Data Bank Dunia tahun 2020 menunjukkan, sekitar 53,2 persen orang Indonesia masih tergolong miskin dan rentan; belum merdeka dari kemiskinan. Artinya, 53,2 persen penduduk Indonesia masih rentan dan sensitif terhadap guncangan ataupun inflansi. Mereka yang paling merasakan dampak guncangan, misalnya pandemi Covid-19.
Pemutusan hubungan kerja (PHK) atau pembatasan sosial berskala besar (PSBB) yang terjadi selama pandemi telah membatasi banyak orang, khususnya pekerja informal, untuk memperoleh pendapatan.Â
Ketika tabungan yang dimiliki semakin tipis atau habis, ditambah minimnya bantuan dari pemerintah, tidak sedikit dari mereka pada akhirnya menjadi miskin.
Sejak pandemi Covid-19 melanda Indonesia awal tahun 2020, BPS mencatat kemiskinan di Indonesia naik hampir 1 persen dari September 2019 menjadi 10,19 persen pada September 2020.Â
Pandemi Covid-19 telah membuat hidup orang miskin dan rentan semakin terpuruk. Akibatnya, jurang pemisah antara orang kaya dan orang (rentan) miskin semakin lebar.
Minimnya pendapatan membatasi kesempatan atau peluang orang miskin untuk mengubah nasibnya. Ada kesenjangan kesempatan. Inilah faktor ketiga penyebab terjadinya ketimpangan.Â
Hasil penelitian Mayang Rizki dkk (2019) dari SMERU Research Institute menunjukkan, anak yang lahir dan tumbuh dari keluarga miskin cenderung akan tetap miskin ketika dewasa.
Salah satu sebabnya adalah mereka tidak memiliki kesempatan awal yang baik dan adil. Kondisi ekonomi orang tuanya membuat mereka tidak bisa menikmati pendidikan dan kesehatan yang baik. Tanpa memiliki akses pendidikan dan kesehatan yang berkualitas mereka akan terjebak dalam lubang kemiskinan.
Selain itu, pekerjaan yang tidak adil dan merata juga menjadi penyebab ketimpangan. Upah antara sejumlah pekerja terampil dengan sebagian besar pekerja kurang terampil masih timpang.Â
Meningkatnya permintaan pekerja yang terampil tidak diikuti dengan ketersediaan pelatihan bagi pekerja untuk reskilling dan upskilling.