Ibuku tak henti-hentinya menangis. Aku tak menyangka akan kehilangan sosok ayah yang amat baik dan jujur. Secepat ini pula, dan mirisnya ayah malah mati dengan tuduhan yang mengenaskan. Â
Karena trauma melihat cara kematian ayah. Aku tak bisa bicara. Pandanganku kosong. Air mata di pipiku tak kunjung berhenti mengalir.Â
Aku berjalan menuju kantor walikota.Â
"Ayahku tak bersalah!" Kataku teriak.
"Ayahku tak bersalah!"
"Ayahku tak bersalah!. Bunuh Saja Aku!" Kataku, meraung-tahu. Â Menjerit-jerit. Di depan kantor walikota. Aku tak bisa mengatakan sepatah kata pun kecuali itu.Â
Satpam yang berjaga memegang erat diriku. Orang-orang di sekitarnya mengatakan Aku sudah gila. Â Sebab, Aku sudah kehilangan Ayah.Â
Padahal, Â Aku masih waras. Aku tak mengatakan itu karena sedih kehilangan Ayah, Â sebab Aku tahu semua manusia akan kembali kepada Tuhan. Aku hanya tidak rela, kalau Ayah dituduh bahkan setelah kematiannya.Â
"Ayahku tidak bersalah! Bunuh Saja Aku" Aku teriak dengan keras. Sampai petugas rumah sakit jiwa, menyuntikkan obat penenang dan membawaku ke rumah sakit jiwa.Â
Sial, Aku lupa ini negeri para bedebah. Di negeri para bedebah ini. Semua sesuka hati para pejabat yang berkuasa. Â Mereka terlalu cinta buta, tak bisa melihat kesalahan anak-anaknya. Mereka rela berbuat apa saja untuk melindungi anaknya yang bersalah. Sementara orang-orang seperti ayahku. Orang yang jujur dan hanya punya niat membantu, malah dituduh melakukan perbuatan tidak senonoh.Â
Aku bersumpah, Â Akan mencekik leher Kirana di neraka. Aku pun akan menghancurkan seluruh tubuhnya hingga berkeping-keping. Semoga perempuan itu, abadi di neraka.Â