Mohon tunggu...
Rianto Harpendi
Rianto Harpendi Mohon Tunggu... Insinyur - Universe

Dum spiro, spero

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mewujudkan Pembangunan Inklusif

26 Februari 2022   06:33 Diperbarui: 26 Februari 2022   09:41 662
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tukang rongsokan tengah istirahat di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta, Senin (22/4/2020). Di tengah pandemi Covid-19 dalam situasi yang sangat berat, pemerintah mengumumkan akan terjadi peningkatan jumlah angka kemiskinan hingga 3,78 juta orang (KOMPAS.COM/KRISTIANTO PURNOMO)

Data World Bank Enterprise Survey 2015 menunjukkan, hanya 7,7 persen perusahaan di Indonesia yang menyediakan pelatihan formal bagi pekerjanya. 

Ironisnya, anggaran untuk training formal, menurut APINDO Research Institute tahun 2019, tidak sampai 5 persen dari biaya produksi. Ini menunjukkan bahwa pekerja belum dianggap aset oleh banyak perusahaan.

Tanpa pelatihan formal, pekerja yang kurang terampil akan kesulitan memperoleh kenaikan upah. Di sisi lain, pekerja yang terampil mendapatkan upah yang baik. Selain karena minimnya pelatihan formal, kualitas dan tingkat pendidikan (calon) pekerja yang tidak merata juga memicu kesenjangan upah.

Mobilitas sosial

Ketimpangan yang masih cukup tinggi merupakan bukti pembangunan yang berlangsung selama ini belum inklusif. Selain menghambat pengentasan kemiskinan dan merusak kohesi sosial, ketimpangan juga berdampak negatif pada mobilitas sosial.

Ketimpangan menghambat kemampuan dan aksesibilitas sebagian orang untuk mengalami hidup yang lebih baik. 

Kemampuan yang dimaksud adalah setiap orang dapat melakukan sesuatu ataupun memiliki sesuatu yang diinginkan. Ini sangat mungkin bila akses untuk mendapatkan atau melakukannya tersedia untuk setiap orang secara adil dan setara.

Kemampuan dan akses tidak boleh dibatasi ataupun terbatas. Dibatasi, misalnya, seseorang sulit mendapatkan karir atau upah yang baik karena mengalami diskriminasi. Terbatas, misalnya, seseorang tidak bisa mendapatkan layanan kesehatan karena tidak memiliki penghasilan. Mobilitas sosial seseorang sangat bergantung pada kapabilitas dan akses yang dimilikinya.

Dua tahun yang lalu, World Economic Forum merilis Social Mobility Index. Indeks mobilitas sosial mengukur sejauh mana kemampuan individu (anak) untuk mengalami kehidupan yang lebih baik dari orang tuanya. Indeks mobilitas sosial tersebut diukur dari 5 aspek: pendidikan, kesehatan, teknologi, pekerjaan, perlindungan sosial dan institusi.

Data The Global Mobility Index 2020 menunjukkan, indeks mobilitas sosial Indonesia berada diperingkat 67 dari 82 negara. Skor indeks mobilitas sosial Indonesia adalah 49,3. Bisa dikatakan, mobilitas sosial Indonesia termasuk rendah.

Kualitas pendidikan di Indonesia, mengacu pada skor PISA tahun 2018, masih kurang baik. Kemampuan pelajar Indonesia dalam hal matematika, membaca dan sains masih dibawah rata- rata. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun