universal basic income (UBI). 

UBI atau biasa disebut pendapatan dasar adalah suatu pemberian bantuan tunai secara berkala kepada setiap individu tanpa syarat apapun.

UBI bisa dianggap sebagai bagian perlindungan sosial. Sumber, besaran dan istilahnya bisa beragam, misalnya bantuan langsung tunai (BLT). Meski ada perbedaan, konsep BLT mirip atau mengapdopsi prinsip UBI. Ide UBI memang lahir pada abad 16. Namun, implementasinya sangat relevan di era disrupsi.

Perluasan akses dan perbaikan kualitas pendidikan, kesehatan, teknologi dan kesempatan kerja idealnya diikuti dengan peningkatan pendapatan dasar kelompok miskin dan rentan. Keduanya sama- sama penting dan harus sejalan. Bila salah satu diabaikan, ketimpangan bukan semakin menurun, malah semakin melebar.

Anak dari keluarga miskin tetap akan kesulitan mendapatkan pendidikan yang bagus bila orang tua mereka tidak memiliki penghasilan yang cukup. Kecuali, pendidikan bermutu itu gratis dan merata serta anak atau orang tuanya memiliki previlise.

Masalahnya adalah apakah pendidikan di Indonesia sudah berkualitas? Apakah pemerintah bersedia memberikan pendidikan bermutu secara gratis bagi semua anak, khususnya dari keluarga miskin dan rentan? Apakah semua anak memiliki previlise?

Implementasi pendapatan dasar juga memberikan dampak positif bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi. Penelitian yang dilakukan Sonya V. 

Troller-Renfree (2021) di Amerika Serikat menunjukkan, bantuan tunai kepada ibu dari keluarga miskin untuk tahun pertama kehidupan bayinya dapat meningkatkan kemampuan otak bayi mereka; kemampuan kognitif bayi meningkat.

Pendapatan dasar dalam bentuk bantuan tunai memungkinkan kelompok miskin dan rentan membeli makanan bergizi yang bermanfaat untuk pertumbuhan dan perkembangan bayinya. Artinya, pendapatan dasar yang diberikan negara dengan jumlah yang wajar bisa meningkatkan kapabilitas masyarakat miskin dan rentan.

Studi yang dilakukan SMERU Research Institue tahun 2020 juga menunjukkan, pendapatan dasar ataupun bantuan langsung tunai (BLT) efektif mengurangi kemiskinan, meningkatkan derajat kesehatan masyarakat miskin dan pencapaian pendidikan.

Meskipun pendapatan dasar -- dengan berbagai bentuk dan istilah – memberikan banyak manfaat, penerapannya tidak gampang. Selain membutuhkan data kependudukan yang transparan dan akuntabel, beban keuangan negara juga akan bertambah.

Agar pendapatan dasar efektif dan bermanfaat, dengan jumlah penduduk miskin dan rentan tinggi, anggaran yang dibutuhkan tidaklah sedikit. Keberhasilan program pendapatan dasar juga bergantung pada birokrasi dan perilaku pejabat atau birokrat. Dibutuhkan birokrasi yang transparan dan pejabat yang berintegritas agar anggaran untuk pendapatan dasar tidak disalahgunakan.

Tantangan lain yang juga menentukan keberhasilan implementasi pendapatan dasar adalah perilaku dan mindset masyarakat miskin dan rentan. 

Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) tahun 2021 yang lalu melaporkan, keluarga miskin perokok di Indonesia menjadikan rokok sebagai kebutuhan dasar yang setara dengan kebutuhan pokok.

Setelah beras, rokok merupakan pengeluaran terbesar keluarga miskin. Kesadaran sebagian besar keluarga miskin di Indonesia akan pentingnya pemenuhan gizi masih rendah. Bayangkan, jika pendapatan dasar berupa BLT yang diterima keluarga miskin perokok sebagian besar digunakan untuk rokok.

