Mohon tunggu...
Rahmi Yanti
Rahmi Yanti Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Pengalaman adalah cerita-cerita di masa depan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ayahku Tak Bersalah! Bunuh Saja Aku

4 Februari 2024   21:44 Diperbarui: 5 Februari 2024   02:04 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/3vqnV9GCy

Siang itu, Di beranda rumah. Ayah tengah membaca berita di sebuah koran. Dibacanya, sambil menikmati segelas teh yang disuguhkan Ibu dengan sepiring roti. 

Aku pulang, dengan wajah yang mangut. Tas  yang sedari tadi kusandang kuhantam dengan penuh emosi ke sofa. Ayahku tentu terheran dengan sikapku ini. Tak biasanya aku seperti ini. 

"Kamu kenapa Yu?" Tanya Ayah. 

Aku duduk, lalu melepaskan sepatuku. Dan membuka kaos kakiku perlahan-lahan. Sambil kuceritakan yang terjadi pada Ayah. 

"Aku kesel banget Yah,  Hari ini salah satu temenku  cerita, kalau dia dilecehkan oleh dosen pembimbingnya. Sebagai sesama perempuan aku mengajaknya ke ruang rektor untuk mengadu. Sesampai di ruangan, bukannya bicara.  Kawanku  itu malah bilang Aku sedang stress karena skripsi" Ayah menyimakku dengan baik. 

"Mungkin teman kamu itu takut. Kalau orang yang dilecehkan,  itu pasti  psikisnya terganggu "Kata Ayah.  

"Kejadian seperti ini tidak boleh terjadi, dosen itu harus di lapor ke polisi. Ayah sendiri akan melaporkannya. Ayah tak mau besok, kamu yang jadi korban selanjutnya " Sambung Ayah. 

Bibirku terbuka lebar, Aku senyum melihat kepedulian ayahku. Ayahku memang tidak mau, jika keadilan di hadapannya tidak ditegakkan. 

Baru-baru ini, ayahku yang dulunya seorang jaksa, telah dipecat dari jabatannya. Karena ayah tak mau mengambil sogokan dari napi anak seorang hakim. 

Setelah Ayah tak lagi dikejaksaan, tanah kosong yang dipenuhi dengan rerumputan dan semak-demak di belakang rumah. Disulap Ayah menjadi kebun sayur-sayuran. Ide cemerlang Ayah itu, telah membuat ekonomi keluarga kami tetap stabil, meski ayah baru saja  saja diphk.

Saat di kamar, Aku menelpon kawanku yang menjadi korban pelecehan itu. Namanya Kirana, Aku tak terlalu dekat dengannya sebenarnya. Namun, soal rasa kemanusiaan. Tidak memandang tentang kedekatan bukan?

"Aku minta maaf  soal tadi, Tadi sebetulnya Aku dapat ancaman dari Pak Yadi. Katanya kalau Aku ngadu ke rektor.  Keluargaku bakal diapa-apain "ucapnya. 

Pak Yadi adalah dosen pembimbingnya. Usianya 35 tahun, masih muda memang. Tapi Pak Yadi sudah menikah. Ia pun punya dua anak dari istrinya, yang seorang guru.

"Astaga...Kamu jangan takut yah! Aku sudah bicara sama Ayah. Ayah itu mantan jaksa. Ayah bakal bantu kamu dapat keadilan" 

"Jangan.. nanti Ayah kamu dan keluarga kamu kenapa-napa" 

"Kamu tenang aja! Ayah sudah biasa menghadapai masalah seperti ini. Besok kamu ikut saja dengan kita, ke kantor polisi melaporkan Pak Yadi."

Ia hanya diam membisu, Aku yakin itu pertanda setuju. 

Keesokan harinya, Aku membawa Kirana ke rumah. Setelah Ayah menyiapkan mobilnya, kami berangkat menuju kantor polisi. Kutatap pandangan kosong di wajah Kirana. Kasihan perempuan ini. Kehormatannya telah direnggut oleh seorang civitas akademika. Pendidikan tinggi seharusnya memberikan sebuah kehormatan. Bukan merenggut kehormatan seorang gadis. 

Disepanjang jalan, Ayahku terus meyakinkan Kirana untuk berkata jujur pada polisi.  Agar keadilan bisa ditegakkan. Namun Kirana tak memberi respon. Pandangannya lurus ke depan. Sangat kosong. Mungkin dia masih trauma. 

Akhirnya kami sampai di kantor polisi, Kami keluar secara bersamaan dari mobil. Setelah turun dari mobil. Tiba-tiba Kirana merobek-robek  bajunya dengan gunting di area dadanya. Lalu, Ia acak-acak rambutnya. Aku keheranan melihat tingkahnya. 

"Kenapa Kirana?" Tanyaku sambil mencoba memeluknya. 

"Ayahhhhh.." katanya meraung-raung. Sambil melemparkan sepatunya dari kakinya. 

"Kamu kenapa Nak? Apa kamu sedang ingat sesuatu?" Kata Ayahku, sambil mencoba menggemgamnya. Kirana seperti orang kerasukan. Ia meraung-raung minta tolong. 

"Ayaaahhh.. laki-laki ini brengsek. Dia jaksa gila." Katanya, kali ini dia memeluk dadanya. Aku mengambilkan kerudung yang kusimpan di dalam mobil. Kututupkan dadanya yang kali ini, mulai terbuka. 

Lalu, para aparat kepolisian berkeluran. Seorang polisi dengan pangkat jendral mendekati kami.  

"Kirana.. Kamu kenapa Nak? Kenapa kamu seperti ini?" Tanya polisi itu.

Kirana langsung berlari memeluk  polisi itu. Pelukan itu seperti pelukan anak yang ingin mengadu kepada seorang ayah. Benar saja, ternyata polisi dengan pangkat jendral itu adalah Ayahnya. 

"Ayah, Mantan Jaksa itu telah melecehkanku. Ia telah mencoba merobek bajuku.  Ia coba merenggut kehormatanku" katanya tersedu-sedu.  

Seketika, jantungku tersayat-sayat. Tiba-tiba Ayahku dituduh melecehkan seorang perempuan, yang usianya sama dengan putrinya. Wajahku pucat, kulihat ayah dengan wajah yang penuh kebingungan. 

"Apa maksudmu Nak, bukannya kamu bilang Pak Yadi yang melecehkanmu.  Dan kita kesini mau melaporkan itu kan."Wajah ayah amat pucat, Ia betul-betul tak mengerti apa yang sedang dimainkan perempuan itu. 

"Bohong! Kamu dan putrimu membuat cerita bohong. Kamu bilang mau mengantarku pulang! Tapi di dalam mobil. Kamu malah ingin melepaskan nafsumu kepadaku" tangisannya semaki menjadi-jadi. 

"Apa ini Kirana, kamu jangan ngada-ngada yah. Kamu sendiri yang menyobek-nyobek baju kamu. Dan ayahku benar, kamu sendiri yang bilang kalau kamu dilecehkan oleh Pak Yadi, dosen pembimbingmu.  Kita kesini mau melaporkan Pak Yadi kan? Jadi, kenapa malah kamu nuduh ayahku yang nggak-nggak?" Kataku. Emosiku meluap-lupa. Tak pernah terpikir dibenakku, perempuan itu akan menyebar fitnah sekejam itu tentang Ayahku. 

"Bohonggg... Kamu dan Ayahmu pembohong. Kehormatanku sudah hilang Ayahh" katanya. Wanita itu memeluk erat seragam Ayahnya. 

Ayahnya terlihat bersikap dingin. Sepertinya Ayahnya itu seorang polisi yang bijak, Ayahnya seperti sedang menganalisa apa yang sebenarnya terjadi. Lalu, dengan kepala dingin tanpa tergesa-gesa. Ayanya berkata:

"Maaf Pak, karena putri saya sudah melaporkan bapak ke polisi maka ini akan menjadi sebuah penyelidikan. Untuk itu sambil menyelidiki kasus ini, kami harus menangkap bapak" 

"Ayahku gak bersalah Pak, putri bapak yang menyebarkan fitnah" kataku.

 Tak bisa kubendung air mataku, saat kulihat borgol di tangan para polisi itu di jajakan ke tangan Ayahku. Ayah terlihat amat pasrah, sambil menarik napas dalam ia mengatakan

"Pulang Nak. Ceritakan pada ibumu. Ia harus tahu yang sebenarnya. Agar dia tak termakan fitnah" ucap Ayahku. 

"Tapi.. Yah,"

"Pulang!" 

Ayahku memaksaku pulang. Bagaimana mungkin, Aku bisa meninggalkan ayah di kantor polisi sendirian. Sedangkan perempuan bengis itu disana.

Bagaimana kalau terjadi sesuatu pada Ayahku? Apalagi ayah perempuan itu adalah seorang polisi berpangkat jenderal

 Ayah mana yang akan rela mendengar berita pelecehan tentang putrinya? Bisa saja Ayahku dihabisi tanpa ampun oleh jenderal itu kan. 

Di perjalanan pulang, Aku teringat Pak Yadi. Dosen pembimbing skripsi yang ia tuduh telah melecehkanya.  

Aku menyadari seketika, Kirana adalah wanita pembohong. Aku jadi tahu kalau pak Yadi sebetulnya tidak melecehkanya, mungkin saja pak Yadi difitnahnya.  Lantas, apa niat dari perempuan keji itu memfitnah Pak Yadi dan Ayah? 

Aku pergi ke rumah Pak Yadi. Rupanya ia tak di rumah. Kata istrinya dia masih belum pulang dari tempat kerjanya.  Selain di kampusku. Pak Yadi juga mengajar di salah satu kampus swasta. Aku menunggu Pak Yadi, sampai pulang ke rumah. 

Setelah Pak Yadi datang,  Istrinya menemani kami disana.  Aku jadi merasa segan untuk menceritakan kejadiannya. Tapi aku harus cerita, demi Ayah. 

"Pak, Kirana bilang bapak sudah melecehkannya" kataku. 

"Apa katamu? Lancang sekali mulut mu bicara! Saya tidak pernah melecehkanya." Kata Pak Yadi. Wajahnya seketika memerah, ada yang aneh dari wajah Pak Yadi. 

"Aku tahu Pak, Ayahku pun baru saja difitnah Kirana melecehkannya.Aku tahu kalau kirana bohong." Ucapku, mataku dibanjiri oleh air mata.

"Suami saya tidak mungkin melecehkan siapa pun. Suami saya itu orang yang punya integritas tinggi!" Ujar istri Pak Yadi, dengan nada yang agak tinggi.  

"Maaf Pak, Bu" 

"Kamu kesini hanya mau bilang itu?" Seru istri Pak Yadi lagi. Nada suaranya kali ini nampak sedang marah. 

"Sebetulnya Bu, Aku dan Ayah berniat menolong Kirana. Karena dia bilang, Pak Yadi melecehkannya. Sesampai di kantor polisi. Ayahku yang malah dituduh olehnya berbuat tidak senonoh" kataku. 

"Jangan mengada-ngada kamu. Mungkin saja Ayahmu memang melecehkan perempuan itu" Kata istri Pak Yadi. 

Aku sadar, ini menyakitkan buat istri Pak Yadi. Aku langsung pamit dari rumah itu. Ketika di pintu. Pak Yadi membisikkan ke telingaku, untuk menunggunya di rumahku.

Di rumah, Pak Yadi datang. Ia bercerita apa yang sebetulnya terjadi pada Kirana.

"Saya ingin kamu merahasiakan ini. Ini adalah Aib saya. Saya kasihan melihat Pak Broto di penjara. Padahal dia tidak salah. Kirana itu sebetulnya perempuan yang keji. Dia sudah menyodorkan dirinya berkali-kali kepadaku. Karena skripsinya belum saya Acc. Berkali-kali dia menggodaku.  Sebagai seorang laki-laki yang naik turun imannya. Saya pun akhirnya tergoda.  Akhirnya saya dan dia melakukan hubungan terlarang. Setelah sadar perbuatan saya. Saya minta dia untuk pergi. Dan jangan menemui saya lagi. Karena skripsinya masih butuh revisi, dia terus menghubungi saya. Tapi saya tak bisa menemuinya. Setiap saya lihat dia. Maka saya akan ingat, penghianatan yang saya lakukan kepada istri saya. Karena itu Kirana mengancam saya, akan melaporkan saya ke rektor. Setelah saya temui dia, akhirnya dia tak jadi melaporkan ke rektor" 

Biadap, perempuan keji itu. Ia rela menyodorkan kehormatannya.  Demi mendapatkan apa yang ia mau. Bodohnya, Aku malah bertindak sok pahlawan ingin membantunya. Sekarang, Ayahku menjadi korbannya. 

Ibu, tak henti-hentinya menahan tangis. Apalagi, di televisi tersebar vidio ayah yang dibawa ke jeruji besi. 

"Seorang Mantan Jaksa diduga melakukan pelecehan seksual terhadap anak polisi berpangkat jenderal" kata sang pembaca berita. 

Aku langung mematikan tv. Bohong! Media hanya memberitakan kebohongan. Bagaimana mungkin. Mereka langsung menyebarkannya. Padahal, ayahku belum terbukti bersalah?

Aku mengambil ponsel lamaku.  Lalu kukirim pesan kalimat ancaman pada Kirana.

"AKU PUNYA VIDIO KAMU DENGAN PAK YADI. KALAU KAMU TAK BEBASKAN PAK BROTO, VIDIO INI AKAN SAYA SEBAR" kataku.  Dengan memakai nama anomim.  

....

Keesokan harinya, saat Ibu menyalakan tv. Tersebar berita kematian Kirana. Ia mati setelah over dosis menelan obat penenang.  

"Stress, karena direnggut ke horamtannya oleh seorang mantan jaksa. Seorang mahasiwa mengakhiri hidupnya " ucap naraberita itu. 

Sialan, pasti ayah yang akan disalahkan. Aku cepat-cepat menuju kantor polisi. Ayahku pasti tak akan diberi ampun oleh polisi berpangkat jenderal itu. Padahal,  Ia tidak tahu kejadian yang sebenarnya.  

Setelah di kantor polisi, kulihat Ayah tengah dibawa menuju sebuah mobil. Ayahku terlihat tenang. Sementara jantungku berdetak amat kencang. Instingku tidak enak. Aku takut sekali, Ayahku diapa-apakan oleh mereka. 

Di belakang mobil itu, Aku ikuti dengan menggunakan mobil ayah. Aku hanya ingin memastikan ayahku baik-baik saja.

Tepat di sebuah lahan kosong yang amat luas. Tak ada pemukiman dan dekat dengan hutan serta banyak sekali jurang. Ayahku diturunkan. 

Perasaan yang aku alami ini memang sudah menghantuiku.  Ketakutanku benar terjadi, Aku melihat sepuluh anggota polisi menembaki badan ayahku tanpa ampun. Berkali-kali mereka menembaki ayahku. Sementara Aku, hanya bisa bilang dari kejuhan.

"Ayahku tidak bersalah!" Air mata membanjiri pipiku.

Dengan kejamnya mereka membawa jasad Ayah ke mobil itu kembali. Lalu, mereka dorong mobil itu kedalam jurang. Akhirnya mobilnya meledak.

Aku terhenyak, melihat mayat ayahku dibuang dengan mata kepalaku sendiri. Namun, Aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku tahu kalau aku kesana. Aku akan mati bersama Ayah. Lantas siapa lagi yang akan mengungkapkan kebenaran kalau aku mati juga? 

"Mantan Jaksa yang melecehkanseorang mahasiswa hingga tewas.  Kini tewas karena kecelakaan menuju rutan" kali ini, ini beritanya di televisi.  Terus-terus saja mereka menyebar kebohongan tentang Ayah.  Apa mereka tak berpikir sekali saja, untuk mencari kebenaran?

Ibuku tak henti-hentinya menangis. Aku tak menyangka akan kehilangan sosok ayah yang amat baik dan jujur. Secepat ini pula, dan mirisnya ayah malah mati dengan tuduhan yang mengenaskan.  

Karena trauma melihat cara kematian ayah. Aku tak bisa bicara. Pandanganku kosong. Air mata di pipiku tak kunjung berhenti mengalir. 

Aku berjalan menuju kantor walikota. 

"Ayahku tak bersalah!" Kataku teriak.

"Ayahku tak bersalah!"

"Ayahku tak bersalah!. Bunuh Saja Aku!" Kataku, meraung-tahu.  Menjerit-jerit. Di depan kantor walikota. Aku tak bisa mengatakan sepatah kata pun kecuali itu. 

Satpam yang berjaga memegang erat diriku. Orang-orang di sekitarnya mengatakan Aku sudah gila.  Sebab, Aku sudah kehilangan Ayah. 

Padahal,  Aku masih waras. Aku tak mengatakan itu karena sedih kehilangan Ayah,  sebab Aku tahu semua manusia akan kembali kepada Tuhan. Aku hanya tidak rela, kalau Ayah dituduh bahkan setelah kematiannya. 

"Ayahku tidak bersalah! Bunuh Saja Aku" Aku teriak dengan keras. Sampai petugas rumah sakit jiwa, menyuntikkan obat penenang dan membawaku ke rumah sakit jiwa. 

Sial, Aku lupa ini negeri para bedebah. Di negeri para bedebah ini. Semua sesuka hati para pejabat yang berkuasa.  Mereka terlalu cinta buta, tak bisa melihat kesalahan anak-anaknya. Mereka rela berbuat apa saja untuk melindungi anaknya yang bersalah. Sementara orang-orang seperti ayahku. Orang yang jujur dan hanya punya niat membantu, malah dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh. 

Aku bersumpah,  Akan mencekik leher Kirana di neraka. Aku pun akan menghancurkan seluruh tubuhnya hingga berkeping-keping. Semoga perempuan itu, abadi di neraka. 

Sekarang Aku berada di sebuah jeruji besi. Bukan jeruji penjara. Tapi, rumah sakit jiwa.  Hanya karena traumaku, mereka menganggapku sudah gila. 

"Ayahku tidak bersalah! Bunuh Saja Aku " kataku dibalik jeruji itu. 

"Ayahku tak bersalah Pak Jenderal! Kenapa kau tak membunuhku saja!" Aku teriak tanpa henti. 

Aku sepertinya memang sudah gila, kenapa aku tak bisa mengatakan apa pun selain itu? Tangis dan suram tak henti-hentinya mmenghantui hidupku. Mereka tak ada yang mengerti dengan bajasaku. 

Aku dianggap gila. Aku pun merasa seperti orang gila. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun