Tatsuki kemudian memeluk erat Safitri, membiarkan empati dan atom-atom di dalam tubuh mereka melebur jadi satu lalu disaksikan oleh penerang lapangan dan langit malam yang kini menangis ikut terharu menjatuhkan air dari langit gelap itu.
     Rinai hujan membuat mereka basah kuyup, baik Safitri ataupun Tatsuki tidak peduli. Kebersamaan mereka begitu nyata, hingga hati kecil Tatsuki tersentuh dengan klimaks yang dibangun oleh Safitri. Klimaks yang tidak ia duga, berproses dari sebuah perkenalan, percakapan, kedekatan, pertukaran emosi, dan diakhiri ciuman yang membekas di hati.
    Sama seperti langit malam yang menjatuhkan air mata, Tatsuki pun juga membiarkan air matanya mengalir. Ada harapan yang tumpah di sana. Sebuah harapan akan kebersamaan yang seharusnya berakhir pada ikatan suci.
    Namun, impiannya tidak diarsip oleh Tuhan demikian.
    Ketika malam Halloween tiba, Tatsuki yang berdandan sebagai Piero si badut murung, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Safitri tengah tertawa dan bergandengan tangan bersama seorang perempuan yang berdandan sebagai Robin Buckley---rekannya Steve Harrington pada serial Stranger Things.
    Piero versi Tatsuki benar menjadi kenyataan. Badut murung menjadi murung sungguhan.
    Ia merasakan seluruh pesta itu berjalan dengan tempo lambat dan menganggapnya tidak ada, orang-orang bergerak mengikuti arus waktu yang entah membawanya ke mana. Sementara Tatsuki menyaksikan orang yang ia sayang saling berpelukan dan bertukar gelak tawa dengan perempuan lain, yang mana seharusnya adalah dia.
    Hatinya hancur berkeping-keping, kepalanya seperti ingin pecah. Kelopak matanya berembun dan lama-lama terasa panas. Napasnya berubah pendek, bibir dan tangannya bergetar tak keruan. Alunan lagu berjudul Homage oleh Mild High Club kesukaannya berubah jadi dengung yang membuat telinga menjadi sakit.
    Hingga akhirnya Safitri dan Tatsuki saling menautkan sorot mata lagi. Dalam waktu yang singkat, Tatsuki masih menyangkal bahwa itu adalah Safitri-nya. Atlet tenis yang selalu menatapnya saat mencetak angka, orang yang selalu tersenyum ketika bersua dengannya, orang sama yang menciumnya penuh arti di pinggir lapangan pada malam nan indah itu.
    Tidak, itu bukan Safitri yang sama.
    Tidak, tidak, tidak.