Mohon tunggu...
Rangga Dipa
Rangga Dipa Mohon Tunggu... Lainnya - Karyawan Swasta

write a story to inherit my grandchildren.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Homage

15 September 2024   16:34 Diperbarui: 16 September 2024   23:34 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Dia berjalan menyusuri lorong yang terang sambil melihat rak yang berada di kanan dan kirinya dipenuhi aneka kebutuhan rumah tangga hingga makanan kemasan. Sebuah keranjang berisi tiga buah kotak sereal rendah gula dan sebungkus buah apel ditenteng oleh lelaki itu.

            Kini ia berjalan menyusuri lorong yang menyediakan susu kotakan, menimbang-nimbang kandungan gizi yang tertera pada sisi kotak, lalu menaruh dua buah ke dalam keranjang saat menemukan yang sesuai dengan kriteria gizinya.

            Sulaiman Hud Safitri, lelaki berbadan atletis yang mengenakan kacamata hitam, masker wajah serta jaket hoodie yang tudungnya menutupi kepala, sesungguhnya tak ingin pergi ke pasar raya pada hari Jumat sore. Namun, persediaan bahan makanan yang disimpan di dalam kulkas apartemennya sudah menipis.

            Terpaksa ia pergi ke pasar raya pada waktu yang agak ramai, berharap tidak ada orang yang mengenalinya tetapi ia lupa akan kehebatan warga negara Indonesia. Mereka dapat mengenali Safitri, si atlet tenis berusia 29 tahun kebanggaan bangsanya---ranking 9 dunia dan pernah menyabet medali perak olimpiade pada cabor sama.

            Beberapa dari mereka langsung meminta swafoto. Terpaksa, karena tak ingin dianggap sombong dan keras kepala---apalagi jari-jari warganet negaranya sungguh nyelekit di hati jika tidak dituruti keinginannya, Safitri harus meladeni berondongan foto dan pertanyaan lainnya seputar kehidupan pribadi.

            Safitri hanya membalas dengan senyum ramah, tanpa sepatah kata apapun kecuali "Iya, sama-sama."

            Ia bergegas pergi menuju lorong yang agak sepi. Niatnya ingin berbelanja saja, justru berubah menjadi adegan kartun Tom & Jerry. Safitri sembunyi lalu lari, sembunyi lagi kemudian lari. Sudahlah biarkan begitu, namanya juga atlet kelas dunia.

            Saat berjalan menyusuri lorong aneka minuman yang ada di dalam pendingin, jantungnya hampir copot sewaktu melihat anak perempuan tengah berada di dalam salah satu kulkas---menaruh kedua tangan di samping kepala dan menjulurkan lidah ke arah Safitri.

            Anak siapa itu? Sungguh, Safitri langsung tertawa geli melihat kelakukan si bocah, ia melihat ke kanan lalu kiri memastikan orang tuanya ada di sana, dan segera mengeluarkannya dari dalam kulkas.

            "Ibu kamu di mana? Kok kamu di sini sendirian?" tanya Safitri seraya mencubit pelan pipi penuh anak kecil itu.

            "Enggak tahu, nanti juga ketemu."

            Dari jawaban si anak berambut hitam dikepang dua dengan jaket merah muda dan sepatu bots merah menutupi kaki mungilnya. Safitri yakin ini bukanlah kali pertama bocah tersebut lenyap dari pengawasan orang tuanya.

            "Maruko! Ya ampun kamu masuk kulkas lagi, ya?" seru seorang wanita yang membuat Safitri dan Maruko---nama bocah itu, membalikkan badan untuk mengikuti sumber suara. "Maaf ya merepotkan, Maruko suka banget pergi terus masuk ke dalam kulkas," lanjut wanita itu dengan napas agak tersekal, ia kemudian berlutut dan memeriksa wajah Maruko, memastikan bahwa tidak ada luka atau noda makanan.

            Berikutnya memastikan tali sepatu anaknya tidak lepas.

            "Terima kasih ya, Pak. Sekali lagi, maaf merepotkan," kata si wanita dengan lembut sambil berdiri menggendong anaknya untuk ditaruh pada dudukan troli belanja.

            Wanita itu mengajaknya bersalaman, untuk sesaat Safitri merasakan dunianya berhenti berputar selama sedetik. Udara dingin pasar raya bersamaan dengan kenangan masa lalu yang sudah lama terpendam, tetiba bangkit dan perlahan merambat tulang punggungnya.

Dari balik lensa hitamnya, ia yakin tidak salah lihat orang yang berdiri di depannya itu. Segera ia melepas kacamata dan maskernya. Si wanita juga tak kalah terkejut---matanya langsung terbelalak lebar serta mulutnya menganga.

            "Safitri?"

            "Tatsuki?"

            Panggil keduanya saling menunjuk. Sebuah pertemuan dari sahabat lama yang terpisah oleh nasib, jarak, dan waktu setelah lulus SMA 13 tahun lalu.

***

            "Kamu apa kabar, Saf? Oh God, it's been like forever! How was tennis? How was everything? Gosh I'm so excited and I can't stop yapping around!" 

            Keduanya berjalan menyusuri lorong makanan ringan. Tentu saja, Maruko langsung menyebutkan apa saja yang ia inginkan seperti permintaan seorang penyanyi sebelum dirinya naik ke panggung. Safitri tersenyum melihat kejadian itu sebab masih tidak percaya akan pertemuan mereka.

            "Been good so far, all good! Aku masih enggak nyangka kita ketemu di sini, hari ini."

            "Ya, kan? Kayak apa gitu maksudnya, argh! Semesta mempertemukan kita di saat-saat yang unik dan tak terduga," kata Tatsuki---ya, Adrianna Tatsuki yang masih sama, kehangatannya, cara bicaranya yang aneh bin quirky kalau kata Safitri, dan senyuman manis dengan lesung pipinya.

            Semua masih sama.

            "It's more like one in a million possibilities and yet the universe arrange our meeting in this market. Aku tenteng sereal buat diri sendiri, kamu beli sereal karena itu kesukaan Maruko, isn't it?" 

            Tatsuki tertawa ramah setelah Safitri melihat isi troli belanjaannya dan menebak-nebak untuk siapa dan mengapa.

            "Same old Safitri, huh?" ujar Tatsuki berdecak kagum karena melihat temannya meladeni swafoto bersama fans.

            "Maaf ya, ganggu kamu sama Maruko, kah?"

            Tatsuki menggelengkan kepala, "Enggak lah, aku santai tauk! Eh gimana tinggal di Spanyol? Kamu beneran pengin ganti kewarganegaraan?" ia kembali berjalan mendorong trolinya.

            "Hahaha enggak Tat, aku tinggal di Spanyol karena lebih efisien aja, turnamen-turnamen biasanya dihelat di Eropa. I'm exhausted if I should fly from Indonesia to wherever this tournament goes, especially Europe," jelas Safitri sambil memainkan tangan Maruko.

            "Oh well, welcome back to Indonesia, then. Sampai kapan?"

            "Minggu ini, terus aku cabut lagi ke Barcelona."

            "Let me know, ya!" ujar Tatsuki ramah.

            Untuk sesaat Safitri meneliti rupa sahabat SMA-nya itu. Dari atas hingga bawah. Adrianna Tatsuki dengan coat pastel, rok selutut, kaus kaki pendek berwarna hitam sehingga betisnya dibiarkan telanjang, sepatu hitam, dan kini rambut hitam sebahunya terlihat indah karena ujungnya bergelombang.

            Sesekali ia menaruh kembali jajanan yang diambil oleh Maruko secara sembarangan, mendidiknya dengan kata-kata santun, kemudian memberikan kuliah singkat sebab-akibat untuk anak kesayangannya. Lalu mencium kening Maruko dengan penuh arti.

            Tidak, Safitri harus menarik lagi kata-katanya. Dia bukan Adrianna Tatsuki yang sama; radikal dan pemberontak. Ia telah berubah menjadi seorang ibu penyayang, elegan, dan taat akan aturan.

            "Tat, I am so glad to see you and how happy you are now."

            "Of course I am, Saf! Apalagi setelah aku ngelahirin Maruko tiga tahun lalu, proses menjadi Ibu adalah perjalanan spiritual yang akan mengubah hidupku selamanya. And I forever grateful with that!" 

            "Sure things! And your husband?" sebuah pertanyaan sederhana yang menohok ulu hati Safitri.

            "Oh, Mas Lukman? Dia mah sibuk ngurus tambang, lagi di Sulawesi sih, perhaps will be home within next month. Oh iya, Mas Lukman tuh nge-fans tauk sama kamu, kalau ketemu katanya mau foto bareng, aku izin foto kamu gapapa, ya?" izin Tatsuki sambil tertawa kemudian mengirimkan foto Safitri untuk suaminya di Sulawesi sana.

            Suara lagu yang diputar di pasar raya tempat mereka berbelanja menggema lalu mencuri perhatian keduanya. "Loh ini kan Homage? Kamu inget lagu ini, kan? Diputer waktu malam Halloween di sekolah dulu, Saf," ucap Tatsuki penuh semangat.

            "Oh iya, iya, aku inget!" balas Safitri.

            Tak disangka senyum merekah di wajah Safitri.

           Sorot mata mereka saling bertemu sementara lagu milik Mild High Club mengalun manja menjadi latar pertemuan mereka, mengundang penyesalan yang mengetuk pintu hati Safitri. Melemparnya ke masa-masa ketika keduanya masih berseragam putih abu-abu.

            Waktu itu sekolah mereka, SMA Una, tengah mengadakan malam Halloween pada akhir Oktober. Dekorasinya cukup ramai dan sungguh niat. Soal kreativitas anak-anak Una, jangan dipertanyakan.

          Gedung serbaguna yang dijadikan balai pertemuan didekor seperti kastil drakula, ada boneka kelelawar digantung, sarang laba-laba, lampu-lampu seram dari labu plastik, belum lagi para murid yang berdandan seperti hantu atau tokoh film kesukaan masing-masing.

         Lagu-lagu favorit zaman kiwari juga berdengung dari pengeras suara. Anak-anak mengambil makanan ringan dan segelas sirup yang tak kalah hebat dekorasinya, seakan kamu sedang meminum darah padahal bukan.

        Sebuah kenangan yang indah sekaligus memilukan.

        Safitri merasakan hatinya seperti dipukul, dadanya agak sesak mengingat itu. Sesungguhnya, 13 tahun lalu dirinya dengan Adrianna Tatsuki memiliki hubungan yang istimewa. Namun, seminggu sebelum pesta malam Halloween, Safitri melakukan sebuah kesalahan.

       Kesalahan yang amat besar dan selamanya ia sesali.

       Safitri memberikan harapan palsu kepada Tatsuki. Sejak duduk di bangku kelas 11 SMA, keduanya memang sudah dekat. Tatsuki bahkan tidak pernah absen menyaksikan pertandingan Safitri di lapangan tenis sekalipun hanya sesi latihan.

      Ia rajin menyeka peluh yang membanjiri wajahnya setelah melakoni pertandingan selama 2 jam---atau biasanya 1 jam 45 menit. Tertawa bersama sambil berpelukan erat saat Safitri meraih kemenangan. Dan tentu saja, rengkuhan hangat itu juga diberikan oleh Tatsuki saat melihat atlet kesayangannya menekuk wajah kecewa karena mengalami kekalahan.

    Tatsuki selalu ada, memastikan bahwa Safitri tak merasa sendirian di sana.

    Malam Halloween itu, Safitri memutuskan untuk berdandan seperti Steve Harrington yang mengenakan baju pelaut biru lengkap bersama topi bertuliskan AHOY. Salah satu tokoh fiksi dari serial kesukaan anak muda Stranger Things.

    Padahal sejak seminggu sebelum hari-H, Adrianna Tatsuki mengirimkan pesan teks, menelepon, dan beberapa kali menghampiri kelasnya, tetapi tahu apa? Safitri malah menghindar dan tak ingin bersua dengan Tatsuki.

    Hal itu membuat Tatsuki resah dan ketakutan.

    Apa yang membuat atlet kesukaannya menghindar? Apa yang membuat Safitri menjauhinya? Mengapa dia tidak menganggap Tatsuki ada? Halloween sebentar lagi, tetapi mengapa dia malah pergi?

    Apakah Tatsuki buruk rupa? Bukan tipenya? Tapi mengapa?

    Padahal Tatsuki ingin mengajaknya berdandan seperti Arlekin dan Piero the Clown dari film jadul tahun 1975 asal Rusia berjudul The Adventure of Buratino. Tahu Safitri menghindarinya, Tatsuki memutuskan untuk menjadi badut tunggal pada acara itu. Ia berperan sebagai Piero---badut sedih yang merasa kesepian.

    Beberapa minggu sebelum malam Halloween, keduanya berbincang sambil duduk di pinggir lapangan tenis saat jarum pendek menunjuk ruang kosong antara angka tujuh dan delapan.

    Safitri menatap langit mendung yang keunguan seraya bertanya soal nasihat lama.

    "Gantungkan cita-citamu setinggi langit, tapi aku enggak menemukannya. Apakah Tuhan belum selesai mengarsipkan tiap doa yang aku rapalkan?" gumam Safitri berhasil mencuri perhatian Tatsuki yang duduk seraya menyesap rokoknya.

    "Ngapain mempertanyakan tugas Tuhan? Kalau kamu percaya, biarlah Dia melakukan tugas-Nya, kita di bawah sini cukup percaya aja, Saf. I'm just saying, ya!" balas Tatsuki.

    Suara lembut dan seraknya berhasil mengalihkan konsentrasi Safitri. Perempuan berambut sebahu itu memiringkan kepala sambil memeluk lutut yang ditempel plester luka. Mata hitamnya yang sipit berseri di bawah pantulan cahaya lampu tribun lapangan tenis. Sementara rokok itu masih menyala di selipan jari tangan kanannya.

    Safitri hanya tersenyum tanda ia sepakat dengan penuturan Tatsuki.

    "Ngomongin Halloween, kamu kepikiran pengin jadi siapa?"

    Tatsuki tersenyum lebar karena tertarik dengan topik pembicaraannya. "Aku suka berdandan seperti badut, ada sih dari film jadul asal Rusia yang aku suka judulnya The Adventure of Buratino."

    "Oh, ya? Terus?"

    Tatsuki mengembuskan asap tipis yang menari-nari kemudian ditelan oleh lampu lapangan, "Aku bisa jadi Arlekin, dia itu gadis riang yang disukai banyak orang. Uniknya lagi, kamu tahu Harley Quinn, kan?"

    Safitri mengangguk, penasaran. Sesekali keduanya mengeratkan jaket saat angin malam bertiup menusuk tulang.

    "Nah, kalau kamu lihat model Arlekin. Dia tuh lebih mirip sama Harley Quinn gitu, aku pikir kreator DC Comics terinspirasi dari dia, sih."

    Safitri tergelak melihat cara bicaranya yang menggemaskan, kemudian ia menunjukkan sebuah foto dari ponselnya.

    "Nah kalau enggak keberatan, let me emphasize my message: IF YOU DON'T MIND, aku mau ajak kamu jadi Piero si badut murung dan aku Arlekin si badut periang, gimana? Gimana?" terdengar ada harapan pada nada suaranya, Tatsuki dengan selera badutnya adalah dua hal yang cukup unik bagi Safitri.

    Semua yang dilakukan Tatsuki membuat kupu-kupu dalam perut Safitri terbang dengan liar; cara bicara, gerak bibir, gestur tangan. Sesekali nada suaranya terdengar khawatir. Takut kalau permintaannya ini agak berlebihan.

    Manisnya.

    "Oke, aku enggak masalah."

    "Serius? Eh ini beneran, Saf?" seru Tatsuki memastikan. Ia langsung membuang dan menginjak puntung rokoknya kemudian mendekatkan posisi duduknya kepada Safitri.

    Kini keduanya saling bertatapan, jaraknya mungkin hanya sejengkal. Walaupun baru saja merokok tetapi mulutnya tidak beraroma menjijikkan. Sebaliknya, campuran bau nikotin dengan parfumnya sungguh menendang-nendang perasaan yang buncah dari dalam hati dan pikiran Safitri.

    Kedekatan itu mengikis jarak keduanya.

    Embusan angin kembali bertiup, menerbangkan helaian rambut yang berjatuhan di dahi Tatsuki. Lucu sekali, malam begitu narsis menunjukkan sifatnya yang dingin hingga kulit mereka menggigil. Namun yang dihasilkan justru kedekatan yang intens dan rasa hangat merambat punggung serta dada.

    Lama-lama senyum itu pudar dari wajah Tatsuki saat telapak tangan Safitri yang dingin menyentuh pipi bulatnya. Mata mereka yang berbinar saling bertaut hingga tak ada lagi jarak yang memisahkan saat bibir keduanya saling bertemu---Safitri bisa merasakan bibir lembut Tatsuki dengan rasa semangka karena pelembap bibir, dan lidahnya yang masih meninggalkan perisa nikotin.

            Safitri dan Tatsuki berhenti, membuka mata perlahan, dan saling menatap kikuk.

            "Saf, aku...." napas Tatsuki berat.

            "Jangan bicara lagi."

            Safitri mengecup Tatsuki dan membiarkan lidah mereka menari selama kurang lebih 5 detik. Akhirnya mereka berhenti, saling bertatapan kikuk lagi.

          Tatsuki kemudian memeluk erat Safitri, membiarkan empati dan atom-atom di dalam tubuh mereka melebur jadi satu lalu disaksikan oleh penerang lapangan dan langit malam yang kini menangis ikut terharu menjatuhkan air dari langit gelap itu.

         Rinai hujan membuat mereka basah kuyup, baik Safitri ataupun Tatsuki tidak peduli. Kebersamaan mereka begitu nyata, hingga hati kecil Tatsuki tersentuh dengan klimaks yang dibangun oleh Safitri. Klimaks yang tidak ia duga, berproses dari sebuah perkenalan, percakapan, kedekatan, pertukaran emosi, dan diakhiri ciuman yang membekas di hati.

        Sama seperti langit malam yang menjatuhkan air mata, Tatsuki pun juga membiarkan air matanya mengalir. Ada harapan yang tumpah di sana. Sebuah harapan akan kebersamaan yang seharusnya berakhir pada ikatan suci.

       Namun, impiannya tidak diarsip oleh Tuhan demikian.

       Ketika malam Halloween tiba, Tatsuki yang berdandan sebagai Piero si badut murung, menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri. Safitri tengah tertawa dan bergandengan tangan bersama seorang perempuan yang berdandan sebagai Robin Buckley---rekannya Steve Harrington pada serial Stranger Things.

        Piero versi Tatsuki benar menjadi kenyataan. Badut murung menjadi murung sungguhan.

        Ia merasakan seluruh pesta itu berjalan dengan tempo lambat dan menganggapnya tidak ada, orang-orang bergerak mengikuti arus waktu yang entah membawanya ke mana. Sementara Tatsuki menyaksikan orang yang ia sayang saling berpelukan dan bertukar gelak tawa dengan perempuan lain, yang mana seharusnya adalah dia.

       Hatinya hancur berkeping-keping, kepalanya seperti ingin pecah. Kelopak matanya berembun dan lama-lama terasa panas. Napasnya berubah pendek, bibir dan tangannya bergetar tak keruan. Alunan lagu berjudul Homage oleh Mild High Club kesukaannya berubah jadi dengung yang membuat telinga menjadi sakit.

        Hingga akhirnya Safitri dan Tatsuki saling menautkan sorot mata lagi. Dalam waktu yang singkat, Tatsuki masih menyangkal bahwa itu adalah Safitri-nya. Atlet tenis yang selalu menatapnya saat mencetak angka, orang yang selalu tersenyum ketika bersua dengannya, orang sama yang menciumnya penuh arti di pinggir lapangan pada malam nan indah itu.

        Tidak, itu bukan Safitri yang sama.

        Tidak, tidak, tidak.

        Safitri terdiam membeku. Matanya terpaku, cemas dan takut. Namun, sifat jantannya hilang di hari itu. Alih-alih bertemu dan menjelaskan semuanya kepada Tatsuki, ia hanya diam dan membiarkan Tatsuki berlinang air mata sambil berlari keluar dari gedung.

       Sejak saat itu Safitri sadar, ia baru saja kehilangan rencana Tuhan yang telah diarsipkan di langit sana hanya untuk memenuhi egonya semata.

***

            Mereka mengantre pada kasir yang berbeda. Petugas kasir membantu Tatsuki menghitung total belanjaannya, sementara Safitri yang berada di kasir sebelah masih menatap Tatsuki dengan penuh arti dan penyesalan.

            Seharusnya belanjaan mereka menjadi satu. Jeruk-jeruk itu biarlah Safitri yang bayar, Tatsuki menunggu di restoran bersama anak mereka. Namun, semua itu hanyalah angan-angan belaka.

            Safitri mengeluarkan lembaran rupiah untuk membayar, membawa kantung belanjanya keluar, lalu melambaikan tangan tanda perpisahan mereka.

            Tatsuki dengan ramah membalas lambaian tangan Safitri, begitupun Maruko yang sangat bahagia akan pertemuan mereka. Sebelum Safitri melangkahkan kaki keluar, bibirnya bergerak mengucapkan kata, "Maafkan aku, Tatsuki."

            Senyum itu pudar dari wajah Tatsuki. Ia hanya mengangguk kemudian Safitri pergi meninggalkan pasar raya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun