Lalu, mengapa ketimpangan di Indonesia cenderung meningkat? Apa dampaknya? Apakah pembangunan yang inklusif bisa terwujud?
Tahun 2015 yang lalu, Bank Dunia melaporkan ada 4 penyebab ketimpangan di Indonesia. Meski laporan itu dibuat beberapa tahun yang lalu, hasil kajiannya masih relevan sampai saat ini. Penyebab pertama ketimpangan adalah distribusi kekayaan tidak merata.
Pertumbuhan ekonomi tidak selalu diikuti dengan pemerataan distribusi kekayaan atau pendapatan. Belum lama ini lembaga Oxfam melaporkan harta 10 orang paling kaya di dunia semakin meningkat di tengah pandemi Covid-19. Sementara, tingkat kemiskinan justru meningkat tajam.
Sistem ekonomi yang berlaku saat ini cenderung cacat. Akibatnya, distribusi kekayaan dari pertumbuhan ekonomi tidak merata. Indonesia juga demikian.Â
Lembaga Oxfam melaporkan jumlah kekayaan 4 orang terkaya di Indonesia masih lebih banyak jika dibanding dengan total 100 juta orang miskin di Indonesia.
Data Global Wealth Databook 2021 menunjukkan, jumlah orang Indonesia yang memiliki kekayaan lebih dari 1 juta USD meningkat dari 106.215 orang menjadi 171.740 orang. Sementara, dalam periode yang hampir sama, BPS mencatat per September 2020, jumlah penduduk miskin naik 0.97 persen (sekitar 2,76 juta orang) dibanding September 2019.
Semakin tidak merata distribusi kekayaan, ketimpangan akan cenderung meningkat. Tingkat ketimpangan distribusi kekayaan penduduk Indonesia tahun 2020 adalah 77,7 persen.Â
Dengan kata lain, aset atau kekayaan nasional masih dimiliki dan dinikmati oleh segelintir orang saja. Faktanya, 5 persen orang terkaya di Indonesia menguasai 55,5 persen kekayaan nasional (Credit Suisse, 2021).
Hal kedua yang menjadi pemicu terjadinya ketimpangan adalah ketahanan ekonomi rendah. Kemiskinan dan ketimpangan ibarat dua sisi koin yang tak terpisahkan.Â
Studi yang dilakukan Abigail Mcknight (2018) menunjukkan ketimpangan berkorelasi positif dengan kemiskinan. Kemiskinan di Indonesia masih cukup tinggi.