Setelah berbelok ke kanan di depan tampak pintu yang telah terbuka dan di dalamnya terlihat dari jauh beberapa orang telah duduk mengelilingi sebuah meja bundar. Jantung Abdi berdegup, bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan yang mengundang mereka ke sini dan apa hubungannya dengan kejadian kemarin. Sepertinya ia mengenal suara di depan. Selagi Abdi terus melangkah ke pintu yang sudah terbuka, Dalem masih asyik mengamati sisa lukisan yang ternyata bersambung hingga sebelum masuk ruangan. Setelah lukisan di dinding berakhir barulah ia menghadapkan wajahnya ke depan. Hampir menabrak Abdi, ia juga ternyata terkejut melihat dua orang yang sedang berdiri.
      "Ah, dua orang yang kita tunggu telah tiba. Ayo masuk kemari Abdi.. Dalem," ujar suara pertama.
      "I..iya Imam Hassan,"
      Abdi masih belum bisa menghilangkan keterkejutan bertemu kembali dengannya. Apalagi kali ini beliau datang mungkin bukan hanya sebagai seorang Imam Masjid biasa namun seorang yang penting dari Kerajaan Samudera. Melangkah ke arah kursi kosong, ia mengerling ke belakang untuk melihat Dalem yang kini hanya terpaku di tempat, melihat ke arah seseorang yang berdiri persis di seberang kursi Imam Hassan.
      "Su.. sultan.. Mala..." ucapnya dengan terbata.
      "Ada apa Dalem? Beliau adalah Sultan Mahathir, Sultan Malaka, tempat di mana kita berada saat ini," ucap Imam Hassan.
      "Eh.. i..iya betul.. waah..."
      Sultan Mahathir hanya mengangguk singkat kepada Dalem sambil tersenyum.
      "Pengaruh obat bius rupanya masih tertinggal ya?" canda Imam Hassan sambil mengangkat tangan sepinggang dan mengarahkannya ke tempat duduk kosong yang tak jauh di tengah.
      "Ayo masuk dan duduklah, semuanya juga menunggu untuk mendapat penjelasan," ujarnya kemudian yang membuat Abdi dan Dalem segera menempati dua dari empat kursi kosong yang tersedia. Setelah duduk Abdi dan Dalem terlihat sedikit grogi dan hanya memandang ke depan.
      "Alhamdulillah, kurang dua orang lagi, bagaimana Tuan Mahathir? Kita mulai?"