Pemberian pendapatan dasar mesti disertai dengan pelatihan dan penyediaan lapangan kerja yang layak. Hanya bergantung pada perlindungan sosial dari pemerintah juga tidak baik. Bagaimanapun, kita harus bekerja; bekerja adalah hakikat manusia. Tanpa mengubah mindset dan perilaku, sebesar apapun BLT yang diterima tidak akan pernah bermanfaat.

Keadilan sosial

Ukuran negara maju bukan hanya sebatas angka pertumbuhan ekonomi. Lebih dari itu, masyarakatnya sejahtera dan bahagia. 

Pandemi Covid-19 dan disrupsi teknologi memaksa setiap negara mewujudkan pembangunan inklusif. Setiap warga negara memiliki kesempatan yang adil dan setara untuk hidup sejahtera dan bahagia.

Hasil kajian World Economic Forum menunjukkan, mobilitas sosial cenderung meningkat bila rasio gini dan ketimpangan peluang semakin menurun. Masyarakat di negara dengan tingkat ketimpangan rendah cenderung lebih bahagia dibanding masyarakat yang hidup di negara dengam ketimpangan tinggi.

Ya, ketimpangan menghambat mobilitas sosial. Mobilitas sosial rendah, jumlah masyarakat miskin dan rentan tidak akan berkurang. Sebaliknya, malah berpotensi meningkat. 

Perluasan akses dan perbaikan kualitas pendidikan, kesehatan, teknologi, kesempatan kerja serta pemerintahan yang progresif merupakan faktor kunci peningkatan mobilitas sosial masyarakat.

Bila semua masyarakat, khususnya kelompok miskin dan rentan, mendapatkan akses pendidikan, kesehatan, teknologi, kesempatan kerja, perlindungan sosial dan pendapatan dasar yang memadai dari pemerintah, peluang untuk mengalami kehidupan sejahtera semakin besar. Kesempatan bangsa Indonesia untuk keluar dari middle income trap juga semakin terbuka.

Keseriusan bangsa Indonesia menjadi negara maju bisa dilihat dari sejauh mana upaya perluasan akses dan peningkatan kualitas di bidang pendidikan, kesehatan, teknologi dilakukan secara adil dan merata. Sejauh mana setiap warga negara, tanpa terkecuali, mendapatkan kesempatan kerja dengan upah yang wajar.

Sejauh mana upaya pemerintah memberikan perlindungan sosial dan memperluas cakupannya, termasuk program pendapatan dasar. Mayoritas masyarakat Indonesia masih belum merdeka dari kemiskinan. Pendapatan dasar – dengan berbagai bentuk, istilah dan besaran – merupakan salah satu instrumen penting pembangunan inklusif.

Pendapatan dasar memang bukan peluru perak. Pendapatan dasar merupakan katalisator pengentasan kemiskinan dan ketimpangan. Ini hanya mungkin bila tiap orang atau keluarga yang menerima pendapatan dasar dari negara mampu menggunakannya dengan bijak. Ditambah, akses kesehatan, pendidikan, teknologi dan kesempatan kerja tersedia secara adil dan setara.

Sejatinya, orientasi pembangunan yang inklusif adalah manusia. Pembangunan inklusif menciptakan kesempatan dan akses bagi setiap orang dengan kapabilitas yang dimilikinya agar bisa hidup sejahtera dan bahagia. Bila pembangunan tidak berfokus pada peningkatan kualitas hidup sumber daya manusia, pertumbuhan ekonomi yang dicapai bersifat involusi.

Tumbuh, tapi kurang berkualitas. Lihat bangsa Indonesia: ekonomi bertumbuh dengan baik, tetapi korupsi meningkat. Ekonomi tumbuh, tapi masyarakatnya sebagian besar miskin dan rentan. Karena itu, pembangunan yang inklusif sangat mendesak dan diperlukan. Pembangunan yang inklusif di Indonesia sangat mungkin terwujud.

Sudah saatnya, pemerintah dengan dukungan dan partisipasi semua pihak, bersama- sama mewujudkan pembangunan inklusif; meningkatnya mobilitas sosial. 

Mengurai ketimpangan dan kemiskinan melalui pembangunan yang inklusif merupakan cara yang logis dan relevan. Dengan demikian, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi nyata.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun