Keesokan harinya, saat Ibu menyalakan tv. Tersebar berita kematian Kirana. Ia mati setelah over dosis menelan obat penenang. Â
"Stress, karena direnggut ke horamtannya oleh seorang mantan jaksa. Seorang mahasiwa mengakhiri hidupnya " ucap naraberita itu.Â
Sialan, pasti ayah yang akan disalahkan. Aku cepat-cepat menuju kantor polisi. Ayahku pasti tak akan diberi ampun oleh polisi berpangkat jenderal itu. Padahal, Â Ia tidak tahu kejadian yang sebenarnya. Â
Setelah di kantor polisi, kulihat Ayah tengah dibawa menuju sebuah mobil. Ayahku terlihat tenang. Sementara jantungku berdetak amat kencang. Instingku tidak enak. Aku takut sekali, Ayahku diapa-apakan oleh mereka.Â
Di belakang mobil itu, Aku ikuti dengan menggunakan mobil ayah. Aku hanya ingin memastikan ayahku baik-baik saja.
Tepat di sebuah lahan kosong yang amat luas. Tak ada pemukiman dan dekat dengan hutan serta banyak sekali jurang. Ayahku diturunkan.Â
Perasaan yang aku alami ini memang sudah menghantuiku. Â Ketakutanku benar terjadi, Aku melihat sepuluh anggota polisi menembaki badan ayahku tanpa ampun. Berkali-kali mereka menembaki ayahku. Sementara Aku, hanya bisa bilang dari kejuhan.
"Ayahku tidak bersalah!" Air mata membanjiri pipiku.
Dengan kejamnya mereka membawa jasad Ayah ke mobil itu kembali. Lalu, mereka dorong mobil itu kedalam jurang. Akhirnya mobilnya meledak.
Aku terhenyak, melihat mayat ayahku dibuang dengan mata kepalaku sendiri. Namun, Aku tak bisa melakukan apa-apa. Aku tahu kalau aku kesana. Aku akan mati bersama Ayah. Lantas siapa lagi yang akan mengungkapkan kebenaran kalau aku mati juga?Â
"Mantan Jaksa yang melecehkanseorang mahasiswa hingga tewas. Â Kini tewas karena kecelakaan menuju rutan" kali ini, ini beritanya di televisi. Â Terus-terus saja mereka menyebar kebohongan tentang Ayah. Â Apa mereka tak berpikir sekali saja, untuk mencari kebenaran?